09.Kale keliru

567 52 7
                                    

Semalaman penuh Kale tidak tidur, ia terus menerka-nerka apa yang Anya katakan, ia bilang minggu pagi ini akan datang ke rumah, Risa yang meminta. Mereka akan masak bersama, ya memang seakrab itu mereka berdua. Bunda sudah menganggap Anya adalah anaknya juga.

"Gak tidur kamu, Zil?" Febrianto bertanya sambil menyimpan korannya ke meja.

"Tidur," balas Kale. Kantung matanya memang hitam pekat, kurang tidur.

"Banyak tugas sekolah, bang?" Risa menyahut, menyimpan kopi pesanan suami.

"Nggak," respon Kale pendek.

"Ya banyak ya, zil? kalau nggak mau banyak tugas nikah aja lah," saran Febrianto bergurau yang dipelototi Risa.

Kale terkekeh pelan, seperti ini lah keluarga kecil mereka jika libur. Full di rumah, menghabiskan waktu bersama keluarga.

Beda dengan satu pemuda berkulit putih yang sudah rapi, mengantar neneknya ke tempat pengajian. Ya, Neneknya menganut agama islam beda dengan dirinya yang berpegang teguh pada Tuhan Yesus. Walau begitu Nenek tidak pernah memaksa Bule mualaf sebab itu hak bule sendiri.

"Aduh kalau cucu nenek Intania islam mau deh dicomblangin sama anakku," ibu-ibu pengajian menceletuk saat Bule membuka pintu mobil neneknya, menuntun masuk.

Bule memang selalu urakan, anak paling nakal tapi tidak jika di depan Intania, sebab hanya nenek lah yang Bule miliki.

"Telpon Ule kalau mau pulang ya, nek?" ucapnya mewanti-wanti.

Wanita tua yang rambutnya sudah memutih keseluruhan itu tersenyum lembut, mengangguk. "Hati-hati kamu, jangan kebut-kebutan."

Kembali lagi pada isi rumah Kale. Anya sudah datang dan tengah memasak bersama Risa, sementara itu diruang tengah Ica dan Febrianto saling lirik, bingung.

"Abang kenapa sih? bulak-balik kaya licinan," heran Ica pada sikap aneh abangnya.

"Mules kamu, Zil? cepet ke WC atuh, naber disinih gawat!" kata Ayah. Kale berkacak pinggang, berdecak dan pergi ke kamarnya. Benar-benar tidak jelas.

Satu jam berlalu dengan rasa resah.

"BANG TURUN, MASAKAN UDAH JADI!" teriak Risa.

Di meja makan Febrianto mengeluarkan gurauan, semua tertawa. Hanya Kale yang diam menguyah sambil memandangi gadisnya. Ia tidak sadar jika sedari tadi Ica usil mengambil daging di piringnya, entah lah bagi Ica makanan orang lain lebih enak ketimbang milik sendiri.

Awan hitam menggumpal, dilanjut dengan tetes gerimis hingga akhirnya kota Jakarta dan sekitarnya di bungkus hujan deras.

"Kamu kenapa sih?" Anya bertanya saat duduk berdua di taman belakang bersama Kale.

"Kamu mau ngomong apa?" to the point Kale bertanya balik.

Sontak Anya tertawa, hanya karna pesan semalam darinya Kale resah?

"Bukan hal serius."

"Apa?"

"Setelah dua kali gagal aku akhirnya berhasil angkat galon ke dispenser, KAN, KEREN KAN?" tanya Anya. Kale membelalak, mengangguk lalu tepuk tangan.

Tepuk tangan yang membuat Anya tersenyum lebar, sombong. Kenapa Kale tidak pernah berpikir jika pacarnya amat random?

"Dapet hadiah," ujar Kale menepis pikiran yang tidak-tidak dari kemarin.

Anya antusias. "WISHHH, APA?"

Rumah minimalis modern yang ditempati Nenek juga Bule terlihat sepi. "Nis ayo masuk dulu," ajak Nenek pada Anisah. Dia anak dari ustaz di pengajian.

KALE [END]Where stories live. Discover now