21. Beautiful night

43 9 48
                                    

Alena berjalan ke teras rumah dengan segelas susu cokelat. Gadis itu duduk di kursi kayu dekat jendela. Helaan napas lelah berpadu dengan angin malam.

Perlahan, gadis itu melangkah menuju teras yang dibuat seperti anak tangga. Dia duduk di sana dan mendongak menatap langit malam yang dihiasi bintang.

Pikiran gadis itu berkecamuk. Angin malam yang menerpa kulit putihnya tak ia hiraukan. Rasa dingin seakan menjadi temannya saat ini. “Kenapa hidup gue gini amat, ya?” Alena bermonolog sembari menunduk.

Alena kembali membuang napas lelah. Kedua tangannya memeluk lutut yang ditekut lalu kepalanya dibiarkan menunduk. “Gue jadi anak nyusahin banget, ya?” Gadis itu terdiam dengan posisi yang masih sama. “Gue kayak orang nggak berguna, udah nyusahin orang tua, nyusahin temen juga lagi,” ujarnya yang dihinggapi rasa bersalah.

“Pelatih kick boxing lagi, matrenya nggak ketulungan, pengin gue hajar aja, tapi sayangnya dia  pelatih,” ujarnya sembari mendongak. Kemudian ia menunduk lagi dengan segala kekesalan yang ada di tubuhnya.

Tadi, Alena sengaja pulang paling terakhir karena ingin berbicara dengan Ayahnya Adara. Namun, pelatihnya itu masih tetap pada pendiriannya yang tidak akan mengizinkan Alena mengikuti event antarkota, kecuali jika Alena memberinya uang lima ratus ribu.

Raga Alena yang baru saja hendak pergi ke alam mimpi tiba-tiba saja seperti tersengat listrik. Dengan kaget dia membuka matanya dan perlahan mendongak.

Sosok di depan Alena yang mengenakan jas hitam menatapnya bingung lalu bergerak mengambil duduk di sampingnya. Tangan lelaki paruh baya itu mengusap rambut Alena.
“Kamu kenapa? Kok di sini? Udah malam, Al.” Tangan Ayah Alena menarik kepala anak gadisnya agar bersandar di dadanya.

“Liat Ayah, Al!” titah pria yang mendekap Alena.

Gadis itu mendongak. Matanya bertabrakan dengan mata ayahnya. Ia merasakan tangan ayahnya yang mengusap kepalanya perlahan. “Kamu pulang latihan, ya? Kenapa mukanya gitu? Cerita sama Ayah!”

Alena menghela napas. Pikirannya bergulat antara menyuruhnya agar menceritakan pada sang ayah atau sebaliknya. Namun, ketika di posisi dirinya yang rapuh dan seperti diombang-ambing tanpa arah tujuan, tekadnya langsung membulat. Dia akan menceritakan semuanya pada ayahnya.

Akan tetapi ia tak tahu harus memulai dari mana. Dia hanya menatap sosok lelaki yang masih menatapnya. “Cerita, Al, Ayah bakalan dengerin kamu. Apa pun itu, kamu cerita ke Ayah.” Saat mengatakan itu sorot mata ayahnya terlihat lemah. Jelas saja, dia merasa gagal menjaga anaknya yang kini selalu menopang beban sendirian.

Alena mengangguk. Dia beberapa kali menghela napas sebelum berbicara. Lidahnya yang terasa kelu, Alena paksaan agar menghasilkan suara.

“Yah, aku ngerasa jadi anak yang nyusahin banget.” Akhirnya perkataan itu muncul dari bibir tipis Alena.

Ayah Alena ingin bersuara, tetapi suara Alena kembali terdengar di telinganya. “Aku ikutan kick boxing buat ngebanggain Ayah sama Ibu, tapi giliran aku mau coba buktiin lewat ikut event ....” Alena membuang napasnya kasar. Netranya terpejam kala rasa hangat menyapanya.

Kepala Alena kembali dielus oleh tangan kasar milik Ayahnya. Wajah putih dengan hidung mancung ayahnya menatap ke sembarang arah, lalu menatap anaknya yang memejamkan mata. Lelaki paruh baya itu bisa merasakan kerapuhan anaknya saat ini. “Kamu nggak nyusahin, Al. Kamu udah buat Ayah sama Ibu bangga. Justru Ayah yang ngerasa bersalah karena membuat kamu kayak gini.”

Alena membuka matanya. Ia mendongak untuk menatap cinta pertamanya lalu menggeleng.
“Kalo kamu mau ikut event gimana, hm?” tanya Ayah Alena.

Sebenarnya Alena enggan membahas event ini pada ayahnya, tetapi dia telat membulatkan tekadnya. Alena menggigit bibir bagian dalamnya lalu menghela napas. “Kata Pak Andre aku boleh ikut event antarkota kalo aku bayar, Yah.” Gadis itu kembali diam. Ia menatap ayahnya yang berubah ekspresi.

“Loh kok bayar? Kan buat ikut event kick boxing nggak perlu bayar. Yang bayar itu kan kalo ikutan taekwondo terus mau ikut event-nya,” jelas Ayah Alena yang membuat anaknya mengangguk pelan.

“Mm, waktu itu 'kan Alena sparing diajak Adara, terus Adara itu kalah dan bilang kalo aku licik. Dia juga nyuruh ayahnya buat nggak ngebolehin aku ikut event kali ini,” tutur Alena yang membuat ayahnya mengangguk dengan tatapan iba.

Ayah Alena mengecup pundak kepala anaknya. Dia menatap bangga putrinya yang kini berusia remaja. “Pak Andre nyuruh bayar berapa, hm? Kapan terakhir bayarnya?”

“Lima ratus ribu, Yah. Paling lambat lusa,” balas Alena sembari menunduk.

“Ya udah, lusa kamu bayar, ya! Besok Ayah kasih uangnya ke kamu buat bayar ke Pak Andre,” jelas Ayahnya yang membuat tatapan Alena berbinar. Gadis itu menatap ayahnya tak percaya.

“Beneran, Yah?” Ayah Alena mengangguk. “Makasih banyak, Yah!” seru Alena sembari memeluk Ayahnya.


***

Netra Alena tak sengaja bertabrakan dengan mata Viona yang tengah menatapnya galak. Akan tetapi, gadis itu tak memedulikannya. Dia langsung melangkahkan kaki ke kelas. Tanpa sepengetahuannya, perempuan yang tadi menatapnya berdecak kesal sembari berujar lirih.

“Wajahnya seneng amat, Neng!” goda Nisya saat Alena menyimpan tasnya.

Alena menatap Nisya sembari tersenyum kecil. “Sekali-kali bolehlah, biar nggak dianggap judes,” balas Alena yang membuat Nisya menghamburkan tawanya sembari mengacungkan kedua jempolnya.

“Bener banget, nih! Temen gue udah mulai pinter!” kata Nisya sembari meredakan tawanya.

“Iyain deh biar cepet,” timpal Alena tak mau ambil pusing. Tangan gadis itu merogoh ponselnya, mengabaikan Nisya yang kini menatap dirinya.

“Al, lo sebenernya suka cowok nggak, sih?” Refleks, Alena langsung menatap Nisya tajam.

Gadis itu langsung menjitak kepala sahabatnya yang terkesan aneh.
“Ya, jelas dong! Gue kan waras!” ujar Alena membela diri.

Nisya mengusap dahinya yang terkena jitakan Alena. “Ya, terus lo sukanya sama siapa? Heran gue, udah ada yang gampang malah nyari yang sudah!”

“Gue?” Alena menunjuk dirinya sendiri. “Suka sama siapa? Hm, nggak tau,” katanya sembari tertawa.

“Astaga, Alena!” geram Nisya, “gue masukin pala lo ke got baru tau rasa lo!”

Alena terbahak. “Gampang, sih, tinggal celupin pala lo juga ke got.”

Alena menatap Nisya yang kini mengembung pipinya. “Lo kenapa sih? Kok gue rasa lo lebih gesrek dari kemarin deh!”

Nisya menjitak jidat lebar Alena. “GUE CUMA TANYA LO SUKA SAMA SIAPA!”

“Oh, ya jelas sama Ju-“

“Na.” Alena menelan salivanya dan menatap orang yang melanjutkan ucapannya.

***

“Nis, anter ke toilet, yuk!” ajak Alena pada temannya yang tengah menulis.

“Coba ajak yang lain, temen lo 'kan bukan gue doang. Gue lagi nulis banyak banget, nih!”

Alena berdecak. Dia menatap sekeliling. “Males ah, gue maunya sama lo. Tapi kalo lo nggak mau, gue sendiri aja.” Setelah mengatakan itu Nisya mengacungkan jempol sebelah kirinya dan Alena langsung bangkit menuju toilet.

Setelah selesai urusannya di toilet, Alena memutar kenop pintu. Ketika merasa aneh dengan pintu tersebut, Alena tetap memutar-mutar kenopnya dengan perasaan tidak enak. Namun, tetap saja pintu tidak bisa dibuka.

“Sialan, gue malah dikunci!” desis Alena sembari menendang pintu toilet.

Udah ya, segitu dulu wkwk
Nggak tau hari apa publish lagi, semoga aja secepatnya.
Semoga dirimu yang baca nggak bosen sama mereka berdua 🤣
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan klik bintang paling bersinar yang ada di  pojok kiri, terus tinggalkan komentar.

Storia d'Amore [SELESAI] ✔حيث تعيش القصص. اكتشف الآن