37. Disclosed

761 103 5
                                    

37. Diungkapkan

Rasa sakit mulai terasa menjalar di dalam kepala. Mata indah itu, mengerjap-ngerjap seraya menetralkan sorot lampu minim yang masuk ke dalamnya. Gadis ini pun mulai merasakan bagaimana lehernya menahan rasa pegal, sekaligus nyeri.

Caroline--gadis ini telah bangun dari pingsannya. Ia kini tengah duduk terikat di atas kursi, di sebuah ruangan kosong seorang diri. Tangan beserta kakinya sudah diikat oleh tali, membuat pergerakannya menjadi terbatas.

Caroline meringis. Ingatannya tentang kejadian Sebastian waktu itu, mulai muncul di otaknya. Ah, Caroline tidak tahu lagi bagaimana jadinya jika Sebastian benar-benar  mengubah takdirnya saat itu.

Pandangan Caroline kini mengedar ke segala sudut, bermaksud untuk mencari tahu keberadaannya sekarang. Selanjutnya ia berdecak karna sadar, bahwa seseorang telah mengurungnya di ruangan ini. Apakah Caroline tengah diculik? Entahlah, Caroline tidak bisa memastikan hal itu. Yang terpenting sekarang adalah ia harus segera melepas tali yang mengikat kaki dan tangannya agar ia bisa segera kabur dari sini. Caroline tidak bisa lagi membayangkan bahwa dirinya benar-benar sedang diculik. Assh--kenapa hari ini terasa begitu sial?!

Caroline semakin antusias untuk melepas tali yang mengikat pergelangannya ketika ia sadar bahwa orang yang mengikatnya itu tidak benar dalam menyimpulkan talinya. Hal tersebut membuat Caroline bersemangat untuk kabur dari sini. Namun sebelum tali itu benar-benar terlepas, pintu yang terletak jauh di depan Caroline--terbuka, hingga menampilkan sesosok lelaki bermantel biru tua telah berdiri di sana.

"Nick?" Mata Caroline berbinar ketika ia melihat sosok itu di sana.

Begitupun dengan Nick. Lelaki itu tersenyum lebar ketika matanya menangkap keberadaan Caroline.

"Caroline!"

Nick berlari mendekati Caroline dan menyentuh pipi gadis itu dengan tangannya. "Apa yang terjadi denganmu?" tanyanya kemudian.

Caroline menggeleng. "Itu tidak penting! Yang terpenting sekarang adalah cepat bantu aku untuk melepas tali-tali ini, Nick!" serunya bersemangat.

Nick mengangguk. Lelaki ini berjalan memutari tubuh Caroline dan beranjak untuk membuka ikatan di pergelangan gadis itu.

"Nick? Apa yang kau lakukan! Kenapa kau malah memperkencang ikatan di tanganku!" pekik Caroline. Dirinya cukup kaget ketika lelaki itu malah mempererat ikatannya, bukan melepaskannya.

Sementara Nick, lelaki ini menyeringai. Ia kembali berjalan pelan untuk berhadapan dengan Caroline, lalu mencondongkan tubuhnya--mendekatkan wajahnya dengan wajah Caroline.

"Ini bukan waktunya untuk bercanda, Nick! Ayo cepat bantu aku!" tukas Caroline yang mulai kesal dengan tingkah Nick.

Tetapi lelaki itu masih saja diam di tempatnya. Nick terus menyungging senyum sambil menatap Caroline dengan tatapan intens.

"Apa yang kau lakukan! Cepat bantu aku!" Kali ini Caroline mempertinggi nada bicaranya. Ia sungguh kesal dengan lelaki yang berada di hadapannya ini.

"Kau sungguh polos, Caroline."

Alis Caroline bertaut, tidak mengerti dengan ucapan Nick. "Apa maksudmu?"

Tak lama, tawa Nick meledak. Lelaki itu menegakkan tubuhnya sambil tertawa terbahak-bahak. Caroline yang melihatnya hanya menatapnya dengan tatapan bingung. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Nick?

"Nick! Apa yang kau lakukan? Kenapa kau malah tertawa! Ini sungguh tidak lucu, Nick!" semprot Caroline. Amarahnya sudah berada di ujung tanduk. Temannya ini benar-benar tidak tahu kondisi.

"Caroline ... caroline ..." Nick menggeleng seraya terkekeh kecil. Lelaki ini merubah posisinya menjadi jongkok lalu menatap Caroline dengan tatapan geli.

"Kau belum menyadarinya?"

"Menyadari apa?" balas Caroline cepat.

Lagi, Nick tertawa untuk kesekian kalinya. Ia semakin mendekatkan tubuhnya ke arah Caroline lalu berkata, "Aku tidak menyangka bahwa kau memang benar-benar sepolos ini."

Caroline menajamkan tatapannya. "Sudah kubilang bahwa ini bukannya waktu untuk bercanda! Sekarang cepat bantu-"

"AKULAH PELAKUNYA, CAROLINE!" sela Nick dengan lantang. "Akulah pelaku dari semua masalah yang menimpamu!" lanjutnya, membuat Caroline bungkam di tempatnya.

"K-kau ..."

"Ya, Aku orangnya." Nick menyungging senyum. "Aku yang merencanakan semua ini. Aku orang yang mencuri stok darah di rumah sakit, membunuh Anya, dan membunuh Ayahmu itu."

Mata Caroline perlahan melebar. Nafasnya menjadi tak beraturan. Ia menatap Nick dengan pandangan tak percaya.

"K-kenapa? Apa alasannya?" cicit Caroline, nyaris tidak terdengar.

Nick tersenyum miring. Tangannya kini terulur untuk mengusap pipi Caroline dengan lembut, membuat Caroline mematung di tempatnya.

"Karna aku mencintaimu."

"Apa maksudnya? Kau-"

"AKU MENCINTAIMU, CAROLINE! Aku mencintaimu! Apa itu kurang jelas?" ulang Nick, memotong ucapan Caroline.

Caroline menelan salivanya dengan susah payah. Ia berusaha untuk kembali melepaskan tali di lengannya, namun tak bisa.

"Kenapa? Bukannya kita ini berteman? Kenapa kau melakukan semua ini kepadaku?" Caroline menjeda kalimatnya. Gadis ini menghembuskan nafasnya dengan kasar. "KENAPA KAU MEMBUNUH AYAHKU!" teriaknya kemudian. Matanya kini menatap Nick dengan penuh amarah.

Mendengarnya, Nick tertawa renyah. "Berteman kau bilang?" ujarnya seraya terkekeh. "Aku mengawasi dan menjagamu selama ini. Dan kau hanya menganggapku teman, Caroline?"

Caroline mengernyitkan dahinya. Sikap Nick kali ini benar-benar membuatnya kebingungan. "Mengawasi dan menjagaku? Apa maksudmu?"

Nick berdecih. Jemarinya kembali bergerak untuk menyentuh bibir Caroline namun tak jadi karna gadis itu dengan cepat memalingkan wajahnya.

"Cepat jelaskan apa yang terjadi sebenarnya, Nick!"

Nick tersenyum tipis. Lelaki itu merubah posisinya menjadi berdiri, namun tak lama kemudian ia mencondongkan tubuhnya ke arah Caroline, lagi.

"Kau sungguh membuatku gila, Caroline. Aku sudah lama menunggu saat-saat ini," desis Nick seraya mendekatkan wajahnya ke arah Caroline. "Aku ingin memilikimu seutuhnya. Aku benar-benar mencintaimu. Aku tergila-gila kepadamu," lanjutnya, sukses membuat darah Caroline berdesis hebat.

"Kau sudah gila, Nick."

Nick tertawa mendengarnya. "Kau yang membuatku gila," balasnya sebelum melanjutkan kalimatnya lagi. "Kau ingin tahu alasan lain kenapa aku melakukan semua ini?" Pertanyaan ini membuat Caroline sedikit tertarik untuk mendengar jawabannya.

"Apa? Apa alasannya?"

Nick semakin mendekatkan wajahnya seraya memandangi wajah cantik milik Caroline.

"Ayahmu yang memerintahku. Ayahmu yang membuatku jadi seperti ini, Caroline," bisik Nick.

Caroline memandang Nick dengan tatapan tajam. "Jangan mengarang cerita. Kau sudah bilang, bahwa kau sendiri yang telah membunuhnya. Ayahku telah-"

"Yang kumaksud adalah Ayah kandungmu."

Caroline tidak bisa lagi menyembunyikan raut wajah terkejutnya. Ucapan Nick membuatnya teringat dengan ucapan Lucky di saat-saat terakhirnya yaitu,

Aku bukan Ayah kandungmu, Caroline.

Dengan sedikit gemetar, Caroline memberanikan diri untuk bertanya, "S-siapa? Siapa Ayah kandungku?"

Nick menyeringai. Untuk kesekian kalinya, tangannya membelai pipi Caroline dengan lembut.

"Xander."

Dan di saat itu, dunia Caroline seakan terhenti.

________________________________

Call Me, Sebastian [END]Where stories live. Discover now