32. Homicide

814 114 0
                                    

32. Pembunuhan

Berita mengenai kematian Lucky sudah tersebar di berbagai media. Caroline yang baru saja pulang dari pemakaman langsung di sambut oleh sejumlah reporter di depan rumahnya.

"Apakah benar, terjadi pembunuhan berantai di sini, Miss Caroline?"

"Apa yang terjadi di sini sebenarnya?"

"Apakah anda tahu siapa pelakunya?"

"Bagaimana anda bisa selamat dari pembunuhan ini, Miss Caroline?"

"Apakah Mr. Parker mempunyai masalah dengan anda sebelumnya, Miss?"

"Siapa yang telah merencanakan semua ini, Miss Caroline?"

Seperti itulah beberapa pertanyaan yang tertangkap di telinga Caroline. Caroline mengabaikannya. Ia kini berjalan masuk ke dalam rumah dengan diiringi oleh para bodyguardnya yang tersisa. Yah, ternyata tak semua bodyguard dan pelayannya terbunuh. 'Mereka' hanya membunuh sebagian kecil dari pekerja yang ada di rumah Caroline.

Caroline melirik ke arah para polisi dan beberapa detektif yang tengah berada di dalam rumahnya--menyelidiki tentang kasus pembunuhan ini. Saat Caroline hendak kembali melangkah, ia mendengar namanya di panggil dan membuat dirinya kembali menoleh.

"Bolehkah kami berbicara sebentar dengan anda, Miss Caroline?" tanya seorang polisi--yang Caroline yakini dia adalah leader yang mengurus kasus ini.

"Aku lelah, ingin beristirahat," jujur Caroline. Sungguh, ia benar-benar membutuhkan waktunya sendiri untuk memulihkan pikirannya.

"Saya mohon, Miss. Ini tentang kematian Mr. Parker yang janggal."

Janggal?

Dahi Caroline mengernyit. Ia menatap polisi tersebut dengan tatapan bingung.

"Apa maksud anda?" tanyanya kemudian.

Polisi itu tersenyum tipis lalu mengajak Caroline ke suatu ruangan. Caroline pun menurutinya. Ia sedikit tertarik dengan topik pembicaraan yang polisi itu berikan.

Caroline sekarang duduk di sebuah kursi dengan pandangan yang mengarah ke arah polisi tadi dan juga seorang detektif secara bergantian. "Apa yang kalian temukan?" tanyanya tanpa basa-basi.

Detektif itu menghembuskan nafasnya terlebih dahulu. "Kami tidak menemukan barang bukti satu pun. Si pelaku sangat ahli dalam menghilangkan jejak."

"Lalu?"

"Semua korban terbunuh dengan tidak menggunakan senjata. Ada luka seperti sebuah gigitan ular di leher mereka," balas detektif tersebut, menceritakan apa yang didapatnya.

Caroline mengalihkan pandangannya. Ia memang sudah menduga bahwa pelaku pembunuhan ini bukanlah manusia, melainkan

Vampier.

Ya, Vampier selalu menggunakan taringnya untuk membunuh si korban.

"Kami juga sedikit kebingungan karena banyak kejanggalan yang kami dapatkan," ujar detektif lagi, membuat Caroline kembali menoleh ke arahnya.

"Si pelaku juga membuat CCTV di rumah ini mati sehingga kejadiannya tidak dapat kami lihat," sambungnya.

Caroline mendengkus. Kedua tangannya mengepal. Ia tidak akan pernah memaafkan pelakunya, tidak akan.

"Jika boleh saya tahu ..." Detektif tersebut menjeda kalimatnya. Caroline mendongak untuk menatapnya. "Di manakah anda ketika kejadian ini terjadi?"

Pertanyaan mampu membuat Caroline bungkam. Apa yang harus ia jawab sekarang? Apa ia harus menceritakan bahwa dirinya pergi ke Manhattan dengan dibantu oleh kekuatan Sebastian?

"Aku ..."

"Apa anda terlibat dalam pembunuhan ini?"

Mata Caroline membelalak ketika detektif tersebut dengan kurang ajarnya bertanya seperti itu. Caroline bangkit dari duduknya dengan rahang yang mengeras. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan lantang.

"Kau pikir aku akan membunuh Ayahku sendiri, begitu?" Caroline mempertinggi oktap bicaranya. "Dengar, aku menyayangi Ayahku! Aku tidak pernah sedikitpun untuk berniat melukainya, apalagi sampai membunuhnya!" sambungnya lagi.

Tak terasa, setetes air mata keluar dari sudut mata Caroline--membuat detektif beserta polisi tersebut kaget ketika melihatnya. "Maaf, Miss. Saya tidak bermaksud-"

"Aku minta hentikan penyelidikan ini. Tutup semua berita tentang kematian Ayahku di media. Biar aku sendiri yang akan menyelesaikannya." Caroline tidak berkata lagi. Dirinya kini berbalik badan dan melenggang pergi dari sana.

*

Caroline menutup pintu kamar lalu mendudukkan tubuhnya di atas kasur. Kedua tangannya bertumpu pada kaki, menahan wajahnya yang tengah menunduk. Caroline menyeka air mata di sudut matanya yang sudah mulai mengering. Ia benar-benar tidak pernah menduga bahwa hal ini akan terjadi.

Ayahnya ...
Telah pergi menjemput Ibunya di surga sana. Kini Caroline tinggal sendirian. Apa yang harus Caroline lakukan sekarang?

"Ak-aku bukan Ayah kandungmu, Caroline."

Caroline terhenyak ketika ingatan itu tiba-tiba muncul di kepalanya. Tubuhnya seketika menegang. Ia tidak tahu kenapa di saat-saat terakhirnya, Lucky malah mengatakan sebuah hal yang tak Caroline mengerti.

"Apa yang sebenarnya Papa katakan? Kenapa dia berbicara seperti itu?" tanyanya bermonolog.

" ... bukan Ayah kandungmu, Caroline."

Jantung Caroline mulai berdetak tak karuan. "Berarti ... aku, aku bukan anak kandungnya?" Mulut Caroline perlahan terbuka. Ia menghela nafasnya dengan panjang lalu menghembuskannya kembali.

"Lalu siapa Ayah kandungku?"

Caroline berdecak sambil mengacak rambutnya dengan frustasi. "Kenapa semuanya jadi berbelit-belit seperti ini?" lirihnya.

"Apa jangan-jangan ... pelakunya adalah orang sama yang mencuri stok di rumah sakit, dan pembunuh Anya di sekolah?" Caroline menautkan alisnya, mencoba untuk berpikir lebih keras.

"Apa ... Brent orangnya?"

Caroline merapatkan bibirnya. Wajahnya kini mendongak--menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan menerawang.

Sedetik kemudian, Caroline beranjak dari posisinya dan meraih tas, lalu pergi dari sana.

Caroline mendengkus ketika ia melihat para wartawan masih berkumpul di depan rumahnya. Ia mengisyaratkan agar para bodyguardnya itu menghalangi mereka agar Caroline bisa keluar dari sini.

Rencana Caroline berhasil. Dirinya kini sudah masuk ke dalam mobil dan menancap gas dari sana. Ia akan pergi ke rumah Brent, dan menanyakannya sendiri.

Tak butuh waktu lama, Caroline sudah sampai di rumah yang nampak kosong dari biasanya. Caroline merasa aneh. Pelayan yang biasanya menyambut di ambang pintu, kini tidak ada.

Alhasil, Caroline memberanikan dirinya untuk masuk ke dalam rumah. Matanya mengedar, mencari seseorang di sana namun hasilnya nihil. Rumah Brent nampak sangat kosong dan sepi. Apa tidak ada orang di sini?

Caroline tersentak ketika ia mendengar sebuah jeritan di salah satu kamar yang letaknya tak jauh dari posisinya. Tanpa berpikir lagi, Caroline langsung berjalan mendekati ruangan tersebut dan masuk ke dalamnya.

Matanya refleks membelalak. Ia sungguh terkejut ketika ia melihat tangan Brent di penuhi oleh darah dengan Ibunya yang berbaring di atas kasur. Di bibir kasur, terdapat adik Brent--Sophia yang tengah duduk sambil menutup mulutnya, seakan menahan untuk tidak menjerit.

"Brent! Jadi kau pelakunya?"

Brent terkejut dan menoleh ke arah Caroline yang nampak ketakutan. Gadis itu kini berlari dari sana dengan derai air mata yang bercucuran di pipinya.

Brent--sahabatnya itu ...
bahkan sekarang telah membunuh Ibunya sendiri.

_____________________________________

Call Me, Sebastian [END]Where stories live. Discover now