33. Ada kisah di Ciwalk

27 9 42
                                    

“Mau ke mana, sih?” tanya Alena kesal karena Adara terus menyeret tangannya. Dia mendengus karena Adara lagi-lagi tak meresponsnya.

“Ciwalk, lah! Masa ke Hong Kong,” balasnya sewot.

Dalam hati Alena menggerutu tidak jelas. Jelas-jelas Alena tidak suka keluar untuk jalan-jalan yang biasanya menghabiskan uang, tetapi Adara memaksanya. Uniknya ketika Alena sudah menurut, kenapa jadi Adara yang selalu sewot. Alena geleng-geleng kepala tak habis pikir.

“Gue pulang, ya?” pinta Alena sedikit meringis karena Adara malah semakin kencang menyeret tangannya.

“Kalo lo pulang, gue bakal buat lo gantung diri!” tegas Adara yang membuat Alena semakin bad mood. Jika tahu akan seperti ini, Alena memilih pura-pura sakit saja tadi. Berbicara dengan Adara hanya membuat cowok itu seperti banteng ngamuk.

“Terus kita ke sini mau ngapain?” tanya Alena ketika kakinya mulai menginjak lantai Cihampelas Walk.

“Lo temenin gue nonton, harus mau! Terus nanti gue ajak lo makan deh,” balasnya dengan suara yang bersahabat.

“Lo nggak bakal nyuruh patungan buat nonton sama makan, kan?” tanya Alena penuh curiga.

Dulu, ketika kelas sepuluh, Adara sempat mengajaknya jalan. Saking pelitnya orang itu, Alena harus rela patungan padahal jelas-jelas Adara yang mengajak, untungnya waktu itu dia membawa uang cukup. Sangat cukup untuk patungan. Dalam hatinya, dia berharap insiden seperti itu tak terulang lagi. Apalagi sekarang tidak membawa uang banyak.

Adara tertawa kencang mendengar pertanyaan Alena. Dia menatap Alena lalu geleng-geleng kepala. Tanpa keduanya sadari ada orang yang memperhatikan keduanya.

“Lo masih inget itu? Cewek kalo masalah duit ingatannya kuat, ya?” kata Adara yang terdengar seperti sindiran di telinga Alena.

Alena mengangguk cepat. Mustahil dia tidak ingat pada kejadian menyebalkan itu, meski sudah satu tahun berlalu.

“Tenang kali, sekarang gue traktir. Kecuali kalo gue kelupaan bawa uang tunai, terus ATM gue kosong semua,” jelas Adara diiringi tawanya.

“Ah, sialan lo!” gerutunya tak terima.


Langkah Alena langsung terhenti saat melihat Juna yang berada tak jauh dari tempat dia berdiri. Cowok itu menatapnya dingin. Alena jadi merasa bersalah sekaligus salah tingkah. Dia jadi takut dibilang cewek murahan karena saat ini malah jalan dengan Adara, padahal direkaman yang selaku diputarnya, dia berkata mencintai Juna.

Alena menatap sekeliling. Dia baru sadar kalau ini lantai dua. Artinya, kemungkinan besar Juna juga akan menonton film yang sama. Dia mengembuskan napas, ingin menyapa, atau lebih tepatnya memilih pergi bersama Juna ketimbang Adara.

Rasa senang yang hinggap di hati Alena karena bertemu Juna seketika lenyap saat seorang perempuan berjilbab mendekat pada cowok itu. Dia langsung merangkul tangannya dan itu membuat Alena mendelik.

“Kok lama banget, sih?” tanya Juna pada cewek itu.

Alena memutar bola malas dengan telinga yang dia pasang lebar-lebar. Dia sempat melirik Adara yang kini menarik tangannya untuk membeli tiket.
Sembari menunggu Adara yang memesan tiket pada mbak-mbak jutek, Alena memilih memerhatikan Juna yang tengah mengusap puncak kepala gadis itu.

Alena geram, dalam hati dia merasa panas melihat itu. Jelas saja, Alena merasa cemburu. Tudingan bahwa Juna hanya menarik ulur perasaannya tercetus di pikirannya beberapa kali.

Sebelum suara Adara yang mengagetkan Alena terdengar, gadis itu sempat melihat Juna merangkul cewek itu. Dia terlihat sangat mesra, dan membuat Alena serasa terbakar api cemburu sendiri.

Menyadari Juna duduk di depan kursinya, Alena mendengus sebal. Dia berusaha mengusir rasa cemburu yang kini malah semakin banyak bercokol di hatinya. Namun, tetap saja gagal. Dia merasa heran sendiri, kenapa di saat dirinya menjauh dar Juna, pikirannya malah diisi cowok itu. Tanpa dia sadari rasa suka malah semakin bermekaran.

“Sialan!” desis Alena pelan ketika lampu dimatikan.


***


“Serius banget, sih, nontonnya!” kata Juna saat adiknya itu dengan semangat memperhatikan Tom Holland.

Mereka saat ini tengah menonton film Spider-Man Far From Home. Kursi bioskop benar-benar penuh karena film ini tayang perdana di Indonesia.

“Itu, liatin Tom Holland ganteng banget. Nggak kayak Aa, yang mirip Jacob Batalon,” kata Wilda polos yang membuat Juna langsung terbahak.  Yang benar saja, masa Juna mirip karakter Ned temannya Peter Parker di film yang tengah mereka tonton.

“Tolong, ya, Aa nggak gendut,” ujar Juna setelah tawanya reda. “Aa itu mirip Steve Rogers, tau!”

Wilda mendelik lalu tertawa. “Wih, jangan hina yang gendut, ya! By the way halumu tolong dikondisikan, ya, A! Lagian di Avangers Endgame, Steve Rogers jadi tua,” cibir adiknya tak terima.

“Gitu banget sih kamu ke kakak sendiri! Ya udah deh, Aa mah ngalah. Aa mirip Iqbaal Ramadhan aja deh kalo gitu. Udah ganteng, pinter, setia lagi. Mirip kan sama Steve Rogers yang setia,” katanya panjang lebar yang malah dibalas gedikkan bahu singkat.

Alena yang dari tadi mencuri dengar percakapan Juna dan cewek itu–yang samar-samar akibat suara dari film terlalu keras, seketika tertegun. Setia dari mananya? batin Alena kesal dengan pandangan mencoba fokus pada film yang ada meski dia kurang mengerti karena dari tadi dia sibuk mendengarnya Juna.

***


Adik dan kakak yang tadi sering tertawa di Cihampelas Walk, kini berada di jalan Merdeka. Mereka memasuki bangunan berlantai tiga yang penuh dengan berbagai macam buku, dan segara peralatan sekolah.

Wilda langsung berjalan sendiri menuju rak-rak novel. Sedangkan Juna memilih melihat-lihat tumpukan novel yang sedang diskon.

“Jangan kebanyakan, ya, belinya! Nanti uang Aa habis dong,” pinta Juna ketika adiknya itu menghampirinya dengan tangan yang masih kosong.

Adiknya itu manyun membuat Juna gemas sendiri. Juan terkekeh pelan melihat Wilda yang saat ini mengentakkan kakinya kesal.

“A, yang tadi di Ciwalk yang duduknya di belakang kita itu siapa, sih? Aku ngerasa dia merhatiin kita terus deh,” jelas Wilda yang membuat Juna terdiam.

“Yang cewek sama cowok itu?” Alena langsung mengangguk.

“Iya, aku rasa yang cewek liatin kita terus,” kata Wilda yang kini ikut melihat-lihat novel diskon.

“Oh, itu doi-nya Aa,” balas Juna enteng.

“Doi?”

Juna mengangguk. “Dia orang istimewa, belum jadi pacar,” jelas Juna.

“Kok jalan sama cowok lain?”
Juna mengangkat bahunya singkat.

“Mungkin dipaksa sama cowok itu kali, lagian kita juga lagi perang dingin.”

“Terus itu cowoknya Aa kenal?” tanya Wilda lagi yang dibalas anggukan oleh Juna.

“Kenal. Dia temennya doi Aa. Doi Aa itu latihan di tempat ayahnya cowok tadi,” jelas Juna yang dibalas anggukan oleh Wilda.

Percakapan terhenti karena Wilda memilih pergi, dia katanya ingin ke lantai atas sambil keliling mencari bahan-bahan untuk membuat hand lettering.


***


“Apa?” teriak Alena setengah tak terima.

Dia hendak pulang tetapi ditahan oleh Nisya yang jadi galak. Nisya menyuruhnya ke rumah sakit bersama Juna untuk menjenguk Rudy. Alena setengah tak terima karena hanya berdua, kata Nisya teman-temannya yang lain sedang ada keperluan. Dan dia sendiri ada keperluan.

Alena curiga kalau ini hanya akal-. Nisya, tetapi jika dilihat dari sisi lain, alasan mereka logis semua. Ada yang les, ada yang jaga toko, latihan taekwondo, ada acara di sebuah kafe buat jadi penyanyi, dan sederet alasan lain yang entah kenapa tak bisa dilihat kebohongannya.

“Jadi, gimana, Al? Mau, ya,” pinta Nisya dengan puppy eyes.

Alena memutar bola mata untuk memikirkannya. “Hm ....”

Bentar, aku mau publish lagi wkwk
Jangan lupa tinggalkan jejak, yaaa

Storia d'Amore [SELESAI] ✔Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora