Chapter 28

754 93 16
                                    

Warning
Typo
Happy Reading

***

Jika dikatakan Taehyung menyerah tentu saja salah besar, ada cara lain untuk melindungi Jiminnya. Dengan menjadi seorang stalker misalnya, berbekal  kamera yang senantiasa membidik dengan disertai penyamaran berupa hodie dan masker. Tak lupa kacamata yang bertengger apik di wajah tampan miliknya.

Bisa dikatakan pekerjaannya meningkat, yang dulunya psychopat gila kini ia menjadi stalker gila. Yang dulunya ia mempunyai tuan prekedel kentang kini bertuan Kumammonie beku. Memang konyol hanya saja ia merasa lebih nyaman.

Dapat dilihat Jimin tengah memilih beberapa jajanan pedas di pinggir jalan, spertinya ia tengah merajuk karena bibirnya yang maju. Namjoon tampak kewalahan, ia hanya bisa mengagguk pasrah. Pria itu benar-benar terjatuh dalam pesona Jimin.

Jimin memasukan tteokboki pedas kedalam mulutnya, memandang sekitar dengan kaki berayun layaknya seorang bocah yang dibawa jalan-jalan oleh sang ayah.

Namjoon membersihkan saus yang belepotan di wajah si mungil, ia tampak begitu telaten karena Jiminnya cukup sensitif akhir-akhir ini. Bahkan Jungkook saja prustasi dengan keinginan pria terkecil di keluarga itu.

"hoeeek," Jimin sedikit memuntahkan isi perutnya, seketika ia berhenti makan. Memegang perutnya yang terasa mual. Sepertinya ia tersedak makanan itu, ia segera minum dari tumbler Pororo yang ia bawa. Katanya supaya lebih hemat tanpa harus membeli minum.

Taehyung sedikit khawatir, dapat dilihat jika sahabatnya terlihat begitu pucat. Ingin rasanya ia mendekat dan memeluknya, mengusap perut si mungil apabila ia merasa sakit. Seperti dulu.

Namjoon menggendong pria itu, pria berdimple itu seperti menjaga agar tidak terlalu menekan parut si mungil yang bahkan belum diketahui ia mengandung atau tidak. Berjaga-jaga itu perlu, dapat dirasa Jimin seperti kebingungan dengan tingkah Namjoon. Tapi dia tidak peduli karena perutnya terasa semakin melilit.

Setelah dokter berlalu Namjoon masih tidak mempercayai penuturannya, Jimin terlalu banyak makan pedas sehingga mengganggu pencernaan. Bukan karena hamil? Ia mengusap perut Jimin pelan. Setidaknya ia masih berharap jika seorang janin tengah berkembang di dalam.

"kau benar-benar mengharapkan seorang bayi ya, maafkan aku."

Namjoon mengusap surai si mungil, menggeleng pelan lalu melempar senyuman.

"tidak masalah, waktu masih sangat panjang. Kita bisa berusaha lagi," ucapnya pelan. Sedangkan Jimin menunduk, ia hanya tidak sependapat. Waktu terasa lebih singkat, ia merasa hubungan dengan pria dihadapannya hanya berdasarkan ambisi semata. Tidak ada ketulusan dan ia merasa perlu meluruskannya. Sebelum semuanya terlambat dan berakhir dengan kekecewaan.

"aku ingin mengakhirinya, kau sudah kehilangan aset berhargamu karenaku, kau kehilangan sosok wanita yang dicintai karenaku dan tanpa kau sadari hubungan dengan anakmu merenggang karenaku. Jadi mari kita akhiri,"

"aku tidak mau dan tidak pernah setuju,"

"tapi aku mau, kumohon jangan terus-menerus bersikap egois. Aku juga punya hak untuk hidup lebih bebas. Sesuatu yang dimulai dengan tidak baik maka akan terus menerus tidak baik. Aku ingin memperbaiki hidupku Namjoon-ssi." ucpanya berderai air mata, ia terdengar seperti putus asa. Namjoon tidak suka itu, dikecupnya dahi lama. Direngkuh dan dikecupnya bibir itu. Namjoon benar-benar terkena karma.

Jimin benar-benar membencinya, pria berdimple itu mematik rokok dan menghisapnya pelan. Menghembuskan asap sambil mengacak surainya. Sepertinya ia harus memulai ulang rancangan rencana, hanya saja ia tertinggal selangkah dengan sang istri. Apakah kali ini adalah kekalahannya? Pria kecil itu sedikit menjaga jarak meski tanpa meninggalkan kewajiban sebagai istri. Lebih bergantung dan manja terhadap Jungkook dibandingkan dirinya.

Sebisa mungkin Namjoon mengikuti keinginan Jimin, bahkan untuk kembali bekerja di perusahaan milik Kim Seokjin. Entah apa yang ia rencanakan, Jimin merupakan pria yang sulit ditebak.

"kau benar-benar berniat menerimanya kembali Seokjin-ah?" Namjoon menatap tidak suka, harapan satu-satunya menolak keinginan itu ia lah sang sahabat. Namun semua tidak sesuai ekspetasi, pria itu bahkan tidak menunjukan keberatan atau penolakan.

"tentu saja, akhir-akhir ini aku sibuk mengurus cabang perusahaan yang baru di buka. Sekretasis kompeten seperti Jiminlah yang tengah aku butuhkan."

Namjoon mengernyit tidak suka, pria itu tampak memiliki niat terselubung. Mungkinkah dia juga menaruh hati terhadap Jimin, apa sebegitu sulit mempertahankan pria mungil itu hanya untuknya?

Posisinya berada di tempat yang serba salah, apabila melepas Namjoon tidak yakin bisa memiliki kembali. Apabila ia bersikeras untuk mempertahankan, seperti beban mengikat kakinya. Ia tidak bisa melangkah maju dan tenggelam di dalam rasa sakit. Bukan hanya untuknya, tapi untuk Jimin juga. Perasaan bimbang menggerogoti hatinya, perasaan kecewa saat mulai nyaman namun di waktu yang rentan. Ia baru menyadari Jimin merupakan pria yang luar biasa, hanya saja Namjoon tidak pintar untuk mengungkapkan pujian.

Jimin keluar dari kamar dengan pakaian rapi dan tas slempang di tangannya, ia menatap Namjoon yang tengah memperhatikan gerak-geriknya. Jimin mengernyit, apakah ada yang salah dari penampilannya?

"aku akan mengantarmu," ucap Namjoon perlahan.

"tidak perlu, aku sudah memesan taksi."

"batalkan, lalu pergi bersamaku. Kebetulan aku juga ada keperluan di tempat yang searah."

Jimin bergeming, ia pikir tidak masalah jika ia menerima ajakan pria itu. Lagipula itu bisa mengefektifkan waktu dan pengeluaran. Sesungguhnya Jimin merupakan tipe orang yang membenci pemborosan uang apalagi waktu.

Langkahnya mengekor pada pria yang lebih besar darinya, menyugar surai yang menutupi dahi dan tersenyum saat Namjoon mempersilahkan ia masuk kedalam mobil. Terlihat begitu rukun, namun kenyataan tidaklah selalu sesuai. Jimin memandang ke arah luar jendela, membiarkan keheningan menginvansi keduanya. Hanya deru mobil dan sesekali suara klakson pengendara lain yang terdengar. Perasaan canggung, seperti pertama kali berkencan. Bahkan lebih canggung dari itu, Jimin mengusap pipinya yang memerah akibat dingin. Ia menggosok kedua telapak tangan dengan tidak memedulikan Namjoon yang memperhatikan melalui ekor mata.

"kudengar Jungkook akan melanjutkan study di Jerman?"

Pecah sudah, keheningan itu berlalu saat Jimin mulai bersuara. Ia memandang Namjoon sejenak lalu kembali mengarahkan pandangannya kedepan.

"aku membebaskan anak itu dengan pilihannya, ia cukup dewasa untuk memutuskan segala sesuatu."

"kurasa aku bisa mempercayai itu, ia mempunyai darah yang mengalir persis sepertimu. Bertindak sesuai rencana dan merealisasikan dengan apapun caranya."

"Jimin,,"

Namjoon menggenggam tangan pria itu, meremasnya kuat sambil menahan berjuta perasaan yang kerkecamuk. Menaikan tangan menuju pipi gembil si mungil yang memerah, Namjoon mengigit bibir bawahnya. Matanya terasa memanas, otak yang selama ini dikatakan cerdas faktanya tidak mampu berjalan saat netranya bertemu dengan dua manik kembar yang kelewat cantik.

Ia kembali fokus mengemudi, perasaan pening di kepala memaksanya untuk berpikir realistis. Jika terus bartahan maka lama-kelamaan akan berakhir juga. Tapi jika melepaskan, ia akan kehilangan pria paling berharga. Lalu apa langkah yang seharusnya ia ambil. Mengingat Jimin masih memendam perasaan sakit itu sendirian, tanpa terbuka atau menerima jika Namjoon bisa menjadi wadah untuk berbagi.

~~~••~~~

Terima kasih

Note.
Sebenarnya bukan cuma Namjoon yang bimbang, aku juga huaa.
Menurut kalian gimana nih, Namjoon sama Jimin mending pisah apa gimana?
Mengingat story ini kan Jimin x all member, tapi perasaanku kok malah fokus ke Nammin aja gitu. Merasa gk adil sama member lain huhu.
Mohon pendapatnya, terserah apa aja. Nanti biar bisa jadi pertimbangan untuk kelanjutan story.

Terima kasih untuk yang sudah berpartisipasi.

By
Alieebaikhati

HEARTBEAT [END]Where stories live. Discover now