06. Jinx

2.1K 255 0
                                    

06. Sial

Caroline mengetuk-ngetuk bolpointnya ke dagu, sementara tatapannya tak beralih dari beberapa buku yang tersedia di hadapannya. Ia kini sedang mengerjakan lembaran berisi tugas yang gurunya berikan. Setelah itu, Caroline menghembuskan nafasnya dengan kasar ketika tak satupun soal mengisi otaknya. Sungguh, Caroline benar-benar jengah dan bosan.

"Apa kau bisa mengerjakannya, hm?"

Wajah Caroline terangkat ketika sesosok lelaki menghampiri, lalu berdiri di depan mejanya. Caroline tersenyum singkat sambil menyodorkan selembar kertas dan berkata, "Soal yang kau berikan terlalu rumit. Otakku tak sanggup untuk menampungnya."

Steve--yang tak lain adalah guru dari kelas Caroline ini tertawa seraya meraih kertas tersebut. Lelaki berumuran dua puluh tahun ini meneliti lembaran tersebut lalu mengembalikannya kepada Caroline.

"Aku sudah memberikan soal termudah. Lihatlah, hanya kau saja yang mengeluh tentang tugas ini," ujarnya, membuat bibir Caroline maju beberapa centi.

Pandangannya kini mengedar, melihat satu persatu teman sekelasnya yang nampak sibuk mengerjakan tugas. Ternyata benar, mereka sangat fokus dan tidak terlihat kesusahan dalam mengerjakannya. Ah, apakah hanya Caroline saja yang bodoh di dalam kelas ini? Ralat, sebenarnya Caroline tidak bodoh. Ia hanya malas berpikir dan mengerjakannya saja.

Mata Caroline berhenti pada wajah maskulin gurunya itu. "Bisakah kau mempermudah soal ini lagi? Just for me?" tanya Caroline, mencoba bernego dengan Steve tetapi tidak bisa.

Steve menggelengkan kepalanya lalu menyentil kening Caroline dengan pelan. "Tidak bisa. Cepat kerjakan saja dan buang rasa malasmu itu," jawabnya sambil beranjak pergi sebelum suara dari Caroline menghentikannya.

"Kudengar, kau menyimpan rasa untukku. Apa itu benar?" Walaupun nada bicaranya sangat pelan, Steve masih dapat mendengarnya.

Steve menoleh secara perlahan seraya menyungging senyum. Wajahnya kini mendekat ke arah Caroline, kemudian berbisik, "Itu benar." Steve menjeda kalimatnya sambil menatap Caroline dengan intens. "Tetapi itu tidak akan menjadikanku alasan untuk membedakanmu dengan muridku yang lain," sambungnya sangat pelan.

Caroline mendelik seraya menarik tubuhnya--menjauh dari Steve. Sementara Steve hanya tersenyum kecil lalu melangkah pergi dari sana.

Caroline menghela nafas seraya menyenderkan punggungnya pada kursi. "Rasanya Aku ingin segera lulus saja," gumamnya bermonolog. Tak sengaja, mata Caroline bergulir ke arah jendela kelas dan melihat sesosok lelaki berjaket hitam tengah berdiri di sana sambil menatapnya.

Caroline menegakkan posisi tubuhnya dengan mata yang mengerjap-ngerjap tak percaya. "Sebastian?" ucapnya tanpa sadar.

Dengan cepat, Caroline memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia tidak ingin terus-terusan menatap wajah tampan Sebastian. Caroline takut saja jika dirinya tergiur dan menjadi candu untuk terus mengagumi ketampanannya itu. Argh, membayangkannya saja sudah membuat Caroline muak.

Tak lama, Caroline memberanikan diri untuk kembali melirik ke arah Sebastian dan mendapatkan lelaki itu yang masih berdiri di posisinya. Dengan cepat, Caroline memalingkan wajahnya. Sial. Tatapan tajam dari Sebastian mampu membuat adrenalinnya berpacu. Lagian, untuk apa lelaki itu berdiri di sana? Ah, sepertinya Caroline melupakan sesuatu mengenai apa yang diucapkan oleh Sebastian sebelumnya. Dia bilang, ia akan terus mengikutinya, kapanpun, dan di manapun. Berarti ... lelaki itu akan terus membuntutinya seperti sekarang?

Kenapa rasanya menyebalkan sekali?

Caroline menumpu dagu dengan salah satu tangannya di atas meja. Sedangkan tangannya yang lain kini memainkan bolpoint dengan asal. Ia harus segera memikirkan cara agar Sebastian tidak mengikutinya lagi. Ia tidak bisa membiarkan lelaki itu terus-terusan berperilaku seperti ini.

Caroline terhenyak ketika bel istirahat berdering, membuat beberapa murid langsung bersorak girang. Kemudian para murid termasuk Steve, berjalan keluar dari kelas--meninggalkan Caroline yang masih berada di tempatnya.

Sendirian.
Entah sedang sial atau bagaimana, mereka--teman sekelas Caroline meninggalkannya seorang diri. Kini suasana kelas menjadi sepi. Caroline menggerakkan kepalanya untuk menoleh--melihat ke arah jendela dan tak mendapatkan Sebastian lagi di sana. Apakah lelaki itu telah pergi? Syukurlah. Dengan begini Caroline bisa bernafas dengan lega.

Caroline menumpukkan kedua tangannya di atas meja dan menenggelamkan kepalanya di sana. Rasanya ... Caroline ingin menenangkan pikirannya terlebih dahulu. Mengingat banyaknya masalah yang menimpanya di akhir-akhir ini, membuat otak Caroline harus di refresh agar bisa bekerja dengan normal kembali.

Caroline tersentak ketika ia merasakan sesuatu tengah membelai rambutnya secara perlahan. Caroline mengangkat wajahnya dan mendapatkan Sebastian yang telah duduk di sampingnya.

Lelaki itu tersenyum tipis, dengan tangannya yang telah beralih untuk mengusap pipi Caroline dengan lembut. Mata Caroline mengerjap-ngerjap dengan lucu, merasa tak menyangka bahwa Sebastian bisa bersikap semanis ini. Sedetik kemudian Caroline tersadar dan langsung menepis tangan tersebut dengan kasar.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Menemanimu," jawab Sebastian dengan cepat.

Caroline berusaha untuk menormalkan ekspresi gugupnya dengan mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Aku sedang tidak ingin diganggu. Sebaiknya kau pergi," tukas Caroline dingin.

"Kau tahu sendiri bahwa ..." Sebastian menjeda kalimatnya seraya meraih tangan Caroline lalu menggenggamnya dengan lembut. "Aku akan terus mengikutimu, menemanimu, dan memperhatikanmu," sambungnya, membuat Caroline menoleh ke arahnya.

Caroline menarik tangannya dan menatap Sebastian dengan tatapan tak suka. "Katakan apa yang harus kulakukan agar kau pergi, dan tidak menggangguku lagi," imbuhnya penuh penekanan.

Sebastian memiringkan kepalanya, memandangi wajah cantik Caroline. "Tidak ada. Aku sudah bilang bahwa aku tidak akan melepaskanmu."

Caroline berusaha untuk tidak mengumpat. Kini ia bangkit dari duduknya dengan raut wajah yang penuh amarah. "Dengar, dari awal Aku tidak mengenalmu. Kau takut Aku akan membocorkan rahasiamu? Tidak akan. Aku tidak akan pernah membocorkan identitasmu. Tapi kumohon, jangan mengusik hidupku dengan cara seperti ini," jelas Caroline panjang lebar. Ia sungguh lelah karna banyaknya masalah yang menimpa kehidupannya sekarang. Ditambah lagi dengan kehadiran Sebastian. Ah, jika Caroline bisa memilih, ia akan meminta agar dirinya ditelan bumi saat itu juga.

Sebastian menyungging senyum lalu ikut bangkit dari duduknya. "Asal kau tahu, setiap ada orang yang mengetahui siapa Aku sebenarnya, Aku akan langsung membunuhnya detik itu juga." Penjelasan dari Sebastian mampu membuat nafas Caroline tercekat. Sekarang ia mengetahui alasan kenapa Sebastian membunuh seorang wanita di taman belakang pesta waktu itu.

"L--lalu, kenapa kau tidak membunuhku?" Caroline menelan salivanya dengan susah payah ketika lelaki ini kembali menampilkan senyuman evilnya.

Sebastian menyipitkan pandangannya, menatap Caroline dengan penuh mengintimidasi. "Kau mengingatkanku kepada seseorang, dan ... hal itulah yang membuatku tak jadi untuk membunuhmu."

Mata Caroline bergulir ketika lelaki di depannya ini mengeluarkan sebuah benda dari saku celananya. Sedetik kemudian, kening Caroline mengernyit ketika ia melihat sebuah liontin berbandul bulan sabit telah terpampang jelas di hadapannya.

"Pakailah," ucap Sebastian seraya menyodorkan kalung tersebut kepada Caroline.

Caroline menatapnya dengan tatapan bingung. "Untuk apa Aku memakainya? Aku tidak ingin memakai barang milik orang lain."

Sebastian menghela nafasnya sesaat sebelum berkata, "Pakailah jika kau ingin selamat."

Caroline benar-benar dibuat bingung dengan perkataan ambigu dari Sebastian. "Kenapa kau berbicara seperti itu?" tanyanya kemudian.

Sebastian berdehem. "Aku melihat bahwa dua hari ke depan, kau akan mengalami kecelakaan. Jika kau memakai kalung ini, kau akan selamat."

Caroline tertawa hambar ketika mendengar ucapan abnormal dari Sebastian. "Tidak masuk akal. Aku tidak akan percaya dengan perkataanmu itu. Asal kau tau, aku bukan orang bodoh yang dapat dengan mudahnya kau perdayai." Setelah mengucapkan hal tersebut, Caroline mengambil langkah untuk pergi dari sana--meninggalkan tatapan tajam dari Sebastian.

"Jinx."

__________________________

Call Me, Sebastian [END]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें