46. Thankyou, Caroline.

803 95 1
                                    

46. Terimakasih, Caroline.

"Tutup semua jendela dan pintu! Malam ini Bulan Purnama akan kembali muncul!"

Perintah Xander langsung diangguki oleh para penjaganya. Mereka sontak menyebar ke berbagai sudut rumah--menutup pintu dan tirai agar cahaya Bulan purnama tidak masuk ke dalam sini.

Caroline yang sedang berdiri di samping Xander hanya diam memperhatikan. Akhir-akhir ini, rasanya ia mulai dekat dengan pria yang bernoteben Ayah kandungnya itu. Keduanya menjadi tak segan lagi untuk saling berbincang atau berbagi pendapat. Dan dari sini, Caroline mulai mengetahui siapa Xander sebenarnya.

"Apa jika seseorang di sini terkena cahaya Bulan purnama, dia akan hilang kendali juga--sama seperti yang terjadi dengan Sebastian waktu itu?" tanya Caroline, membuat Xander menoleh ke arahnya.

Xander mengangguk. "Ya. Di sini hanya kau lah yang tidak akan terpengaruh dengan cahaya itu. Kau tidak akan kenapa-kenapa," jawabnya kemudian.

Hal tersebut mengingatkan Caroline kepada salah satu film werewolf yang pernah ditontonnya. Di sana, mereka--para werewolf juga sama bereaksi jika terkena sinar cahaya Bulan purnama.

Caroline tersenyum kecil. "Ternyata kalian juga sama seperti para werewolf. Cahaya Bulan purnama cukup berbahaya untuk kalian."

Xander berdehem. Tangannya kini menyilang di atas dada. "Kau membuatku tersinggung, hingga aku merasa iri kepadamu," cibirnya.

Caroline terkekeh kecil. "Kau iri kepada anakmu sendiri?" tanyanya, sementara Xander hanya membalasnya dengan anggukan kecil.

Caroline menghela nafasnya lalu mengulum senyum. "Aku jadi penasaran, bagaimana kau bisa bertemu dengan Ibuku dulu hingga kalian bisa melahirkan anak secantik diriku."

Xander tertawa lepas. Tangannya ia bawa untuk mengacak rambut Caroline dengan gemas. "Sifatmu sama seperti Ibumu. Kalian memiliki tingkat kepercayaan diri yang sama-sama tinggi."

Caroline mengerlingkan matanya. "Aku dan Ibu memang cantik." Ia menjeda kalimatnya lalu menatap Xander dengan penuh antusias. "Bagaimana perkembangan kondisi Ibu sekarang?" tanyanya kemudian.

Xander nampak bergumam, setelah itu ia menyungging senyum. "Aku yakin sebentar lagi dia akan kembali normal. Sejatinya, Aku sudah menemukan tabib untuk membantunya keluar dari kondisi itu."

Jawabannya mampu membuat senyuman Caroline mengembang. "Syukurlah," ujarnya seraya menampilkan raut wajah senang.

"Terimakasih--" Caroline menjeda kalimatnya. Pandangannya kini menjadi teduh. "--Ayah."

Xander terdiam ketika ia mendengar panggilan itu. Bulu kuduknya seakan meremang, dengan darah yang berdesir hebat. Ada sebuah gejolak di dalam hatinya yang menguap, membuat kebahagiaannya memuncak dengan tiada tara.

Xander tersenyum tipis. "Kau ... memanggilku dengan sebutan apa tadi?" tanyanya, memastikan.

Caroline tersenyum hangat. "Ayah. Bolehkan, aku memanggilmu dengan sebutan itu?"

Xander tertawa kecil. Ada sebuah perasaan bahagia yang tidak bisa ia jelaskan sekarang. Lantas, dirinya menarik Caroline ke dalam pelukannya dan berkata,

"Terimakasih, Caroline ... Terimakasih."

***

Caroline sekarang terlihat berdiri di depan sebuah jeruji besi. Ia menatap ke arah sesosok wanita yang tengah duduk seraya memeluk lututnya sendiri. Dia Ibunya--Loren. Seperti apa yang dibilang oleh Xander tadi, kondisinya sudah mulai membaik. Wanita itu tidak bersikap hyperaktip dan berusaha untuk menyerangnya lagi. Yah ... setelah melewati perbincangan singkatnya dengan Xander tadi, Caroline langsung datang ke sini. Yaitu, penjara bawah tanah.

"Aku harap kau segera sembuh, Mom," gumam Caroline, nyaris tidak terdengar.

Kakinya melangkah untuk lebih dekat, sementara tangannya kini dengan berani memegang batang dari jeruji besi tersebut.

"Aku sangat merindukanmu kau tahu," lanjutnya. Matanya terus menatap wanita itu dengan sendu, seakan menyiratkan bahwa sebenarnya ia ingin memeluk dia saat itu juga.

"Kau masih tidak mengenaliku?" Caroline berbicara, walau sebenarnya ia tahu bahwa wanita itu tidak akan mendengarkan perkataannya. "Aku putri kecilmu, yang selalu kau bangunkan ketika aku akan berangkat sekolah. Yang selalu kau marahi, jika aku telat bangun. Yang selalu kau khawatirkan ketika aku terlalu sibuk dengan dunia pemotretan."

Air mata Caroline mulai menetes. Ingatannya saat masa-masa di mana Ibunya itu masih bersamanya, kini terulang kembali di dalam otaknya.

"Kau tahu? Di dua tahun ini aku sudah belajar banyak hal. Aku sudah bisa memasak, seperti apa yang kau ajarkan dulu. Aku tidak telat untuk bangun lagi, aku tidak malas-malasan lagi." Caroline menghela nafasnya seraya menyeka air matanya. "Di dua tahun ini aku berusaha untuk lebih mandiri." Caroline terisak. "Aku baru sadar, bahwa kehadiranmu begitu penting dalam hidupku, Mom," sambungnya kemudian.

"Aku menyayangimu."

Setelah mengucapkan itu, Caroline memundurkan tubuhnya. Ia mengusap sisa air matanya lalu melangkah pergi dari sana.

Kakinya melangkah pelan menyusuri lorong rumah dengan pikiran yang melayang tak tentu arah. Ingin rasanya Caroline keluar saja dari semua masalah yang menerpanya ini. Tetapi tidak bisa. Bagaimanapun juga ia harus menyelesaikan semuanya. Sedikit lagi, ia akan mencapai kebahagiaan. Sebentar lagi, semuanya akan berakhir. Caroline yakin itu.

Langkah Caroline seketika terhenti. Dahinya mengernyit ketika ia melihat Nick tengah berdiri tepat di depan pintu kamarnya. Lelaki itu juga balas untuk menatapnya. Salah satu sudut bibir Nick terangkat. Seperti menyeringai, mungkin?

Caroline berdecak. Apa yang direncanakan Nick sekarang?

___________________________________

Call Me, Sebastian [END]Where stories live. Discover now