23. Bukan Anak Sultan

53 12 52
                                    

“Maaf, ya, Al!” Tiba-tiba hati Alena mencelus mendengar kata maaf dari bibir Ayahnya. Air mukanya berubah kentara.

Ayah berjalan melewati Alena lalu duduk di sofa. “Sini, duduk dulu!” Alena tak langsung menurut, dia masih terpaku dengan segala pikiran-pikiran negatif yang perlahan memenuhi otaknya.

“Al?” Panggilan itu berhasil membuat Alena menoleh pada Ayahnya. Ayah tersenyum lalu berkata, “Sini, duduk dulu!”

Alena mengangguk lalu berjalan mendekat. Dia mendaratkan bokongnya tak jauh dari Ayah. “Gimana tadi sekolah kamu?” tanya Ayah.

Alena menunduk lalu berujar, “Baik, Yah.”

“Terus latihan kick boxing kamu gimana? Pak Andre tanyain uang, ya?” tanya Ayahnya dengan suara pelan.

Gadis itu membuang napas. “Iya, Yah. Pak Andre tanyain uang itu.”

Alena menatap tangannya yang digenggam oleh tangan Ayah. Ia menatap Ayahnya yang menampakkan wajah lelah. Terdengar helaan napas berat dari lelaki di sampingnya.
“Maafin Ayah, Al. Ayah ... nggak bisa ngasih uang itu sekarang,” ujar Ayah sembari menatap mata Alena yang kini terasa panas.

“K-kenapa, Yah?” tanya Alena sembari merotasikan pandangannya.

“Tadi uang kantor yang hilang satu miliar. Padahal uang itu sangat diperlukan untuk membuat proyek baru yang masih setengah jadi.” Ayah menghela napas.

“Semua karyawan gajinya dipotong. Ayah dipotong dua juta. Karyawan lain dipotong sesuai jabatannya, ada yang nyampe dipotong setengah dari gaji malah,” jelas Ayah yang membuat Alena menatapnya.

“Kenapa semua gaji karyawan dipotong? Kenapa nggak gaji manajer keuangan aja yang dipotong?” tanya Alena yang sudah menduga makna kata maaf dari Ayahnya.

“Gaji manajer keuangan nggak nyampe segitu, Sayang. Para karyawan yang lain juga nggak tau siapa yang korupsi. Dengan sangat terpaksa, kita ngeganti uang yang hilang. Dan akibatnya Ayah nggak bisa kasih uang itu sekarang,” jelas Ayahnya yang membuat Alena menunduk.

“Harusnya kalo Mama kamu nggak cek rekening Ayah tadi siang, kamu bisa Ayah kasih uang sekarang.” Ayah kembali terdiam. “Gaji Ayah yang biasanya turun malem tadi turun siang. Ayah nggak tau apa-apa, karena tadi Mama kamu udah langsung ambil uangnya. Mama kamu ambil uang tiga juta, yang Ayah tau dua juta dari sana itu buat bayar utang-utangnya. Uang sisanya, ayah bayarin tadi buat itu, Al,” jelas Ayah panjang lebar yang membuat Alena terdiam.

Alena menatap langit-langit sembari mengembuskan napas pasrah. Pergerakan Alena tak luput dari pandangan Ayah. “Al,” panggil Ayah yang membuat Alena menunduk sebentar lalu menatap Ayah.

“Iya?”

“Ayah nggak janji bisa kasih besok, tapi ayah usahain uang itu bisa ada. Kalo udah ada, besok Ayah transfer ke Pak Andre uangnya.” Penuturan Ayahnya membuat Alena dilema.

Gadis itu benar-benar dilema antara ingin mengikuti event antarkota atau kembali menyusahkan Ayahnya. Satu sisi, Alena merasa senang jika Ayahnya mengusahakan apa yang dirinya mau. Namun, di sisi lain dia juga merasa kasihan karena terlalu membebani Ayahnya. Alena tahu Ayahnya pasti meminjam uang untuk kemauannya.

Ketika situasi seperti ini, sifat dewasa dalam dirinya muncul berlebihan, tetapi diikuti juga oleh jiwa remajanya yang menginginkan segala kemauannya terpenuhi. Alena memejamkan mata perlahan lalu menatap Ayahnya.

“Nggak apa-apa, Yah, aku nggak ikut event itu juga. Daripada Ayah pinjem ke temen-temen Ayah, aku nggak mau nyampe gitu,” ujar Alena berusaha tegar.

Ayah menggeleng. “Ayah bakal usahain yang terbaik buat kamu, Al.”

Alena tersenyum kecil. “Ya udah, aku ke kamar, ya, Yah? Ayah juga istirahat,” katanya. Setelah mendapat anggukan dari Ayah, Alena berjalan menuju kamarnya.

Ketika tangannya menutup pintu, air mata langsung turun dari kedua matanya tanpa diminta. Alena berderap cepat dan duduk di kasur. Gadis itu mengubah posisi badannya menjadi tengkurap lalu mengambil bantal. Air matanya turun semakin deras.

Storia d'Amore [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now