10. Whatever

1.7K 209 1
                                    

10. Apa saja

Keesokan harinya--sepulang sekolah, Caroline mengantar Sarah untuk berbelanja. Keduanya sangat berantusias karena sudah lama tidak menghabiskan waktu berdua. Kini mobil yang Caroline kendarai sudah penuh oleh paper bag yang mereka beli tadi. Yah, mereka hanya pergi berdua saja.

"Setelah ini kita mau ke mana?" tanya Caroline, melirik Sarah dari sudut matanya.

Sarah menggedikkan bahunya. "Whatever. Aku menurut saja akan pergi ke mana. Lagian Aku kan masih asing dengan tempat-tempat yang ada di sini, Caroo."

Caroline mengulum senyum. Tangannya bergerak untuk memutar setir kemudi lalu kembali fokus dengan jalannya. "Bagaimana kalau kita jalan-jalan saja? Atau ... berbelanja lagi, maybe?"

Sarah terkekeh kecil. "Terserah. Aku bilang, Aku mengikut saja," balasnya.

Caroline mendelik. "Bagaimana kita bisa bersenang-senang jika jawabanmu dipenuhi dengan kata terserah?"

"Oh ayolah, Caroo. Kau fokus mengemudi saja. Nanti saat kita menemukan tempat yang cocok, kita berhenti di sana," jawab Sarah, menepuk bahu Caroline dengan pelan.

Caroline mengangguk. Baru saja ia ingin mempercepat laju mobil, tiba-tiba saja seekor anjing melintas dengan cepat di depannya hingga refleks membuat Caroline menginjak rem dengan mendadak.

"What are you doing?" pekik Sarah, terlihat nampak kaget ketika mobil berhenti dengan seketika.

Caroline menghela nafas serta menelan salivanya dengan susah payah. "Ada anjing melewat di depan jalanku tadi. Maaf, Sarah. Apa kau terluka?" Caroline  menoleh ke arah Sarah karena khawatir dengan keadaannya.

Sarah menggeleng. "Aku tidak apa-apa. Hanya, sedikit kaget saja."

Caroline tersenyum lega. Pandangannya kembali beralih ke arah jalan raya. Ah, kenapa anjing tadi bisa tiba-tiba melintas di jalannya? Lagian ... di jalan raya seperti ini ...

Apakah pemiliknya tidak menjaganya? Menyebalkan. Untung jalan yang ia tempuh cukup sepi sehingga kejadian tadi tidak mengusik para pengendara yang lain.  Dan ... nampaknya nasib baik sedang berpihak kepadanya, karena Caroline sudah memastikan bahwa anjing tersebut tidak ia tabrak hingga ia bisa bernafas dengan lega.

Caroline menghembuskan nafas dan mulai menjalankan mobilnya kembali. Ia kini kembali lebih fokus karena tidak ingin kejadian tersebut terulang lagi.

Sarah yang melihat ketegangan dari wajah Caroline, lantas berkata, "Jalankan dengan pelan saja. Tidak usah terburu-buru." Caroline mengangguk kecil. Ia tidak ingin teledor seperti tadi lagi.

Setelah cukup lama keduanya berjalan-jalan mengitari kota yang Caroline tempati, akhirnya Caroline memutuskan untuk berhenti di sebuah Restoran karena tadi Sarah bilang bahwa ia butuh makanan.

Sarah memilih tempat duduk paling ujung dan Caroline menurutinya. Keduanya sama-sama larut dalam perbincangan hingga pesanan yang diminta pun datang.

"Bagaimana dengan sekolahmu, Caroo? Kudengar kau sangat berpengaruh di sana," ujar Sarah, mencairkan suasana.

"Yah ... begitulah."

Sarah mendengkus. "Dari dulu, kenapa setiap aku membahas perihal sekolah, kau selalu menjawabnya dengan jawaban-jawaban yang membuatku kesal?"

Caroline menyengir. "Aku malas untuk membahasnya, Sar. Rasanya aku ingin segera lulus saja sepertimu dan berkuliah di luar negeri," balasnya kemudian.

Sarah meneguk minumannya lalu berkata, "Nikmati saja waktumu sekarang, Caroo. Ekspetasimu dengan dunia perkuliahan itu tak seindah realita."

"Tetap saja. Semuanya terasa sangat monoton," beo Caroline seraya menatap makanannya dengan tatapan malas.

"Em, bagaimana dengan kisah asmaramu?" Caroline sedikit kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Sarah. "Apa kau sudah menemukan orang yang tepat?" sambung Sarah kemudian.

Caroline berdehem seraya membenarkan posisi duduknya. Entah kenapa mendengar hal itu, membuatnya menjadi teringat kepada sesosok lelaki yang akhir-akhir ini mengusik hidupnya. Ya, siapa lagi jika bukan Sebastian. Sesosok lelaki aneh yang selalu muncul dan hilang secara tiba-tiba. Lelaki, yang selalu membuat hatinya menghangat dan memanas secara bersamaan. Argh, kenapa Caroline jadi memikirkannya seperti ini?

"Aku tidak terlalu memikirkannya," jawab Caroline singkat, mencoba terfokus dengan makanannya.

Sarah mencibir, merasa jengah dengan saudaranya ini. "Ck, Caroo ... listen. Kau harus menata hidupmu dari sekarang. Bagaimana kau bisa menjalani hidupmu nanti, jika sekarang, kau terus-terusan bersikap bodoamatan seperti ini?" ocehnya kemudian.

"Aku ingin pulang sekarang. Apa kau sudah selesai?" tanya Caroline, seakan mengalihkan topik pembicaraan.

Sarah menyadarinya. Tetapi ia memilih untuk mengalah karena melihat Caroline yang sudah nampak tak nyaman lagi. Kedua gadis ini lalu bangkit dari sana dan berniat untuk pulang.

Di perjalanan, keduanya sama-sama diam. Tidak ada yang berbicara, dan tidak ada yang mengoceh seperti pertama kali mereka datang ke sini. Hal tersebut sukses membuat Sarah jengah. Ia merasa bersalah karena telah membuat suasana hati Caroline menjadi tidak enak seperti sekarang.

"Caroline."

Caroline menoleh sekilas ketika namanya terpanggil. "What?" tanyanya.

Sarah menghela nafasnya. "Besok lusa aku berniat untuk bermain ke Venice Canals Walkway. Kau mau ikut?"

Ajakannya sukses membuat mata Caroline berbinar. "Tentu saja! Aku sudah lama tidak pergi ke sana," serunya kemudian.

"Tapi bagaimana dengan sekolahmu nanti?"

Mata Caroline mengerling dengan lucu. "Aku akan mengatasinya. Sungguh, otakku butuh hiburan, Sarah. Aku sudah lama tidak pergi untuk berjalan-jalan."

Sarah mengulum senyum. "Baiklah kalau begitu. Tapi, aku akan mengajak Richard ke sana. Tidak apa-apa, kan?"

Richard adalah kekasih Sarah. Menurut sepengetahuan Caroline, hubungan mereka berdua sudah berlangsung selama dua tahun. Niatnya, tahun depan mereka akan menikah--mengingat kuliah Sarah yang sebentar lagi akan tamat.

Caroline terkekeh kecil. "Tentu saja tidak apa-apa, Sar. Lagian kenapa juga kau harus meminta ijin kepadaku? Ini liburanmu. Kau berhak mengajak siapa saja."

Sarah tersenyum kecil sesaat sebelum dirinya mengingat sesuatu. "Kau tahu? Lizzy sudah semakin besar. Ia bahkan sudah mempunyai anak."

Mata Caroline melebar ketika Sarah menyebutkan kucing peliharaannya. Dulu, saat Sarah masih tinggal di sini, ia dan Caroline sempat membeli seekor kucing hingga akhirnya Sarah membawanya pergi untuk pindah ke Jerman. "Aku tidak menyangka dia akan menjadi induk secepat itu," kekeh Caroline.

"Aku mempunyai foto-foto anaknya. Kau mau lihat?"

Caroline mengangguk cepat. Hal tersebut membuat Sarah langsung memperlihatkan handphonenya ke arah Caroline.

Caroline tersenyum geli ketika ia melihat bagaimana lucunya anak-anak kucing yang berada di dalam handphone Sarah. Di sana, mereka terlihat sangat lucu. Ah, andai saja Sarah membawanya ke sini, pasti Caroline akan sangat senang.

"So cute," cicit Caroline. Pandangannya terus berfokus ke arah handphone dan melupakan bahwa dirinya tengah mengemudi.

Hingga tak lama, ia tersadar ketika sebuah klakson dari depan membuatnya langsung menoleh dan refleks membelalak ketika sebuah truk berada tepat di jalannya.

Semuanya terjadi begitu cepat. Keduanya sama-sama menjerit. Mobil Caroline berbelok arah hingga menabrak sebuah dinding pembatas trotoar dan cukup menimbulkan bunyi yang keras akibat tubrukannya.

Damn.
____________________________

Call Me, Sebastian [END]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu