Chapter 32

638 93 23
                                    

Warning
Typo
Happy Reading

***

Namjoon masih sibuk dengan kegiatannya, menghitung deretan angka dan memastikan kapan perkiraan Jimin hamil. Namun hasilnya tetap sama, ia tidak merasa puas. Bagaimana mungkin perkiraannya tepat hari dimana mereka bercerai, bahkan dirinya saja sudah berhenti menjamah si mungil hampir dua minggu sebelumnya. Dugaan demi dugaan menghampiri pikirannya, akankah ada seseorang yang menjamahnya saat ia sudah pergi dari mansion. Ia berdecak tidak percaya, Jimin benar-benar keterlaluan. Bahkan belum sehari dia bercerai, ia sudah main gila dengan pria lain. Bisa-bisanya ia begitu bodoh sampai kebablasan memiliki anak, pria itu seperti bukan Jimin saja yang selalu siap dengan segala kemungkinan. Bahkan jika memang sudah dipersiapkan oleh Jimin, bukankah itu terlalu berisiko. Apa Jimin tidak memikirkan reputasinya kelak?

Namjoon masih tidak ingin menyerah, ia masih berkutat dengan kegiatannya. Mengingat kilas balik dimana kemungkinan yang terjadi pada hari itu. Apa yang terlewat sehingga ia merasa bodoh dan tidak tahu apapun. Namjoon menyesal karena melewatkan hari hanya untuk menangis meratapi kesedihan, padahal ia tahu Jimin tidaklah sepenuhnya aman bahkan saat mereka menikah. Apalagi hari itu mereka sudah bercerai.

Namjoon ingat hanya mengingat sang anak yang tidak berada di rumah. Ia hanya berpikir Jungkook tengah mempersiapkan keberangkatannya ke Jerman. Tapi bocah itu selalu mempersiapkannya jauh-jauh hari. Apa mungkin pria kelinci itu pergi ke apartemen Jimin, bukankah ia yang paling tidak percaya dengan perceraian yang mereka lakukan. Mungkin saja anak itu pergi untuk memastikan.

Namjoon mengepalkan tangan geram, jika memang hal itu benar. Berarti Jungkook pergi meninggalkan tanggung jawab, bagaimanapun pria itu adalah anaknya. Segala tindakan yang ia perbuat adalah tanggung jawabnya. Namun ia sangat kesal, sang anak benar-benar memutus kontak. Pria itu mengatakan ingin mandiri, hanya saja waktu yang ia gunakan terlampau salah.

"Jimin," hanya ada satu cara, ia harus bertanya pada pemuda mungil itu. Karena tidak memungkinkan untuk dirinya menyusul ke Jerman. Jam segini mungkin pria itu masih bekerja di kantor. Namjoon memutuskan untuk pergi ke kantor milik Kim Seokjin, ia menggunakan mobil pribadi tanpa ditemani oleh sopir.

Kini mereka saling berhadapan, dengan secangkir kopi dan segelas jus mangga. Namjoon benar-benar tidak berbeda dengan sahabat aliennya. Pengatur dan sok tahu tentang kehamilan, ia benar-benar dilarang keras hanya untuk minum kopi ataupun yang minuman yang mengandung soda.

"ada apa Namjoon-ssi, sampai kau harus menyusulku ke kantor." ucapnya memecah keheningan. Namjoon sedikit berdehem, melemparkan raut penasaran yang ketara.

"anak yang dikandungmu, apakah Jungkook pelakunya?" ucapnya pelan. Jimin mengerutkan alis, kenapa pria itu to the point sekali tapi yang terpenting mengapa pria berdimple ini menanyakan hal seperti itu. Jika memang Jungkook pelakunya apa dia akan memarahi anak itu, bahkan ia saja tidak mengetahui bagaimana kabarnya.

"memangnya kenapa, kau takut jika aku meminta pertanggung jawaban darimu sebagai anggota keluarga dengan alasan Jungkook yang hilang kabar. Tenang saja, aku tidak akan melakukannya secepat itu Namjoon-ssi."

"setidaknya Jungkook anakku, apa yang dilakukannya adalah tanggung jawabku Jimin. Sebaiknya kau tinggal di mansionku dan menunggu kedatangan Jungkook disana." ucapnya tegas, wajahnya sedikit mengeras saat mendengar kebenaran yang terjadi. Ia benar-benar marah pada Jungkook, hanya saja tidak mungkin ia mengamuk di tempat seperti ini. Cukup bersikap wibawa saja seperti biasanya.

Jimin menggeleng pelan, "aku akan menunggu di apartemen, kurasa sudah cukup aku mengganggu keluargamu dan sekarang aku malah terikat dengan kehadiran anak ini. Tapi tenang saja aku tidak akan menuntut apapun kecuali hanya satu yang kuminta, jangan biarkan anakmu menelantarkan anak ini kelak. Satu lagi, kau tidak perlu khawatir karena aku tidak akan menggunakan margamu untuknya"

Pria itu mengusap perutnya pelan, Namjoon semakin mengeras. Ia mencengkram bahu Jimin dan mengguncang tubuh ringkih itu.

"bisakah kau berhenti egois Jimin, aku tahu aku sudah mengecewakanmu. Tapi ubahlah sudut pandangmu itu, aku bukanlah Namjoon yang dulu. Berhenti menghakimiku seperti aku yang paling jahat disini, lihat juga dirimu yang terlalu murah untuk disentuh pria lain. Bukankah itu alasan cukup kuat mengapa aku tidak mudah untuk membalas cintamu." ujar Namjoon kesal, ia tersentak dengan apa yang terucap. Ia bergeming kala bulir air mata turun di pipi si mungil.

Jimin mengangguk singkat, ia melepaskan cengkraman pria itu dan pergi dengan cepat. Namjoon meratapi kepergiannya, ia merutuki setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Sungguh apa yang keluar sangat tidak sesuai dengan isi hatinya, ia hanya kecewa saat mengetahui kebenaran yang terjadi. Semuanya terasa semakin sulit.

Jimin menghapapus air matanya, membenahi penampilan lalu membuka pintu dan mendapati Seokjin menatap khawatir.

"ada apa?" Seokjin mencoba bertanya, namun ditanggapi gelengan oleh Jimin.

"tidak ada, hanya pembicaraan tidak penting. Bagaimana dengan jadwal rapat setelah ini, apa aku perlu mempersiapkannya?"

"tidak perlu, klien membatalkannya dengan alasan tertentu. Jadi jadwal setelah ini kosong. Bagaimana jika kau mengantarku ke suatu tempat." ucapnya menawarkan, Jimin sedikit bergeming. Tapi ia mengangguk setuju pada akhirnya. ini masih jam kerja, apapun yang pria itu minta tentu saja harus di ikuti.

"kita akan pergi kemana?" ucap Jimin besuara setelah deru mobil terdengar dan roda berputar, membawanya melesat membelah jalanan kota yang cukup lengang. Negara maju dengan peraturan lalu lintas yang tertata, ditambah masyarakat yang enggan berurusan dengan hukum dan lebih memilih untuk bersikap patuh membuat setiap pengendara merasa aman. Karena tidak mendapat jawaban yang berarti, Jimin memilih untuk menikmati pemandangan. Matanya memberat setelah mengabsen deretan gedung yang menjulang tinggi hingga tak terasa ia terlelap.

"Jimin bangun, kita sudah sampai." ucap pria jangkung itu pelan, ia mendekatkan bibir plum miliknya untuk berbisik tepat di depan telinga si mungil. Jimin bergerak pelan, ia merasa terganggu dan membuka mata.

Pohon sakura tepat menjulang di depan matanya, kain hangat yang cukup tebal entah sejak kapan menggulung tubuhnya seperti sushi. Ia mendongakan wajah dan mendapati Seokjin yang tersenyum lembut.

"kita cukup lelah bekerja, sedikit liburan tidak masalah bukan." ujarnya pelan. Jimin mengerjap, ia baru menyadari jika tempat ini begitu asing. Sebuah penginapan sederhana dengan toko roti di sebelahnya.

"ini dimana? Apa kita akan menginap, aku benar-benar tidak mempersiapkan apapun. Aku juga belum mengatakannya pada Taehyung." Jimin sedikit panik, ini terlalu tiba-tiba.

"aku sudah mengirim pesan pada temanmu, selain itu tak perlu khawatir. Penginapan ini milikku, sudah ada barang-barang yang diperlukan." ujarnya enteng.

Jimin terlihat heran, sebenarnya apa yang diinginkan pria ini. Terlalu tiba-tiba untuk mengajaknya liburan.

"aku ingin mengetahui semuanya Jimin, semua tentangmu, prinsip hidupmu, dan tujuanmu. Aku terlalu penasaran akan dirimu sehingga rasanya aku ingin mati. Kau terlalu sulit di tebak, sekarang ceritakan semuanya." Seokjin melanjutkan, pria dengan tipe pemaksa jika menyangkut keingintahuan. Ia biasanya mencari informasi sendiri, tapi untuk Jimin. Ia merasa tidak sanggup karena pria itu sukit ditebak, kecuali dengan cara menanyakannya secara langsung.

"aku tidak mengerti Seokjin-ssi,"

Seokjin merasa sangat dekat dengan Jimin, tapi ia merasa asing karena tidak mengetahui apapun. Setidaknya ia ingin menjadi salah satu bagian yang terdekat dengannya. Labium tebal menubruk labium tebal lainnya, Jimin cukup terkejut namun ia tidak memberontak.

"cukup ceritakan tentang dirimu dan terimalah aku sebagai temanmu juga."



~~~••~~~

Terima kasih

By
Alieenbaikhati

HEARTBEAT [END]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum