45. Want to go home

765 95 2
                                    

45. Ingin Pulang

Nyanyian burung di pagi hari sukses membangunkan Caroline dari tidurnya. Namun bukan itu yang paling mengusiknya, melainkan nada dering sebuah handphone yang tidak diketahui letaknya di mana.

Caroline merubah posisinya menjadi duduk lalu menggeliat--merenggangkan otot-ototnya yang sedikit kaku. Sekilas ia menoleh ke arah samping dan tidak mendapatkan Sebastian di sana. Nampaknya lelaki itu lebih dulu bangun dan langsung pergi.

Lagi, bunyi dering dari handphone kembali menerpa indra pendengaran Caroline. Lantas dengan sedikit malas, ia mencoba untuk mendekati sumber suara tersebut hingga alhasil dirinya berhenti di hadapan sebuah lemari kecil yang terletak tak jauh dari posisinya.

Tangan Caroline terulur untuk membuka laci, dan mendapatkan sebuah handphone di dalamnya. Mata Caroline mengerjap. Itu adalah handphone miliknya. Ia bahkan sampai melupakan benda kesayangannya ini karna terlalu larut dalam masalahnya sekarang.

"Ash, bagaimana handphone ku ada di sini?" gumam Caroline, menepuk jidatnya dengan pelan.

Untuk kesekian kalinya, handphone itu kembali berbunyi--menampilkan sebuah nama di layar handphonenya.

"Brent?" Caroline sedikit terkejut ketika mengetahui bahwa orang yang mencoba menghubunginya ini adalah Sahabatnya--Brent. Ah, berapa lama ia tinggal di sini sampai bisa melupakan banyak hal?

Caroline mengangkat telepon tersebut dan menempelkannya di telinga.

"Halo ..." sapa Caroline ragu-ragu.

"CAROLINE!" Caroline refleks menjauhkan handphonenya ketika teriakan itu sukses memekik telinganya.

"Kau kemana saja? Aku mencarimu kau tahu! Aku sudah menghubungimu beberapa kali, tetapi selalu saja tidak ada jawaban!" lanjut Brent di seberang sana.

Caroline berdesis. Sejak kapan Brent berubah menjadi banyak bicara seperti ini?

"Aku ... " Caroline memejamkan matanya, memikirkan alasan yang tepat untuk jawabannya nanti. "Aku menginap di rumah saudaraku, Brent," sambungnya.

Caroline dapat mendengar bahwa Brent tengah berdecak. "Saudaramu yang mana? Saudaramu kan hanya Sarah, dan sekarang dia juga sedang ada di rumahmu. Jangan mencoba untuk membohongiku, Line."

Caroline menggaruk tengkuknya dengan ekspresi ling-lung. Brent memang mengetahui semua hal tentang Caroline. Jadi ... apa yang harus ia katakan sekarang? Tidak mungkin kan Caroline menceritakan semuanya?

"Line?" panggil Brent, lagi.

Caroline berdehem. "I-iya?"

"Kau baik-baik saja, kan? Kau ada di mana?"

Caroline menggigit bibir bawahnya. Ia benar-benar dibuat bingung sekarang. "Aku ... aku baik-baik saja, Brent. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku."

"Bagaimana aku tidak mengkhawatirkanmu sementara kau menghilang tanpa sebab. Sekarang kau ada di mana? Aku akan menjemputmu. Lagian Sarah juga sama, mengkhawatirkanmu."

Caroline menghela nafas berat. "Katakan kepada Sarah, bahwa aku baik-baik saja. Kalian tidak perlu cemas. Ada beberapa urusan yang harus kuurus di sini," balasnya kemudian.

"Tapi-"

Tit.

Caroline memutuskan teleponnya secara sepihak. Setelah itu ia kembali memasukkan benda pipih itu ke dalam laci, dan mendudukkan tubuhnya di atas kasur.

Caroline mengusap wajahnya dengan gusar. Bingung harus mengumpat apa, dan melakukan apa. Ia bisa saja kabur dari sini, tetapi bagaimana dengan nasib Ibunya nanti? Caroline tidak ingin kehilangan dia untuk kedua kalinya. Dengan mengetahui bahwa dirinya masih hiduppun, Caroline sudah sangat bersyukur.

Pandangannya kini beralih ke arah pintu dan mendapatkan Sebastian yang telah muncul di sana. Di tangan lelaki itu terdapat sebuah nampan berisi beberapa helai roti. Sambil menyungging senyum, Sebastian berjalan mendekati Caroline dan duduk di sampingnya.

"Bagaimana dengan tidurmu, My Sunshine?" sapanya ramah.

Caroline terkekeh kecil. Ia memukul asal lengan Sebastian dan menjawab, "Tidurku cukup nyenyak." Ucapan Caroline terjeda. Gadis itu beralih untuk menatap makanan yang di bawa oleh Sebastian. "Kau mendapatkan makanan itu dari mana? Seingatku, di sini hanya tersedia darah saja."

Sebastian tersenyum kecil. Tangannya bergerak untuk mencubit roti tersebut, dan mengarahkannya ke mulut Caroline. "Aku membelinya di luar. Ayo buka mulutmu," perintahnya kemudian.

Caroline tersenyum simpul. Setelah itu ia membuka mulutnya, sehingga Sebastian dapat menyuapkan roti itu kepadanya.

"Kau tahu, kenapa kalung yang kau berikan ini berfungsi saat aku memakainya? Aku-"

"Memiliki darah campuran antara vampier dan manusia," potong Sebastian. Lelaki itu nampak acuh sambil kembali menyuapi Caroline dengan roti di tangannya.

"Bagaimana kau tahu?" tanya Caroline. Mulutnya kini terlihat penuh dengan roti pemberian dari Sebastian.

"Xander yang memberitahukannya kepadaku. Dan dari sana, aku menjadi ingat siapa orang yang memberikan kalung itu kepadaku," imbuh Sebastian. Tangannya sibuk menyingkirkan helaian rambut Caroline, dan menyempilkannya ke belakang telinga.

"Siapa?"

Sebastian terdiam sesaat. Ia memperhatikan wajah Caroline dengan lekat. "Ibumu," jawabnya, sukses membuat Caroline terdiam di tempatnya.

"I-ibu?"

"Ya." Sebastian mengangguk. "Tadi pagi-pagi sekali, Xander mengajakku untuk bertemu dengan Ibumu. Di sanalah aku mengingatnya. Dia memberikan kalung ini ketika kondisinya belum parah seperti sekarang," lanjutnya.

Caroline memalingkan wajahnya ke arah lain. Gadis itu seperti tengah memikirkan sesuatu. "Kenapa Ibu dikurung di tempat seburuk itu?" gumamnya pelan, namun masih dapat di dengar oleh Caroline.

Sebastian membawa tangannya di pucuk rambut Caroline, dan menggerakkannya dengan perlahan. "Karna hanya itulah tempat yang paling aman untuknya. Xander bercerita bahwa dirinya pernah mengurung Ibumu di kamar mewah seperti ini, tetapi Ibumu itu selalu berhasil untuk meloloskan diri dan membuat kegaduhan di luar sana," jelasnya.

Caroline mengalihkan pandangannya ke arah Sebastian. Satu persatu, pertanyaan yang menyeruak di dalam otaknya mulai terungkap. "Apa setelah ini ... tidak akan ada masalah yang menerpaku lagi, Sebastian?"

Bibir Sebastian berubah menjadi sebuah garis tipis. Tangannya berpindah untuk mengusap pipi Caroline dengan lembut. "Aku tidak tahu. Tapi aku yakin, sebesar apapun masalahnya, kau akan selalu berhasil untuk melewatinya."

Caroline mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat, sebelum dirinya teringat sesuatu. "Em ... apa yang kau bicarakan dulu, bersama Xander saat dia menculikku? Kau ingat, saat itu kau datang untuk menolongku," tanyanya, di sambut dengan kernyitan dahi oleh Sebastian.

Caroline berdecak. "Xander bilang, bahwa dia ingin berbicara empat mata denganmu. Dan kalian berdua meninggalkanku di sebuah ruangan, lalu kembali hingga Xander akhirnya membolehkan aku untuk pergi," sambung Caroline, mencoba untuk mengingatkan Sebastian.

"Oh ..." Sebastian mengangguk kecil. Kini ia mengingat kejadian itu. "Ia bilang kepadaku bahwa, apapun yang dilakukan oleh Nick, aku tidak boleh melarangnya atau ikut campur terhadap urusannya. Dan akupun menyetujuinya. Itulah mengapa aku tidak pernah menjawab semua pertanyaanmu tentang siapa pelaku yang melakukan semua ini."

Caroline meringis, merasa bersalah karna sempat berpikiran bahwa Sebastian lah dalang dari semua ini. "Maafkan aku. Aku ... aku sempat menuduhmu, Sebastian."

Salah satu sudut bibir Sebastian terangkat. Ia menarik Caroline ke dalam pelukannya, dan mendekapnya dengan erat.

"Tidak apa. Intinya sebesar apapun kau marah kepadaku, aku mohon, jangan pernah meninggalkanku, Caroline."

_________________________________

Call Me, Sebastian [END]Where stories live. Discover now