49. Almost ended

853 101 2
                                    

49. Hampir berakhir

Tubuh Caroline menegang. Mata gadis ini membulat sempurna. Ia cukup kaget ketika melihat pemandangan di depannya.

"Ap-apa yang terjadi dengan Nick?" tanyanya terbata-bata. Tangannya memegang erat lengan Sebastian, bermaksud untuk menetralkan rasa terkejutnya.

Tepat di hadapannya, terdapat sebuah penjara yang diisi oleh sesosok lelaki bertaring dengan penampilan yang urakan. Mata lelaki itu merah, sementara mulutnya terus mengeluarkan suara-suara seperti erangan. Dia ... seperti orang gila. Itulah yang dilihat Caroline sekarang.

Dia--Nick, lelaki yang sempat ingin merubahnya di beberapa hari yang lalu.

"Hal ini terjadi karena dia meminum darah campuran milikmu. Sejatinya, para vampier dilarang keras untuk melakukan hal itu. Darah campuranmu berhasil merusak salah satu saraf di bagian otaknya, hingga membuatnya menjadi tak terkendali seperti ini," jelas Sebastian panjang lebar.

Caroline menutup mulutnya dengan tak percaya. Jantungnya berdetak tak karuan. "Jadi di sini aku yang salah?" cicitnya, disambut dengan gelengan kecil dari Sebastian.

"Kau tidak salah. Ini adalah akibat dari perbuatannya sendiri." Sebastian menarik pinggang Caroline agar gadis itu lebih dekat dengannya. "Ini sudah takdirnya," sambungnya, mengecup pelipis Caroline dengan sekilas.

Caroline merapatkan bibirnya. Ia tidak menyangka bahwa darahnya memiliki efek sebesar itu terhadap para vampier. "Apakah Nick akan kembali normal, Sebastian?" tanyanya.

Sebastian menggedikkan bahunya. "Mungkin, tapi aku tidak tahu pasti."

Caroline menghembuskan nafasnya. Ia menatap ke arah Nick dengan tatapan sendu. Sementara Sebastian, kini merangkulnya lalu mengajaknya untuk pergi dari sana.

Sambil berjalan, Caroline menundukkan kepalanya. Ia merasa bersalah dengan apa yang terjadi terhadap Nick sekarang. Sejahat apapun Nick, tetap saja Caroline mempunyai banyak hutang budi kepadanya. Apalagi jika Caroline mengingat saat-saat di mana Nick masih menjadi temannya di sekolah. Lelaki itu kerap kali bersikap baik kepadanya. Argh, Caroline semakin merasa bersalah saja.

Sebastian yang sadar dengan ekspresi Caroline saat ini, langsung mengusap rambut gadis itu dengan lembut. "Tidak usah dipikirkan. Jangan buat dirimu terbeban dengan memikirkan hal-hal yang seperti itu," imbuhnya kemudian.

Caroline menganggukkan kepalanya dengan lemas. Ia kini mendongakkan kepalanya untuk melihat Sebastian dari samping. Sebastian yang peka, akhirnya ikut menatap Caroline seraya menghentikan langkahnya.

"Kenapa?" tanyanya dengan salah satu alis yang terangkat.

Caroline bergumam. Dirinya terlihat memikirkan sesuatu, sesaat sebelum berkata, "Kau sudah tahu bahwa aku ini memiliki darah campuran." Sebastian masih mendengarkan Caroline, tidak berniat untuk memotong atau membalas ucapannya. "Apa ... kita masih bisa menikah?"

Pertanyaan Caroline sukses membuat Sebastian tertawa lepas. Bahkan sangat lepas, sampai bahu lelaki itu bergetar. Caroline yang melihatnya hanya mengernyitkan dahinya--bingung. Apakah pertanyaannya salah?

"Kenapa kau tertawa? Kita tidak bisa menikah, ya?" Caroline menampilkan raut wajah cemberutnya, membuat Sebastian semakin gemas untuk melihatnya.

Sebastian menggerakkan tubuhnya untuk berhadapan langsung dengan Caroline. Salah satu tangannya kini menarik pinggang Caroline, hingga tak tersisa lagi jarak di antara mereka. "Apa kau sangat ingin menikah denganku?" godanya.

Pipi Caroline bersemu. Ia menahan dada Sebastian dengan kedua tangannya agar tubuh mereka tidak terlalu dekat. "Apa kau tidak mau menikah denganku?" tanyanya balik.

Sebastian terkekeh kecil. Tangannya menyampirkan helaian rambut Caroline lalu menyempilkannya di belakang telinga. "Aku sangat ingin menikah denganmu, Caroline," jawabnya, membuat dada Caroline seketika berdegup kencang.

"Tapi ... " Sebastian menyipitkan matanya. Ia menatap Caroline dengan intens. "Kau masih berumur delapan belas tahun. Apa itu tidak terlalu muda untuk menikah?" lanjutnya.

Caroline berdecak. Ia memukul dada Sebastian dengan pelan. "Aku tidak bilang bahwa aku ingin menikah denganmu sekarang, Sebastian! Lagian, aku juga masih harus bersekolah. Aku juga tau diri."

Sebastian tersenyum kecil. Ia menatap wajah cantik Caroline dengan tatapan meneliti. "Lalu kapan kita akan menikah?"

Caroline menahan senyumannya. Ia mengalungkan lengannya di leher Sebastian, lalu memainkan ujung rambut lelaki itu dengan asal. "Ada saatnya, nanti," balasnya kemudian.

"Kapan? Aku tidak tahan jika harus menunggu dengan waktu yang lama."

Caroline menghela nafasnya. "Bersabarlah. Lagian ... aku juga berniat untuk kuliah. Aku-"

"Kau bisa kuliah setelah kita menikah, Caroline. Aku ..." Sebastian memotong kalimatnya. Ia mendekatkan wajahnya lalu menempelkan jidat mereka berdua. "Aku ingin segera memilikimu. Aku ingin membangun keluarga kecil dan bahagia bersamamu. Kita ... bersama," lanjutnya dengan nada lembut.

Caroline mengulum senyum. Matanya terpejam ketika Sebastian mengecup bibirnya dengan singkat.

"Aku mencintaimu," desis Sebastian.

"Aku juga-"

"Ekhem!" Keduanya tersentak ketika suara deheman dari Xander tiba-tiba terdengar. Lantas, dengan gerakan cepat, Caroline dan Sebastian langsung memisahkan dirinya masing-masing.

Xander tersenyum kecil. Pria ini berjalan mendekati keduanya seraya berkacak pinggang. "Indahnya cinta remaja," cibirnya sambil terkekeh kecil.

Bibir Caroline mengerucut. Ia malu sekaligus kesal dengan kedatangan Xander sekarang. "Ada perlu apa Ayah ke sini?"

Sebastian yang mendengar Caroline memanggil Xander dengan sebutan Ayah, sempat menampilkan raut wajah terkejutnya, namun dengan segera ia menormalkannya kembali. Sebastian akhirnya mengerti bahwa Xander dan Caroline sudah mulai dekat. Yah, tentunya sebagai sepasang Ayah dan Anak.

"Oh, ayolah, Caroline! Kalian berdua bermesraan di lorong yang siapapun saja bisa melewatinya. Jangan salahkan aku!" semprotnya, membuat Caroline dan Sebastian tersadar bahwa mereka masih berada di sebuah lorong panjang menuju kamarnya.

Caroline menggaruk tengkuknya dengan ekspresi kikuk. "Em ... lalu kenapa kau menghampiri kami?"

Xander berdehem. Lelaki ini menyilangkan kedua tangannya di atas dada. "Aku mempunyai kabar baik untukmu."

"Apa?"

Xander tersenyum misterius. Ia melangkah untuk semakin dekat dengan Caroline lalu menyimpan tangannya di bahu gadis itu.

"Kondisi Ibumu sudah membaik."

__________________________________

Call Me, Sebastian [END]Where stories live. Discover now