11. Menyimpan Rasa

57 14 103
                                    

Suara langkah kaki di koridor yang sepi menghasilkan bunyi yang khas. Langkah itu semakin cepat tatkala melihat orang yang ditujunya berjalan sendirian. Perempuan berambut tebal itu berhenti melangkah saat namanya dipanggil seseorang. Dia menoleh ke belakang sembari mengembuskan napas kasar.

“Kenapa, sih?” tanya gadis itu dengan kesal.

“Lo yakin mau deketin dia? Dia itu sukanya sama cewek yang jago bela diri tau!” tutur Naima, teman gadis itu.

Viona mengangguk dengan semangat. “Iyalah! Cuma jago bela diri aja, 'kan? Gue juga punya bakat yang lebih hebat dari dia,” pungkasnya mantap.

“Bakat apa? Nyinyir? Sadis sama orang? Nggak ada akhlak? Apalagi?” sahut Naima yang dibalas dengan sebuah tarikan di salah satu ujung bibirnya.

“Bakat buat orang lain menderita.” Setelah mengatakan itu Viona langsung pergi dari hadapan Naima.

“Mau ke mana lo?” teriak Naima pada Viona sembari berjalan untuk menyusulnya.

Viona terus berjalan sembari berdecak, “Mau nyusul Juna!”

Naima mempercepat langkahnya untuk menyusul Viona. Setelah berbeda beberapa langkah dengan Viona, gadis itu bersuara. “Alah, paling cuma ke kantin doang 'kan?”

“Masalahnya kalo di kantin dia suka bareng sama cewek sialan itu!” balas Viona geram.

Ketika keduanya telah di kantin, Viona langsung mengedarkan pandangan. Dia menghela napas lega karena lelaki yang dicarinya tidak bersama Alena. Akan tetapi lelaki itu bersama teman-teman lelakinya.

Tanpa pikir panjang, Viona menarik pergelangan tangan Naima agar mengikutinya menuju Juna.

“Lo apa-apaan, sih?”

“Ikut gue! Kan lo mau ngikutin gue tadi!”

Naima manggut-manggut. “Iya deh. Liat lo ditolak lagi.”

Viona tak menanggapinya. Dia langsung menarik kursi dan duduk di sebelah Juna.
Lelaki itu menatapnya aneh. “Nih!” Viona menyerahkan kotak bekal pada Juna.


***


Nisya menatap Alena yang fokus pada makanannya. “Tumben si Juna nggak ke sini, Al?” tanyanya membuka percakapan.

Gadis di hadapannya mendongak, kemudian menunjuk meja tempat Juna makan dengan dagunya. Setelah itu dia kembali fokus pada makanannya.

“Oh, ada si Lampir ternyata di sana!” ujar Nisya sembari mengamati interaksi mereka meski tak terlalu jelas.

“Eh, itu si Lampir ngapain ke si Juna?” Mendengar itu, Alena mendongak dan menatap pada Juna sekilas.

“Nggak tau. Bukan urusan gue,” balasnya sembari menatap Nisya.

Nisya berdecak saat menatap Alena. Sahabatnya itu masih tak peduli dengan orang-orang yang selalu ada di hidupnya. Ya, meski lebih tepatnya Juna sebagai pengganggu hidup Alena. Namun, kehadiran Juna dalam hidup Alena menguntungkan dirinya.

“Lo ngapain senyum-senyum gitu, Nis?” Nisya tersentak lalu menggeleng.

“Rahasia,” balasnya yang membuat Alena berdecak pelan.

Makanan keduanya habis, kini dua gadis itu fokus pada gawainya masing-masing. Gadis berkulit putih itu melirik ke samping kanannya saat terdengar pergerakan. Dia mendapati orang yang dikenalnya duduk di sampingnya.

Lelaki di sebelahnya tersenyum manis. “Hai, Al,” sapa lelaki bergaya rambut cepak.

Alena menarik kedua ujung bibirnya dengan terpaksa. “Hai, Adara.”

Adara yang duduk di sampingnya dan mengajak mengobrol, mau tak mau direspons oleh Alena. Dia tahu apa yang akan dilakukan jika dia tak merespons lelaki itu.

Di sisi lain, seorang lelaki yang berharap cinta dari gadis cantik jago bela diri merasa gerah. Dadanya bergemuruh tatkala api cemburu menguasainya. Namun, dia menahan semua itu demi acaranya pulang sekolah.


***


Suasana di kelas sebelas IPA satu begitu mencekam.  Hari ini adalah pengumuman siapa saja yang mengikuti remedial.

Seorang guru dengan jilbab yang menutupi dada melihat-lihat kertas berisi tulisan. Semua mata yang tertuju padanya berharap-harap cemas dan tak henti berdoa.

Suara yang keluar dari guru muda membuat sebagian penghuni kelas merasa senang, juga sebaliknya. Sebagian pihak merasa dirugikan. “Aduh, maaf banget, Ibu ternyata belum koreksi nilai kalian. Ibu sibuk urusin anak Ibu yang lagi sakit. Jadi, sekarang aja kita koreksinya, ya?”

Perlahan guru bernama Ida membagikan lembar kertas berisi soal dan jawaban secara acak pada penghuni kelas. Jantung sebagian murid langsung berdebar saat mengetahui setiap murid akan memberitahukan nilai orang yang dikoreksinya dengan suara keras. Merasa malu karena yakin nilai kecil dan diperparah saat memiliki gebetan yang satu kelas.

“Gila, gue lagi beruntung! Kebetulan banget,” seru Juna pelan pada manusia di sampingnya.

Leo menoleh pada Juna sembari mengernyit. “Lo kenapa girang amat? Nggak habis obat, kan?” Juna membalasnya dengan gelengan.

“Gue kebagian koreksi punya Alena,” katanya pelan.

“Ya, syukur dong! Terus menurut lo, nilai dia kira-kira berapa?” tanya Leo penasaran.

Juna terdiam. Matanya menatap jawaban yang tertulis di kertas tersebut. “Setengahnya,” balas lelaki itu yang membuat Leo menatapnya tak percaya.

“Loh?”

Juna memperlihatkan kertas di tangannya pada Leo. Tangan lelaki itu menunjuk pada jawaban yang salah. “Ini salah.” Tangan Juna menunjuk jawaban nomor satu. “Terus yang nomor empat juga salah.”

Leo melihat itu dan langsung berkata, “Iya, bener. Itu salah. Masa artinya jadi ‘Aku merasa pusat perhatian tanpa keluarga'. Ketuker sama nomor satu yang tentang global warming.”

Mendengar celotehan Leo, Juna menganggguk-angguk setuju. “Nomor tujuh juga salah, terus nomor sepuluh juga, eh, nomor sembilan juga dia ternyata salah,” imbuh Juna.

“Lo punya doi dungu juga, ya?” Leo berkata sambil menarik salah satu ujung bibirnya. Mendapat lirikan tak bersahabat dari Juna, Leo kembali membuka suara. “Masa terkalahkan sama gue. Itu anak kalo nggak salah, dulu sempet pinter. Lo nggak nyesel suka sama dia, Jun?”

Juna menggeleng. “Nggak. Nggak nyesel sama sekali. Nilai akademik itu sebenarnya nggak ngaruh apa-apa kalo gue udah cinta. Banyak loh cewek yang bagus-bagus nilai akademiknya di kelas ini, tapi Alena punya prestasi yang nggak semua orang punya. Dia jago bela diri, dan nggak semua orang punya itu. Terkhusus cewek,” tuturnya panjang lebar.

Leo menatap Juna takjub. Tak menyangka jika sahabatnya akan berkata sedalam itu. “Yang ada sekarang gue pengin benerin semua jawaban yang salah. Kasihan tau kalo dia jadi malu gara-gara nilainya setengah, apalagi yang periksa jawabannya gue,” imbuh Juna yang langsung mendapat pelototan dari Leo.

“Lo jangan gila, Jun!”

Juna membalasnya dengan gelengan. “Tenang aja. Nggak bakalan, kok. Gue juga masih waras. Kan yang gue bilang barusan mah cuma kalo seandainya.”

Leo yang hendak menggerutu berhenti saat Bu Ida menyuruh semua murid mengoreksinya dengan jawaban yang benar ada di papan tulis.


***


Suara yang menandakan pulang sekolah terdengar. Tangan-tangan mereka langsung bergegas membereskan alat tulis. Saat guru telah keluar, Leo langsung berteriak, “Jangan dulu pulang semuanya!” Perkataannya ditanggapi dengan beberapa cibiran perempuan. “Kalo mau pada pulang, sana! Tapi bakal ketinggalan momen,” imbuhnya.

Sebagian kaum hawa hendak pulang, salah satunya Alena. Namun, langkah mereka terhenti saat Juna datang dengan menenteng gitar. “Jangan dulu pulang, deh!” ujarnya dingin sembari menutup pintu.

Lelaki itu mengambil kursi lalu memetik gitar, sesekali dia melirik Alena yang berdiri mematung. Mulut Juna yang mulai bersuara membuat sebagian perempuan mengeluarkan ponselnya. Memvidiokan aksi Juna.

Kau, diam-diam aku jatuh cinta
Kepadamu
Kubosan sudah kumenyimpan rasa
Kepadamu
Tapi tak mampu
Kuberkata di depanmu

Aku tak mudah mencintai
Tak mudah bilang cinta
Tapi mengapa kini denganmu
Aku jatuh cinta

Tuhan tolong dengarkanku
Beri aku dia
Tapi jika belum jodoh
Aku bisa apa

Ku bosan sudah kumenyimpan rasa
Kepadamu
Tapi tak mampu
Kuberkata di depanmu

Aku tak mudah mencintai
Tak mudah bilang cinta
Tapi mengapa kini denganmu
Aku jatuh cinta

Tuhan tolong dengarkanku
Beri aku dia
Tapi jika belum jodoh
Aku bisa apa

Tak bisa kupaksakan dirimu
Tuk jadi kekasihku
Bila tak jodohku

Setelah selesai menyanyikan lagu tersebut, Juna meraih bunga mawar yang tadi disimpan di balik gitar. Dia melangkah pada gadis berambut tipis. Dalam hati, lelaki itu terus merapal doa.

“Gue yakin, Juna ditolak!” ujar Nisya pada Dita.

Dita mengernyit. “Kenapa?”

Nisya berdecak pelan. “Bunga!” katanya greget pada Dita.

“Alena, will you be my girlfriend?” katanya tepat di hadapan Alena.

Suara teman-temannya langsung terdengar. Kebanyakan menyuarakan agar Alena berkata 'Yes'.

“Kalo lo terima gue, bunga ini lo ambil. Tapi kalo nggak, sebaliknya.”

Semua mata tertuju pada Alena memasang ekspresi seperti biasa. Juna sudah merasa malu karena gadis di hadapannya masih diam. Alena, pleas, terima gue!

Maaf banget baru publish.
Harusnya kemarin, tapi gak ada kuota.
Baru bisa publish pagi, pake kuota bonus.

See you next week.

Storia d'Amore [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now