25.

39 8 44
                                    

Juna melangkah keluar kelas, tetapi tiba-tiba saja kakinya ditendang seseorang. Dia menatap perempuan yang menendangnya. Betapa terkejutnya Juna saat mengetahui pelakunya adalah Alena.

"Alena? Lo nga–" Ucapan Juna tak selesai karena Alena langsung bersuara.

"Maksud lo apa, hah?" bentak Alena dengan tatapan tajam. Kedua tangan gadis itu mengepal kuat. Bahunya naik turun tak beraturan.

Otak pintar Juna seakan berhenti berfungsi. Dia tak mengerti maksud perkataan Alena. "Lo ngomong apa? Bicara baik-baik. Pake kepala dingin," tutur Juna yang malah mendapat tendangan di kakinya.

Juna tak melawan, kalau pun melawan yang ada dia semakin menderita karena dirinya berhenti ikut eskul kick boxing di sekolah. Karena ikutan eskul itu, saking lelahnya Juna kadang lupa belajar. Padahal impiannya ingin melanjutkan kuliah di Eropa.

"Maksud lo apa, sih? Mau buat gue hutang budi?" teriak Alena dengan tangan yang melayang ke wajah Juna.

Juna meringis ketika pukulan kuat Alena mengenai rahangnya. Gadis di depannya seperti bukan Alena yang ia kenal. Karena Alena yang Juna kenal jika marah dia akan menyendiri. Tak bisa diajak bicara, bukan seperti ini yang seperti orang kesurupan. Namun, bukankah saat seseorang berada di titik terendah dia akan bersikap sebaliknya?

"Alena, stop!" teriak Juna mencegah tangan gadis yang dicintainya melayangkan tinjuan. Namun, Alena tak menyerah. Ia malah menendang kaki Juna semakin keras.

"Lo bilang, lo kenapa?" tanya Juna. Jika Alena terus-terusan seperti ini, dirinya bisa mati babak belur. Tenaga Alena benar-benar seperti lelaki.

Kaki Alena mengayun hendak melakukan high kick, tetapi Juna sedikit memundurkan badannya. Dia mengucap syukur ketika tendangan yang pasti sangat kuat itu tak mengenai wajahnya. 

Belajar dari sebuah tekanan! Juna ingat perkataan itu, dia langsung menarik tangan Alena dengan keras. Rambut Alena tertiup angin, pemiliknya malah sibuk menendang kaki Juna.

"Diem! Atau gue kurung!" ujar Juna mengancam. Mereka berhenti di depan gudang sekolah. Tangan Juna melepaskan genggamannya.

Alena tersenyum kecut, matanya masih mengeluarkan kilatan amarah. "Gue bisa kurung lo balik! Gue bisa bikin lo babak belur. Mau?" tanya Alena menantang.

Ancaman Alena lebih sadis daripada ancaman dirinya. Juna merasa harga dirinya sebagai lelaki baru saja diinjak. Ketika ingin mengutarakan isi hatinya, Juna malah tercekat. Dia ingat pesan lelaki yang begitu berarti di hidupnya. Jangan pernah melawan amarah dengan amarah juga. Diam dan pergi adalah jalan cara terbaik dibanding melawan.

Juna menghela napas. Dia menatap Alena yang terus menendang kakinya. "Lo kenapa?"

Alena masih diam. "Gue nggak perlu dikasihani! Gue benci dikasihani!" teriaknya yang membuat Juna bingung. Alhasil, Juna melangkah pergi. Namun, tangannya dicekal kuat oleh Alena.

"Lo kan yang bayarin gue buat ikutan event?" Melihat Juna yang tak berkutik, amarah Alena semakin memuncak. Gadis itu langsung meninju wajah Juna habis-habisan sampai darah segar mengalir dari wajah tampan Juna.

"Al, gue bisa jelasin. G–" Belum sempat berbicara sesuatu yang tak pernah terbayangkan terjadi.

***

Juna langsung bangkit dari tidurnya. Dia meraba-raba wajahnya yang entah kenapa terasa sakit, tubuhnya pun ikut merasakan sakit. Lelaki itu menghela napas mengingat barusan hanya mimpi.

Lelaki itu menyugar rambut. Dia menatap jam yang menunjukkan pukul 17.45 WIB. Ia mengusap wajah karena dirinya tertidur di sofa setelah salat ashar. Benar kata Ayahnya jika tidur setelah salat ashar itu tidak baik.

Storia d'Amore [SELESAI] ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora