chapter 36

659 94 44
                                    

Warning
Typo
Happy Reading

***

Kameja Satin Roberto Cavali berwarna dusty pink menambah daya tarik seorang Park Jimin. Ia baru saja pulang dari pestival tari yang di adakan sebuah perusahaan yang kebetulan bekerja sama dengan studio tari yang ia kelola. Rambut blondenya tampak sedikit memudar, namun justru membuatnya terlihat begitu menawan.

Bahan kain yang dipakai termasuk jenis yang lembut dan jatuh, kain itu sangat memperlihatkan lekuk tubuh Jimin bahkan di bagian dada. Terlebih dari itu Jimin membiarkan dua kancing kamejanya terbuka.

"ada apa dengan wajahmu?" ucap Jimin ketus, ia merasa Jijik melihat Taehyung yang menunjukan wajah mesum.

"kau seharusnya menutup aurat Jim." ujarnya polos, Jimin tidak mengerti apa yang dimaksud sahabat aliennya. Ia hanya mengendikan bahu acuh.

"Jungmin sudah tidur?" Jimin mencoba mengalihkan topik.

"ya, sepertinya ia kelelahan bermain."

"kau seharusnya berhenti mendekatkan Jungmin dengan Namjoon. Aku tidak suka dia lebih menempel dengan pria itu daripada aku." ujar Jimin murung.

Taehyung menatap pria itu haru, ternyata teman kecilnya telah berubah. Ia sangat menyayangi Jungmin, padahal dulu Jimin pernah mengatakan jika ia mendapatkan seorang putra maka Jimin hanya perlu menyerahkan pada ayah kandungnya dan pergi untuk melanjutkan karir. Mengingat Jimin merupakan maniak kerja. Namun kenyataan bertolak belakang, Jimin seperti tidak bisa hidup tanpa Jungmin.

Selain itu ia tampak lebih dewasa, Taehyung pikir pria ceroboh itu  akan kerepotan hanya karena mengurus dirinya sendiri. Ternyata itu salah, Taehyung merasa dirinya terlalu khawatir.

Jimin dapat merasakan jika Taehyung merangkul dari belakang, menenggelamkan wajah di ceruk lehernya. Ia merasa tidak nyaman, bukankah pria itu harus membiarkannya untuk mandi terlebih dahulu?

"jika Jungkook datang, apa yang akan kau lakukan?" ucapnya pelan, Jimin mengernyit.

"aku tidak tahu, lagipula aku tidak berpikir ia masih hidup setelah menghilang ditelan bumi." ujar si mungil kesal.

Taehyung semakin memperdalam duselannya, "apa kau masih menunggunya?"

"Tae lepaskan dulu, setidaknya biarkan aku untuk mandi. Apa kau tidak merasa bau mencium keringatku?"

Taehyung menggeleng, hidung mancungnya membuat Jimin merasa geli.

"hentikan." Jimin sedikit terkikik, ia tipe orang yang mudah geli. Bahkan hanya karena sentuhan di telapak tangannya.

Pria tan itu memandang Jimin sendu, ia melihat pria itu menghilang ditelan pintu setelah berhasil kabur dari rengkuhannya. Jimin yang bahagia merupakan bagian terbaik dalam hidupnya, Taehyung tidak akan pernah tega melihat satu tetes air mata keluar atau bahkan hanya menggenang di pelupuk matanya.

"dia pulang, ayah kandung dari Jungmin pulang." gumamnya lirih, seperti sudah merasa kehilangan bahkan sebelum hal itu terjadi. Ia terlalu bawa perasaan. Hanya saja memang itu pada kenyataanya.


       Ketegangan masih menyelimuti, Namjoon memilih untuk tidak buka suara. Berbagai jenis masakan mewah sama sekali tidak menggugah selera, begitupun dengan Jungkook. Rasa penasaran masih bersarang apik didalam kepala, siapa Jungmin. Kenapa ia merasa bahagia hanya karena menatap mata besarnya, bahkan perasaan hangat mendera rongga dada.

"J-Jungkook apa aku boleh memakan ayam itu?" ujar lisa memecah keheningan. Seorang gadis yang begitu kelaparan, porsi makan yang sangat tidak sinkron dengan bentuk tubuh yang menyerupai ranting.

Pria kelinci itu mengangguk, mengambilkan dua potong ayam sekaligus dan meletakan di piring wanita itu.

"satu saja cukup."

"makanlah, tidak perlu malu." ucapnya pelan, Jungkook memandang wanita itu teduh. Lisa yang selama ini membantunya, menemaninya bahkan perlahan mengisi hati?

Mungkin, hanya saja ia masih tidak begitu yakin. Seluruh perasaannya telah dirampas dan hilang bersamaan dengan perginya seseorang. Ia pikir dengan melepas mungkin saja akan membuat Jimin bahagia, meski ia telah berbuat egois dan seenaknya di perpisahan terakhir. Ia telah mendeklarasikan bendera putih pada pria tua dihadapannya, hanya saja mengapa ia justru murung dan kecewa.

Namjoon bangkit lalu pergi ke kamar utama, ia memberitahukan beberapa maid untuk membawa makanan kedalam kamar dengan alasan akan melanjutkannya disana. Lisa tampak menghentikan kegiatannya.

"apa aku menyinggung ayahmu? Maafkan aku Jungkook-ah. Aku memang tidak bisa menahan nafsu makan jika berhadapan dengan makanan enak." ucapnya pelan, Jungkook terkekeh. Ia mengusap surai pirang milik sang wanita, menggemaskan pikirnya.

"tidak masalah, dia memang sulit ditebak. Lanjutkan saja makanmu, setelah itu mandi dan beristirahat. Kau pasti sangat lelah." ucapnya lembut. Lisa mengangguk setuju, melanjutkan makan dengan tambahan ikan goreng dan beberapa sayuran.

"aku juga makan sayur sekarang," ucapnya ceria.

"tentu saja itu harus, jangan lupa buah-buahan dan susu. Jangan biarkan si kecil tidak sehat."

Lisa tertawa, ia mengelus perutnya yang masih rata. Bersyukur saat dipertemukan dengan pria baik yang penuh tanggung jawab, meski perbuatannya menjadikan ia dibenci seluruh keluarga. Tapi setidaknya ada yang peduli.

"kau melamun?" Jungkook tampak heran. Ia terlihat begitu khawatir.

"tidak ada Jungkook-ah, sebaiknya aku segera beristirahat."

Jungkook mengantar Lisa kekamar, mempersiapkan segala sesuatu sedetail mungkin. Ini pertama kali baginya mengurus seseorang yang sedang hamil, perasaannya begitu sensitif dan labil. Banyak sekali keinginannya, katanya bawaan bayi. Padahal Jungkook kira mengidam hanya sekali di umur kehamilan, ternyata itu berlangsung lama. Namun bagaimanapun ia merasa salut dan bangga, seorang yang mampu menahan beban di perut bahkan tidak jarang membuatnya kewalahan.

"Jungkook terima kasih," ucap Lisa pelan, mereka sedang berada di ruang tengah dengan tv menyala. Lisa mendekatkan wajah dan melumat bibir tipis milik pria itu, dadanya terasa menghangat.

"mama?"

Ucap seorang bocah mengintrupsi, ia tampak khawatir dengan sang mama yang bergeming dan menangis tanpa suara. Entahlah ini tidak bisa disebut menangis, hanya saja liquid bening mengalir tanpa permisi.

Bagaimanapun bukanlah ide bagus untuk mengunjungi kediaman Namjoon, rumah penuh rasa sakit seperti neraka. Kembali terulang dan terus terulang.

"Jimin?"

Jungkook terkejut dengan kehadiran pria itu, begitupula Lisa.

Jimin tidak menghiraukan keduanya, ia merendahkan badan dan berkata lembut.

"Jungminie pulang ya, mainannya di ambil sama papa Tae saja."

Jungmin sebenarnya ingin protes, tapi ia tidak tega melihat sang mama yang menangis.

Pria mungil itu mengangkat sang anak sebelum tangan lain menahan, ia menepisnya. Hanya saja usahanya sia-sia karena cengkraman itu mengerat bahkan Jimin merasa kuku-kukunya menancap kedalam kulit. Jimin meringis, air matanya semakin mengalir.

"paman mama kesakitan? Lepaskan." ucap Jungmin kesal. Ia menatap garang kearah Jungkook.

"Jungkook ada apa?" ucap Lisa mengintrupsi, perlahan cengkraman itu memudar. Jimin mengambil kesempatan untuk melepaskan diri, ia segera berlari meninggalkan rumah itu. Mungkin ia bersyukur tidak bertemu dengan Namjoon karena jika mereka bertemu maka ia akan diingatkan masa lalu. Tapi siapa sangka ia malah dipertemukan pria lain dengan pemandangam yang tidak elit.

"Jungmin tadi tidak melihat paman itu kan?"
Ucap Jimin lemah, Jungmin mengangguk ragu. Ia hanya membelai wajah sang ibu untuk menghapus air matanya, apa paman itu telah menyakiti sang mama. Beraninya membuat orang yang paling ia sayangi menangis.


*Jungmin bocah berkepribadian dewasa. uwu

~~~••~~~

Terima kasih

By
Alieenbaikhati




HEARTBEAT [END]Where stories live. Discover now