03. Ready for Play

3.6K 361 0
                                        

03. Siap untuk bermain

Brent tersentak ketika Caroline tiba-tiba menarik lengannya untuk bangkit dari duduk. "Ayo pulang!" tukas gadis itu dengan terburu-buru.

Brent menatap Caroline dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti kenapa gadis ini mengajaknya untuk pulang, padahal pestanya saja belum selesai. "Kau ada acara lain, Line?" tanya Brent kemudian.

Caroline berdecak lalu menggeleng. "Tidak, tetapi Aku ingin pulang sekarang!" serunya lagi yang terdengar seperti sebuah rengekan.

Brent menghembuskan nafasnya lalu beralih untuk menatap orang-orang yang duduk satu meja dengannya. "Saya sepertinya akan pulang lebih dulu, permisi." Setelah mendapat anggukan dari mereka, Brent menarik tangan Caroline untuk pergi dari sana.

Keduanya kini berhenti tepat di depan sebuah mobil yang dikendarai Caroline saat ia tiba di tempat ini. Brent menyilangkan kedua tangannya di depan dada, bermaksud meminta penjelasan. "Sebenarnya apa yang terjadi, hm? Kenapa kau tiba-tiba mengajakku untuk pulang seperti ini?"

Caroline menggigit bibir bawahnya seraya memalingkan wajah, bingung untuk menjawab pertanyaan dari Brent. "Em ... itu, anu-"

"Kau ada masalah?" Brent memotong ucapan Caroline, membuat gadis itu kembali menoleh ke arahnya.

Caroline mengusap belakang lehernya dengan raut wajah bingung. "T-tidak ada. Aku hanya ..." Caroline menjeda kalimatnya, mencari alasan yang tepat untuk jawabannya kali ini. "Hanya, pestanya ... membosankan! Ya, Pestanya sangat membosankan, Brent! Kau tidak tahu seberapa jengahnya Aku ketika terus berdiam di dalam sana tanpa melakukan apapun," sambungnya.

Brent menghembuskan nafasnya lalu mengusap bahu Caroline dengan lembut. "Kenapa kau tidak bilang dari awal? Ajakanku untuk membawamu ke pesta ini pasti sangat merepotkanmu."

Caroline mendelik lalu menepis tangan Brent di bahunya. "Aku tidak akan pergi jika kau tidak memaksa. Sudahlah, lebih baik kita pulang saja. Aku benar-benar lelah!"

Caroline melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam mobil, begitupun dengan Brent. Caroline mengatur nafasnya beberapa saat sambil memalingkan wajahnya ke arah luar, hingga Brent pun mulai memajukan mobil.

Sungguh, Caroline sangat bersyukur ketika ia bisa lepas dari lelaki misterius tadi. Caroline juga sempat heran, kenapa lelaki itu tak mengejar ataupun menahannya lagi ketika ia melarikan diri? Ah, untuk apa juga Caroline memikirkan itu semua? Bisa terbebas darinya pun sudah merupakan sebuah keberuntungan besar untuk Caroline.

Cukup hari ini saja Caroline bertemu dengannya. Hanya hari ini.

***

Caroline sudah tiba di rumahnya. Sementara Brent setelah mengantarkan Caroline, lelaki itu langsung melesat--pulang ke rumahnya.

Caroline berjalan lesu ketika ia memasuki mansion miliknya. Tas yang ia bawa, dilempar ke sembarang arah. Kemudian ia menghempaskan tubuhnya di atas kasur lalu memejamkan mata.

Pikirannya melayang, mengingat insiden yang sempat ia alami tadi. Lelaki itu ... bagaimana lelaki itu bisa sampai memiliki taring? Dan, wanita itu ... ada masalah apa dirinya hingga membuat Sebastian membunuhnya dengan begitu sadis?

Ah, mengingat hal ini, membuat Caroline tau dan sadar bahwa nama dari lelaki Misterius ini adalah Sebastian. Caroline membuka mata seraya mengganti posisinya menjadi duduk. Seharusnya ia tidak terus-terusan mengingat insiden itu. Mengingat betapa mengerikannya wanita itu terbunuh, saja, membuat bulu kuduk Caroline seketika berdiri.

"Aku jadi penasaran, Sebastian itu sebenarnya siapa? Kenapa dia--Argh!" Caroline mengerang. Sementara tangannya kini mengacak rambutnya dengan kesal. "Kenapa Aku terus-terusan memikirkannya? Lupakan, Caroline! Lupakan!" Caroline bermonolog. Gadis ini akhirnya memilih untuk kembali membaringkan tubuhnya di atas kasur dan mencoba untuk tertidur. Lebih baik seperti ini. Lagian, besok ia harus bangun pagi untuk bersekolah. Caroline tidak mau jika nanti dirinya terlambat hanya karna masalah ini.

Caroline memejamkan matanya dengan rapat, berusaha untuk fokus tertidur. Namun, sebuah sapuan halus di pipinya membuat mata Caroline kembali terbuka dan

"AAAAAAKHH!!" Caroline berteriak. Bukan, lebih tepatnya menjerit.

Caroline refleks bangkit dan menarik tubuhnya untuk mundur--hingga badannya sukses mengenai ujung kasur. Matanya mengerjap-ngerjap tak percaya ketika ia melihat sesosok lelaki kini telah berdiri di samping kasurnya dengan tatapan yang mengarah kepadanya. Lelaki itu ...

"Kau!" Caroline kehabisan kata-kata. Lidahnya bahkan kelu untuk berbicara. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya kali ini. Dia ... sosok lelaki yang ditemuinya di pesta tadi!

Sebastian!

"B-bagaimana bisa kau ada di kamarku?" tanya Caroline, sedikit terbata-bata. Salah satu tangannya nampak memegangi bantal, bersiap untuk melemparkannya ketika lelaki itu bersikap macam-macam.

Sebastian hanya tersenyum tipis. Sangat tipis, membuat Caroline tidak bisa memastikan seperti apa ekspresi wajahnya sekarang.

"Kutanya, kenapa kau bisa ada di kamarku!" Oktap nada bicara Caroline meninggi. Sungguh, ia benar-benar ketakutan. Saat ini Caroline bisa saja memanggil pelayan atau bodygoard nya untuk masuk ke sini, tetapi entah kenapa nyalinya seketika menciut.

Sebastian hanya menatap, cukup menatap dan tidak mengeluarkan sepatah katapun. Lelaki itu hanya berdiri mematung di samping kasur Caroline, seakan ia adalah sebuah manekin yang tidak bisa melakukan apa-apa.

Sudah cukup. Hal ini membuat amarah Caroline memuncak. Ia tidak bisa tinggal diam. Alhasil, dengan memantapkan hati dan pikiran, Caroline memberanikan diri untuk beranjak dari kasurnya lalu berlari ke arah pintu sebelum tangan dari Sebastian menariknya hingga membuat gadis ini sukses terjatuh ke atas kasur.

"AAA---Mmmph!" Teriakan Caroline tersendat ketika Sebastian membungkam mulutnya dengan tangan dingin miliknya. Mata Caroline melebar ketika ia menyadari posisinya sekarang. Ia tidur di bawah, sementara Sebastian di atas dengan posisi yang sangat ... intim? Oh ayolah, siapapun tolong selamatkan jantung Caroline!

Tangan Sebastian kini berada di kedua samping kepala Caroline--menjadikannya sebagai penopang. Dari sini, Caroline dapat melihat jelas bagaimana wajah tampan nan sempurna itu terpampang jelas di hadapannya. Hembusan nafas hangat dari Sebastian, menerpa wajah Caroline--membuatnya refleks untuk menahan nafas. Mereka berdua saling berpandangan, saling mengunci tatapan. Cukup lama sampai Caroline dengan galaknya mendorong dada Sebastian hingga lelaki itu menjauh dari tubuhnya.

Caroline tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Gadis itu kemudian berlari keluar kamar, meninggalkan Sebastian yang kini menahan nyeri di bagian bokongnya akibat terjatuh oleh dorongan Caroline tadi. Melihat Caroline pergi begitu saja, segurat senyuman tipis tercetak jelas di wajah tampannya. Lelaki ini kemudian bangkit seraya terus menatap ke arah pintu. Permainannya akan segera dimulai.

"I'm ready for play."

________________________________

Call Me, Sebastian [END]Where stories live. Discover now