11. Wake Up

1.6K 215 1
                                    

11. Sadar

Mata beriris biru itu terbuka secara perlahan. Rasa nyeri mulai menjalar di kepalanya. Tangan Caroline berpindah untuk memijat pelipisnya yang terasa sakit, sementara pandangannya langsung tertuju ke sesosok lelaki yang duduk di samping ranjangnya. Tunggu, ranjang? Bukankah tadi Caroline sedang berada di dalam mobil bersama Sarah?

Mata Caroline melebar seketika. Ia sontak merubah posisinya menjadi duduk hingga membuat Lucky bangkit dan memegangi lengannya. "Apa yang kau lakukan? Kau tidak boleh banyak bergerak dulu, honey," ujarnya dengan raut wajah khawatir.

"Bagaimana dengan keadaan Sarah, Papa? She's fine, right?" Caroline sudah mengingat kejadian yang dialami sebelumnya. Akibat truk itu, mobilnya berbelok arah hingga menubruk sebuah dinding pembatas dengan sangat keras. Setelah itu ... Caroline do not know what else happened.

Lucky menghela nafas dan mengusap bahu anaknya dengan lembut. "Dia sedang ditangani oleh dokter. Lukanya cukup serius," jawabnya kemudian. Yah, dengan ini Caroline mengetahui bahwa sekarang dirinya tengah berada di Rumah Sakit.

Caroline membanting punggungnya pada ranjang. Tangannya kini mengusap wajahnya dengan kasar. "Ini semua salahku," lirihnya, disambut dengan gelengan kecil dari Lucky.

"All this is just an accident. Tidak ada yang patut di salahkan."

Caroline menggeleng. "No, Papa. Jika Aku fokus mengemudi, kecelakaan itu pasti tidak akan terjadi."

Sungguh, Caroline menjadi merasa bersalah. Bagaimana jika sesuatu terjadi dengan Sarah? Bagaimana jika--argh! Caroline mendengkus lalu menggigit bibir bawahnya.

"Kau tidak boleh menyalahkan dirimu sendiri. Sekarang beristirahatlah, jangan buat kau tambah sakit karna memikirkan hal-hal seperti itu," ujar Lucky, bangkit dari duduknya kemudian mengusap rambut Caroline dengan sayang.

Tak lama kemudian, pintu ruangan pun terbuka. Di sana nampak Brent dengan raut wajah tak menentu kini berlari kecil mendekati Caroline. "Bagaimana keadaanmu? Kenapa kau tidak bilang bahwa kau mengalami kecelakaan, Line?" tanyanya rusuh.

Caroline mendelik. Bagaimana ia bisa memberitahu Brent jika dirinya saja baru bangun dari pingsan? Dasar.

Mata Brent tak sengaja melihat Lucky yang berdiri di samping ranjang yang lainnya. Setelah itu ia menyengir, menampilkan deretan giginya yang tertata rapi. "Om ada di sini? Sejak kapan?"

Lucky tertawa kecil. Ia memang sudah mengenali Brent dari dulu, jadi rasa canggung di antara mereka tak ada lagi. "Jangan memanggilku dengan sebutan Om. I feel so old," ucap Lucky, sementara Brent tersenyum kikuk.

"Ah, Aku minta maaf. Oh iya," Brent kembali menoleh ke arah Caroline. "Bagaimana keadaanmu? Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Line," sambungnya kemudian.

"Yah ... seperti yang kau lihat. Aku mulai merasa baikan, tapi Sarah ..." Caroline menjeda kalimatnya. "Aku tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang."

"Tenang saja, Aku yakin dia akan baik-baik saja," bujuk Brent, mencoba menenangkan Caroline.

"Honey, nampaknya Papa harus pergi. Ada beberapa pekerjaan yang harus Papa kerjakan. Tidak apa-apa kan, Kamu Papa tinggal?" Pertanyaan Lucky membuat Caroline menoleh ke arahnya. Caroline tersenyum lalu mengangguk.

"Tidak apa, ada Brent di sini. Dia akan menemaniku. Iya kan, Brent?"

Brent menjawabnya dengan anggukan kecil. Hal tersebut membuat Lucky tersenyum. Ia lalu mencium kening Caroline sekilas lalu melenggang pergi dari sana.

Setelah itu, Brent duduk di sebuah kursi tepatnya di samping ranjang Caroline. Ia meraih tangan Caroline dan menggenggamnya dengan erat. "Kau membuatku sangat khawatir, Line! Saat Aku mendapatkan kabar bahwa kau mengalami kecelakaan, Aku langsung menancap gas dan pergi ke sini," jelasnya panjang lebar.

Caroline tersenyum kecil. Tangannya ia bawa untuk mengacak rambut Brent dengan gemas. "Kau selalu berlebihan."

Brent mendelik. "Kau tahu sendiri bahwa Aku mencintaimu. Orang mana yang akan tenang, jika orang yang dicintainya berada dalam bahaya?"

Ucapannya membuat Caroline bungkam. Brent memang selalu dengan terang-terangan menyatakan isi hatinya. Tapi tetap saja, Caroline hanya menganggapnya sebagai sebatas sahabat. Tak lebih.

Caroline berdehem, lalu menormalkan ekspresinya. "Antar Aku untuk bertemu Sarah, Brent."

Brent melotot. Dengan sekali gerakan ia menggelengkan kepalanya. "Kau tahu sendiri bahwa Sarah masih ditangani oleh dokter. Belum ada keterangan lebih tentang kondisinya sekarang."

"Antar aku untuk ke depan ruangannya saja. Aku sangat khawatir. Aku merasa bersalah," cicit Caroline, menampilkan puppy eyesnya.

Brent berdecak. "Tidak. Kau harus beristirahat! Sampai kapan kau akan bersikap keras kepala seperti ini, Line?"

Caroline mengerucutkan bibirnya. Tangannya kini mendorong tubuh Brent agar lelaki itu menjauh darinya. "Kalau begitu, pergilah! Aku ingin beristirahat. Aku tidak mau diganggu."

Brent mengulum senyum lalu mengusap pucuk rambut Caroline dengan lembut. "Okay. Jika kau membutuhkanku, Aku ada di luar ruangan--menunggumu."

Setelah mendapat anggukan dari Caroline, Brent beranjak untuk keluar ruangan hingga meninggalkan Caroline seorang diri.

Bersamaan dengan itu, kemunculan Sebastian yang tiba-tiba hadir di ambang pintu toilet sukses membuat jantung Caroline hampir copot karena keterkagetannya. Ruangan yang ditempati Caroline ini memang mempunyai toilet di dalamnya, jaraknya pun tidak terlalu jauh, oleh karena itu Caroline dapat melihatnya.

Caroline menghela nafas lalu mengerlingkan matanya dengan lucu. "Apa yang kau lakukan di sana?" ketus Caroline dengan raut wajah jutek.

Sebastian tersenyum tipis dan melangkahkan kakinya untuk mendekati Caroline.

"Aku sudah pernah bilang, jangan pernah berdekatan dengan lelaki lain selain Aku." Ucapan dingin tak bernada itu mampu membuat bulu kuduk Caroline sedikit terangkat. Kenapa Sebastian menjadi horor seperti ini?

Sebastian berhenti tepat di samping ranjang. "Dan jangan pernah lagi melepaskan kalung yang kuberi," sambungnya, membuat Caroline teringat bahwa ia pernah dengan sengaja melepas kalung yang diberikan oleh Sebastian. Oh, apakah kecelakaan ini ada hubungannya dengan kalung itu?

Caroline meraba sekitar lehernya dan mendapatkan bahwa kalung berbandul bulan sabit itu telah kembali terpasang di sana. Matanya bergulir untuk menatap Sebastian. Apakah lelaki itu yang memasangkan kalung ini kepadanya?

"Apa yang terjadi?" tanya Caroline, merasa ada yang janggal.

Sebastian menarik kursi dan duduk di atasnya tanpa beralih untuk menatap Caroline. "Ceritanya panjang. Aku tidak bisa berkata lebih."

Caroline menatap Sebastian dengan raut wajah cengo. Ia tidak menyangka bahwa Sebastian akan berucap seperti itu. Sebenarnya apakah ceritanya yang terlalu panjang, atau Sebastian saja yang malas berbicara? Menyebalkan.

"Kau menyelamatkanku?" tanya Caroline, berharap Sebastian akan menjawabnya dengan benar.

Sebastian menyipitkan matanya, memandangi Caroline dengan tatapan intens. "Jangan berdekatan dengan lelaki itu lagi, jika kau mau dia selamat."

Oh, ayolah! Kenapa Sebastian selalu menjawab pertanyaannya dengan jawaban-jawaban yang tidak ingin Caroline dengar?

"Lelaki yang mana maksudmu? Papa, atau Brent?"

Sebastian merubah raut wajahnya menjadi datar. Bahkan bibirnya ikut berubah menjadi segurat garis tipis. "Brent," jawabnya kemudian.

Tawa Caroline meledak. "Dia sahabatku. Bahkan Aku mengenalnya lebih lama, daripada Aku mengenalmu. Aku tidak bisa melakukan apa yang kau minta. Jadi-"

"Follow my willingness or him who will die?"

________________________________

Call Me, Sebastian [END]Место, где живут истории. Откройте их для себя