22. Maaf

43 9 49
                                    


“Makasih, Nis,” ujar Alena pada sahabatnya yang telah membuka kunci pintu toilet.

Nisya yang ada di hadapannya menahan kedutan sembari mengangguk. Karena hal itu membuat Alena curiga akhirnya ia bertanya, “Lo kenapa sih? Gila?”

Nisya menggeleng pelan lalu menyemburkan tawanya. “Lo udah gila!” ujar Alena.

“Enggak! Enak aja,” balas Nisya setelah meredakan tawanya. “Gue cuma heran aja sama orang yang berani ngunciin Lo di toilet. Nggak etis banget.”

“Terus harusnya gimana?” tanya Alena galak.

“Masukin lo ke ruang bawah tanah, biar nggak ada yang bisa bantuin lo keluar,” sahut Nisya.

“Emang ada ruang bawah tanah di sekolah?”

Alena mengangkat kedua pundaknya singkat. “Nggak tau,” ujar Nisya sok serius. “Jadi ketika lo dikunciin di sana gue nggak bisa bantuin, apalagi kalo nggak ada sinyal. Lo nggak bisa nelepon gue.”

Alena mendengus kesal pada Nisya. “Dahlah serah lo aja!” ujarnya lalu meninggalkan Alena sendiri.

“Katanya tadi lo dikunciin, ya?” Mendengar suara yang mengagetkan itu Alena mengumpat dalam hati.

Dia melirik pada lelaki berambut cepak yang tengah tersenyum padanya. “IYA!” Setelah mengatakan itu Alena melangkah pergi.

Lelaki itu mengejar Alena. Dia berjalan cepat di samping Alena yang melangkah lebar-lebar. “Al, menurut lo kalo gue ikut lomba futsal pas tujuh belas Agustusan gimana? Lawan Adara kayaknya.”

Langkah Alena tiba-tiba saja berhenti. “Lo mau taruhan?” tanya Alena dengan suara tinggi yang membuat beberapa orang menatap risi padanya.

Juna terdiam. Dia menatap Alena yang matanya memancarkan kekesalan. “Jun! Lo mau taruhan buat dapetin gue?” terka Alena.

Lelaki di hadapannya tersenyum lalu menggeleng. Karena diam saja, Juna mendapat tendangan dari gadis di hadapannya. Juna mengaduh kesakitan dengan tatapan lurus pada Alena.
“Lo latihan kick boxing di mana, sih? Bolehlah kali-kali gue ke sana,” tutur Juna yang membuat pipi Alena merah karena menahan amarah.

“Jawab dulu pertanyaan gue!” titahnya greget.

“Oke, oke.” Juna menghela napas. “Gue nggak taruhan. Apalagi nih, ya, gue belum jago main bola,” ungkap Juna yang membuat Alena menghela napas lega.

“Beneran?” tanya Alena yang merasa kurang yakin dengan ucapan lawan bicaranya.

Juna mengangguk cepat. “Tapi kayaknya seru juga kalo gue taruhan main bola sama Adara. Menurut lo gimana, Al?” tanya lelaki itu sembari menaikturunkan alis tebalnya.

Alena langsung menggeleng. “Nggak! Gue paling benci taruhan, apalagi bawa-bawa nama gue!” Setelah mengatakan itu Alena menunduk.

Tangan Juna langsung bergerak untuk mengangkat dagu Alena. Kini gadis itu menatap bola mata cokelat milik Juna dan menikmati paras lelaki itu yang entah kenapa menurutnya seperti bercahaya meski kulit Juna tak putih seperti kulitnya. Mata Juna membuat Alena merasakan kenyamanan, seperti rumah tempat kembali sehabis lelah berpetualang. Menatap Juna, seperti mendapat perlindungan.

Alena langsung tersentak saat Juna memanggilnya. Namun, gadis itu langsung berjalan menjauh dengan debaran jantung yang seakan ingin copot.

Ketika menyadari Juna telah ada di sampingnya  Alena mendengus. Dia menatap lurus tanpa ada niatan untuk mengusir Juna, apalagi menatap mata lelaki itu yang membuatnya lupa dunia.

“Gue beneran tanya nih, lo latihan di mana?” tanya lelaki di samping Alena.

“Tanyain aja ke Nisya, dia pasti tau. Lo 'kan biasanya tanya-tanya tentang gue ke Nisya,” balasnya yang entah kenapa di telinga Juna terdengar ketus.

“Harusnya gue tanya-tanya ke orangnya langsung, ya?” Juna melihat Alena mengangguk pelan.

“Maaf, deh, gue nggak berpengalaman tentang cinta. Apalagi 'kan lo kalo di chat nggak bales, itu dulu sih,” tutur Juna yang membuat Alena menatapnya sekilas.

“Apaan sih? Kok kedengerannya bucin?”

“Karena lo 'kan bucin forever-nya gue,” balas Juna yang diiringi kekehan sembari garukan di kepala bagian belakang.

***


"Kita mau ngehias kelas kapan, nih?” tanya Leo pada teman-temannya saat guru yang mengajar baru saja keluar. Dia terbatuk-batuk karena barusan suaranya terlalu keras.

“Nggak tau, tanya aja ke tiga serangkai!” balas Juna sembari mengorek-ngorek kuping kanannya. “Lo berisik, diem deh!”

“Gue itu terlalu semangat, Jun! Supaya kelas kita nggak kalah sama anak IPS,” ujarnya diiringi cengiran.

“Nanti aja hari Kamis. Sekarang baru aja hari Selasa, biar besok beli bahan-bahannya sekalian tagih orang-orang yang belum bayar,” ujar Sheila pada teman-temannya, “iya nggak, Ra?” Sheila menatap Lara yang telah raib dari bangkunya.

Sheila berdecak. “Iya, nggak, Rud?” Merasa namanya dipanggil, Rudy mengangguk.

“Jadi temen-temen, kita bakalan hias kelas dimulai hari Kamis, ya! Awas jangan banyak alesan buat nggak ikut bantuin! Apalagi nyampe nggak sekolah!” ancam Sheila.

“Iya, La, tenang aja kali masih lama juga. Gue aja waktu SMP kelas delapan hias kelas cuma sehari, tapi tetep aja menang meski juara kedua,” imbuh Juna yang membuat teman-temannya menatap tak percaya.

“Demi apa? Masa sehari? Kok bisa?” teriak Sheila tak percaya.

Juna mengangguk mantap. “Bisa dong, karena ngerjainnya bareng-bareng. Dari sana gue percaya kalo the power of kepepet itu nyata,” pungkas Juna diiringi kekehan.

“Iya gue percaya, tapi sekarang kita nggak boleh kerjain cuma satu hari,” ujar Sheila. “Lo udah bacotingnya 'kan, Jun?” Juna mengangguk. “Ya udah mending sekarang pada pulang deh!”

Penghuni kelas XI IPA 1 langsung menurut. Suara meja yang berderit-derit langsung terdengar disusul langkah sepatu bergerak yang menginjak lantai.

“Kapan-kapan gue liat lo latihan, ya, Al!” Setelah mengatakan itu Juna melambaikan tangan lalu berjalan pergi diiringi Leo yang ikut-ikutan melambaikan tangan ke arah Alena dan Nisya.


***


Alena menyimpan susu cokelatnya di meja. Dia berjalan ke arah sofa dan merebahkan tubuh di sana. Tangan kanannya dibiarkan menjadi alas tidur.
Gadis itu baru saja pulang latihan. Dia menunggu Ayahnya yang berjanji hari ini akan memberikannya uang untuk besok. Alena memejamkan matanya, lalu membukanya lagi.

Netranya menatap langit-langit yang putih tapi pikirannya membayangkan seseorang. Pikirannya tanpa disuruh membayangkan pemilik mata berwarna cokelat. Rambut hitamnya yang  bergaya cepak dengan kulit kuning langsat seseorang itu membuat Alena tersenyum. Dia juga membayangkan senyuman tipis dari bibir lelaki itu.

Manis banget, sih dia!

Alena juga membayangkan betapa serunya ikut event antarkota yang dia impi-impikan. Dia berharap Ayahnya segera sampai membawa kabar bahagia.

Alena langsung tersadar dari lamunannya saat terdengar kenop pintu diputar. Matanya terfokus pada kenop pintu itu dengan harap-harap cemas. Ia mengembuskan napasnya saat lelaki paruh baya yang dia panggil Ayah muncul dari balik pintu.

“Yah,” panggil Alena sembari mendekat pada Ayahnya. Tangan gadis itu langsung mencium punggung tangan Ayahnya.
Wajah Ayah yang terlihat cape mengembuskan napas berat.

“Ayah nggak apa-apa?” Ayah menggeleng lalu duduk di sofa yang muat sendiri.

“Maaf, ya, Al!” Tiba-tiba hati Alena mencelus mendengar kata maaf yang terlontar dari bibir Ayahnya.


Maaf ya baru publish.
Tapi, tenang aja, karena hari ini aku double update.
Jangan lupa tinggalkan jejak, ya!

Storia d'Amore [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now