48. Basically

820 97 1
                                    

48. Kenyataannya

"Dia tidak apa-apa. Anda tenang saja."

Xander mengerjapkan matanya ketika ia mendengar penuturan dari tabib tersebut. "Ap-apa maksudmu? Caroline baik-baik saja?" ulangnya kemudian.

Tabib atau lebih tepatnya dokter, itu mengangguk. Ia tadi sudah memeriksa keadaan Caroline, dan kenyataannya; tidak ada masalah serius yang menimpa gadis itu. Setelah itu, tabib tersebut meminta ijin untuk keluar dari sana, disambut dengan anggukan setuju oleh Xander.

Xander beralih untuk menatap Caroline dengan tatapan tak percaya. "Apa ... ini karna dia telah berubah-"

"Caroline tidak akan pernah berubah. Dia masih menjadi manusia yang memiliki darah pencampuran antara vampier dan manusia," potong Sebastian yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.

Ucapannya itu sukses membuat Xander menoleh ke arahnya dengan raut wajah terkejut. "Bagaimana bisa?"

Sebastian tersenyum tipis. Lelaki ini lalu berjalan mendekat dan duduk di samping tubuh Caroline yang tengah berbaring. "Kau adalah vampier tertua di sini, jadi seharusnya kau tau jawabannya," imbuh Sebastian. Tangannya kini beranjak untuk mengusap rambut Caroline dengan lembut.

Xander menatap Sebastian dengan tatapan bingung. Ia benar-benar tidak mengerti dengan ucapannya.

Sementara Sebastian, lelaki ini meraih tangan Caroline lalu mengecupnya dengan singkat. Ia melirik Xander dari sudut matanya dan berkata, "Kau masih belum mengerti?"

Xander menatap Sebastian dengan tatapan menyelidik. Ia berjalan mendekati Sebastian dan menaruh tangannya di bahu lelaki itu. "Cepat jelaskan apa maksud dari ucapanmu," ujarnya.

Sebastian menghembuskan nafasnya lalu merubah posisinya menjadi berdiri. Ia membalas tatapan Xander yang nampak sangat tengah menunggu jawabannya.

Sebastian berdehem. "Sebelumnya ... aku ingin meminta maaf," ujarnya, disambut dengan raut wajah terkejut dari Xander.

"Minta maaf untuk apa?"

Sebastian mengusap lehernya seraya tersenyum kikuk. "Kemarin aku masuk ke kamarmu, dan ... tak sengaja membaca sebuah buku tebal di atas meja kerjamu," jawabnya dengan ragu.

Xander memicingkan matanya. "Maksudmu ... kau membaca buku yang berisi silsilah keluargaku?"

Sebastian mengangguk. Pandangannya kini beralih untuk menatap wajah damai Caroline yang masih memejamkan mata. "Di sana, aku mendapatkan sebuah kalimat penting yang isinya ..." Sebastian menjeda kalimatnya. Ia mencoba mengingat isi dari kalimat itu. "Isinya adalah, Seseorang yang memiliki darah campuran, tidak akan bisa berubah menjadi 'bangsa lain', jika salah satu dari 'bangsa lain' itu berniat untuk merubahnya," sambungnya, membuat dahi Xander mengernyit.

Sedetik kemudian, Xander terkekeh kecil seraya menyilangkan kedua tangannya di atas dada. "Selama ini, aku mencoba mencari makna dari kalimat itu, tetapi tidak bisa. Kupikir itu hanyalah sebuah slogan tanpa arti."

Sebastian berdecih. "Sekarang kau mengerti?"

Xander mengangguk. Ia menepuk-nepuk bahu Sebastian lalu berkata, "Terimakasih. Berkatmu, aku tidak perlu mengkhawatirkan keadaannya lagi."

Sebastian tersenyum kecil. Ia menatap punggung Xander yang mulai hilang di balik pintu. Setelah itu, Sebastian kembali menoleh ke arah Caroline lalu mendudukkan tubuhnya di tempat asal.

Sebastian mengecup kening Caroline dengan singkat lalu menggenggam tangannya dengan erat.

"Cukup kali ini aku melihatmu menangis, Caroline. Just this time."

***

Hari demi hari mulai terlewati. Sebastian masih setia duduk di samping Caroline. Matanya terus menatap ke arah wajah cantik itu sambil sesekali mengecup tangannya dengan lembut, berharap mata indah itu kembali terbuka dan menampilkan iris birunya.

Sebastian tersenyum tipis. Ia menghembuskan nafasnya dengan pelan lalu menempelkan tangan Caroline ke pipinya. "Kapan kau akan sadar? Aku merindukanmu," gumamnya kemudian.

"Hanya kau lah satu-satunya penyemangatku. Aku sangat, sangat merindukanmu, kau tahu," sambungnya seraya mengecup tangan Caroline dengan cukup lama.

Sebastian menelan salivanya. "Wajah cantikmu itu seakan meledekku sekarang. Kapan kau akan bangun, Caroline?" cibirnya sambil menggerutu. Mungkin jika mata Caroline terbuka, ia tidak akan tahan melihat ekspresi menggemaskan dari Sebastian sekarang.

Sebastian menghembuskan nafasnya dengan kasar. Ia bangkit dari duduknya lalu beranjak untuk menarik selimut hingga menutupi tubuh Caroline sampai dada. "Cepat sadar, atau nanti aku yang akan menjemputmu ke alam sana," ujarnya bermonolog.

Sebastian membalikkan badannya dan hendak pergi dari sana. Ia berharap, sebuah tangan menahan pergerakannya seperti di film-film yang pernah ia tonton sebelumnya. Namun sayang, realita tak seindah ekspetasi. Tidak ada tangan yang menahan, atau sebuah suara lembut yang menghentikannya.

Sebastian menoleh ke arah Caroline yang masih nampak memejamkan mata. Sedetik kemudian, ia akhirnya melangkah keluar dari ruangan dan menutup pintu.

Bersamaan dengan itu, suara cekikikan seorang gadis mulai terdengar. Gadis itu--Caroline bangkit dari tidurnya. Sebenarnya ia sudah bangun dari sejak malam, tetapi ia memilih untuk merahasiakannya. Ia juga sudah tahu tentang; dirinya tidak akan berubah menjadi vampier karna ia mendengar pembicaraan antara tabib dengan Sebastian semalam. Ah, rasanya menyenangkan mengerjai Sebastian seperti ini.

"Aku juga merindukanmu, Sebastian. Tetapi ... aku ingin lebih lama mendengar keluhan-keluhanmu itu," kekehnya seraya mengulum senyum.

Caroline menggerakkan kepalanya, bermaksud meregangkan otot-otot lehernya yang masih terasa nyeri. Tangannya kini meraba sebuah kain kasa yang membalut lehernya dengan hati-hati. Ia masih merasakan rasa sakit di sana.

Ingin rasanya Caroline turun dari ranjang ini dan menghirup udara segar di luar sana. Tetapi tenaganya belum cukup kuat. Ia sempat mendengar bahwa Nick waktu itu cukup banyak mengambil darahnya sehingga membuatnya menjadi lemas seperti ini. Argh, memikirkan hal itu ... membuat Caroline kembali teringat dengan kejadian di beberapa hari yang lalu.

Caroline kira dirinya akan mati atau, setidaknya dia akan berubah menjadi sosok yang baru. Namun kenyataannya, ia masih menjadi dirinya sendiri. Caroline masih menjadi manusia asli dengan memiliki darah campuran antara manusia dan vampier.

Caroline bergumam. Pandangannya beralih untuk menatap pintu. "Sebastian tadi mau ke mana, ya? Dia selalu saja pergi meninggalkanku," gerutu Caroline, memasang mimik wajah kesal.

"Aku tidak pernah pergi meninggalkanmu, Caroline."

Caroline tersentak ketika ucapannya tiba-tiba terbalas. Punggungnya seketika menegang ketika ia tak sengaja melihat Sebastian tengah berdiri di depan jendela dengan kedua tangan yang bersilang di atas dada. Ah, apakah lelaki itu mendengar semua ucapannya tadi? Dan ... bukankah tadi dia pergi?

Caroline menormalkan ekspresinya. Ia tersenyum lebar seraya menampilkan deretan giginya yang tertata rapi. "Sedang apa kau di situ, Sebastian?" tanyanya, mencoba untuk ramah.

Lain halnya dengan Sebastian yang kini menyeringai. Dengan gerakan secepat kilat, sekarang ia telah berada persis di samping Caroline.

"Jadi kau mengerjaiku, hm?" tanyanya, menggerak-gerakkan alisnya dengan kilatan jahil di matanya.

Caroline menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain, berusaha mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan Sebastian.

Caroline tersentak ketika Sebastian sudah duduk di sampingnya. Lelaki itu memajukan tubuhnya, hingga membuat Caroline secara refleks menjauhkan badannya.

"Ap-apa yang kau lakukan?" tanya Caroline terbata-bata.

Sebastian menyungging senyum. "Aku akan memberimu hukuman, karna telah berani mengerjaiku."

Mata Caroline melebar. "Hukuman? Hukuman ap--"

Cup

AARGH! TOLONG SELAMATKAN JANTUNG CAROLINE!

____________________________________

Call Me, Sebastian [END]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu