- Chapter 9 -

1.3K 185 35
                                    

Daun daun berguguran di luar jendela. Dunia bagaikan berubah jadi hitam dan putih bagi Athanasia. Mata biru sapphirenya terus dibasahi oleh air mata. Tatapannya jadi kosong. Jiwanya seolah dibawa bersama suaminya yang pergi duluan meninggalkan dirinya.

"Mama.. Waktunya makan." Atheia masuk ke kamar dengan membawa makanan untuk Ibunya yang mulai terlihat menua.

"Tidak.. Mama tidak mau makan." Matanya terus tertuju pada menara hitam di luar jendela.

"Mama! Papa sudah pergi! Ini sudah hampir dua bulan!"

Atheia lelah melihat mamanya yang terus menerus mogok makan. Padahal tubuhnya sudah lemah dan tidak sebugar dulu lagi.

"Lucas..." Wanita yang ditegur olehnya malah terus menerus memanggil nama pria yang dicintainya.

"Kumohon mama. Makan ya sesuap saja." Atheia berlutut sambil memegang tangan mamanya. Tangannya sudah tidak sehangat dulu. Mulai dingin dan berkerut.

"Kata Papamu kami akan segera bertemu lagi. Mama ingin bertemu sekarang." Athanasia tersenyum dan memeluk scarf milik suaminya.

Atheia tidak tahan lagi. Tangisnya pecah melihat mamanya yang sangat ingin menyusul papanya. Mamanya sudah tidak sama lagi, tanpa papanya dia hanya tubuh tanpa jiwa.

......

...

"Atheia! Atheia!"

Shuo membuyarkan lamunan istrinya. Mereka sedang rapat bersama para mentri tapi istrinya itu malah melamun sambil menundukan kepalanya.

"Huh? Ah maaf. Anda tadi bilang apa Tuan Alpheus?"

"Renovasi Istana akan segera dilaksanakan bulan depan. Dalam beberapa bulan semua Istana akan siap ditinggali lagi Yang Mulia." Theo memberikan laporan terkininya mengenai permintaan yang diajukan Atheia beberapa hari yang lalu.

Istana mereka memang masih indah dan bersih. Tidak ada yang rusak. Tapi jika ingin ditinggali lagi mereka harus melakukan perubahan disana sini mengikuti perkembangan jaman. Teknologi sudah berkembang, Istana juga harus mengikuti.

"Aku menyerahkan urusannya padamu Theo. Ah soal dananya, seperti yang aku bilang kemarin. Pakai simpanan milikku. Chloris akan membantumu mengurusnya."

"Baik Yang Mulia."

"Apa masih ada yang perlu kita bicarakan? Jika tidak ada, segera tutup rapat ini. Aku ada urusan keluarga."

"Atheia, tidak perlu terburu buru. Mamamu tidak akan pergi kemana mana." Shuo bisa melihat raut wajah Atheia yang tidak tenang sejak dimulainya rapat. Sudah bisa ditebak apa yang ada di pikirannya. Dia pasti khawatir dengan Ibunya.

"Tidak ada Yang Mulia. Sisanya biar saya saja yang mengurus."

Theo menutup rapat dengan cepat. Shuo sudah memberitahu apa yang terjadi kemarin dan dia tau Ibu Presiden tidak mungkin bisa berkosentrasi sekarang.

"Kau memang bisa diandalkan Theodore ku yang imut. Ah aku jadi ingat saat kau bayi dulu, selalu mengikutiku kemana mana dengan air liur yang mengalir. Imut sekali."

"Pfft.."

Beberapa orang di dalam ruang rapat tampak menahan tawa. Mereka tidak bisa membayangkan jika Perdana Mentri Theodore saat kecil sering meneteskan air liur.

"Yang Mulia!"

"Aih saat marah pun imut sekali."

Wajah Theodore saat ini sudah merona merah. Ibu Presiden yang sudah dianggap kakak olehnya benar benar tidak bisa menjaga mulutnya.

Edelweiss (Who Made Me A Princess Fanfic)Where stories live. Discover now