01.Tersayang

7.9K 298 11
                                    

"Kenapa Sonya Senja Afrita?" suara beratnya bertanya pada gadis yang sedari tadi sibuk mengoceh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kenapa Sonya Senja Afrita?" suara beratnya bertanya pada gadis yang sedari tadi sibuk mengoceh.

Anya. Dia lantas mengerutkan bibir, ngambek. Laki-laki berparas memesona itu tersenyum tipis, menopang pipi menggunkan dua tangan sambil memperhatikan gadis berambut panjang yang duduk di sebelahnya. "Oke aku nggak akan bales singkat, ayo lanjut cerita."

"Kalau aku nggak mau?"

"Aku bilang i love you." Jawaban spontan dari pacar Anya ini membuat acara ngambek Anya terurung. Mendengus sebal. Dia jarang mengatakan hal seperti itu, sekalinya mengatakan langsung berefek panas dingin.

Dia adalah, Azriel Putra Febrianto. Kalau kalian menebak ia lahir pada bulan Febuari, salah besar! 'Febrianto' di ujung terakhir namanya adalah nama Ayahnya sendiri.

Dia kekasih Anya. Awalnya mereka berdua bersahabat hingga akhirnya takdir menjadi saksi jika mereka resmi menjalin kasih hingga sekarang. Anya cukup hebat untuk menjadi pacarnya selama 2 tahun belakangan ini, begitupun dia. Laki-laki yang kerap Anya panggil Lele dari semenjak mereka berdua masih duduk di bangku sekolah dasar. Tentu nama itu memiliki sejarah tersendiri. Sejak dari kecil Azriel Putra Febrianto ini memiliki banyak bulu di sekujur tubuh hingga pada wajah. Faktor genetika mengatakan itu keturunan dari sang Ayah. Mungkin memang iya, karena Ayah Febrianto beralis tebal pekat dan memiliki janggut yang lebat. Faktor itu justru menjadi kelebihan bagi Lele satu ini sebab membuat wajahnya semakin tampan dengan bulu-bulu yang ada di setiap sisi wajahnya, alis bertautan serta kumis tipis, terkesan manis. Kalau Lele ku ini tak rajin bercukur, tidak terbayang akan sepanjang apa kumisnya.

Ia lahir di bumi lebih dulu dari Anya, itu alasan mengapa Anya selalu memanggil dia dengan awalan 'Ka', disambung dengan 'Le'. Jadilah sayang, maksudnya---jadilah Kale. Jujur saja itu dulunya hanya Anya pakai untuk bahan ejekan tapi makin lama itu berubah jadi nama panggilan. Semua orang ikut memanggilnya Kale.

Dan dari sini kisah mereka bermula.

Tangan kekar Kale mengusap puncuk kepala Anya dengan lembut kala cerita telah usai. "Tokoh jahat selalu punya alasan sendiri karna sejatinya nggak ada yang mau jadi mahluk jahat," sahutan Kale yang cukup puas untuk Anya.

"Oke, kalau nanti suatu saat Anya jahat artinya Kale harus tebak alasan dibaliknya ya?" Laki-laki bergestur kalem itu terkekeh lalu mengangguk.

"Cuma ngangguk?" Bibirnya kembali mengerut.

"Mau yang panjang?" secepat kilat Anya mengangguk dengan mata berseri-seri menatap kekasihnya yang malah menunjuk-nunjuk pipi. Minta imbalan sun.

"Mau ditampar?" sungut Anya. Kale tertawa.

Iseng-iseng Anya bertanya. "Le-le hari ini Anya kaya apa?" berharap dapat jawaban yang baru.

Nihil, malah jawaban yang selalu Anya dengar kembali terlontar. "Kaya boneka yang baterainya nggak abis-abis."

Itu tidak salah, Anya selalu hiperaktif. Berbanding terbalik dengan Kale yang selalu kalem. Stay cool.

Wajah cantik Anya diterpa angin, rambut yang dibiarkan tergerai itu berantakan. Sebelum membayar es doger pada mang Dadung Kale merapikan rambut Anya.

Saat sudah rapi dengan wajah tanpa dosa sengaja Anya acak lagi. "Ayo rapiin lagi," perintah dari Anya Kale turuti dan lagi Anya acak, senang sekali modus banyak pada kekasih hati.

Air muka Kale tetap tenang, sabar merapikan. Terakhir ia mencium puncuk kepala Anya membuat gadis tersebut membeku. Sialan, selalu tahu yang membuat Anya diam.

Warung es Doger mang Dadung ini terletak di sisi jalan tepi danau. Tempatnya cukup jauh dari hiruk pikuk gedung-gedung kota jadi terasa sejuk jauh dari polusi.

Sepulang sekolah mereka tidak pernah alpa untuk datang kesini. Tempat sederhana yang menurut keduanya istimewa karna hanya mereka saja yang tahu. Begitu kira-kira.

"Besok kita naik mobil ya kalau kemana-mana?" ajak Kale saat mengayuh sepeda gunung menuju toko ponsel.

"Lho kenapa, Anya berat ya?" tanya Anya yang naik di belakang. Naik sepeda bersama Minggu pagi ini memang permintaan dirinya.

"Kamu nanti kepanasan," suara beratnya menjawab. Anya yang sudah berpikiran buruk tersenyum malu-malu.

"Aku yang kepanasan atau kamu yang cape?"

"Aku sih dua-duanya." Anya langsung memukul pelan pundak Kale.

Dari kecil hinga sekarang, kelas 1 SMA Anya memang baru punya ponsel, bukan tidak mampu beli tapi itu larangan dua orang tuanya agar anak mereka fokus hanya pada sekolah.

Beres pembayaran ponsel yang sama persis dengan milik Kale, mereka berencana pulang. Anya terlihat sibuk mengotak-ngatik ponsel barunya, dia langsung bisa karena di rumah sebelumnya jika apa-apa menggunkan ponsel sang Mama yang tidak jauh beda, mutakhir.

Drttt....

"Angkat Kale," alis tebal Kale mengeryit. Kenapa pula saling berhadapan harus telpon.

Tanpa sepatah kata Kale mengangkat, mendekat kan ke telinga. "Ya ampun kok nggak ada suaranya sih?" heran Anya. "Wah rusak harus dituker, ayo!" Kale menarik lengan Anya yang akan protes tentang ponsel barunya. Kale tahu Anya tengah mengajak bergurau.

Tarikan Kale membuat tubuh mungil Anya menabrak dada bidangnya, menyeruak wangi musk. "Mau disun nggak?" tanya Kale balas menggoda.

"NAH BARU ADA SUARANYA!" puas sekali Anya tersenyum geli.

"Jadi mau nggak?" tanya Kale sekali lagi dengan tatapan teduh.

"Enak aja, nggak!" balas Anya sambil memeletkan lidah.

"Kalau aku kamu mau nggak? bisa diiket di plastik."

"MAUUUUUU!" tubuh atletis milik Kale detik itu juga langsung Anya peluk. Kale tersenyum simpul.

Keduanya selalu penuh cinta. Jarang di selimuti masalah, tapi kalian keliru jika hanya menebak mereka akan baik-baik saja dan berakhir bahagia. Justru kebahagian kecil di hari ini pembuka luka di hari-hari ke depan.

*******

KALE [END]Where stories live. Discover now