- Chapter 23 -

1.2K 158 33
                                    

"Haah.. Menyebalkan sekali mereka ini. Hei nenek, apa kau tau tidak bisa membantuku sedikit?"  Aluxio bertanya pada nenek pohon dunia sambil menusuk kumpulan kecoa raksasa yang terus muncul dari salah satu lubang. "Uh. Setelah ini aku tidak akan mau melihat kecoa sekecil apapun."

"Mereka tanggung jawabmu. Aku dipaksa menemanimu mencari sisa pohonku. Padahal rencananya aku akan kembali ke atas awan saja. Diam duduk sambil memperhatikan bagaimana para dewa mengendalikan dunia. Tanpa diriku juga mereka bisa melakukannya." Nenek pohon dunia duduk bersimpuh di atas bantal dan menyeruput teh hijau yang entah dia dapat darimana.

"Jeez.. Sebenarnya mereka bawa kemana sisa pohonmu. Aku sama sekali tidak bisa merasakan kekuatan sihirnya." Aluxio menggeram setelah menyadari perjalanan yang dia lalui mungkin tidak akan menghasilkan apapun. "Apa sebaiknya aku pulang saja ke Obelia? Sepertinya keluargaku sudah berkumpul semua. Lalu Celestine.."

Aluxio terdiam sejenak memikirkan istrinya yang cantik. Dia tak tega meninggalkan wanita yang baru melahirkan itu. Tapi apa boleh buat. Pohon dunia penting bagi mereka. Terutama bagi Ayahnya.

"Ya. Itu pilihan yang bijaksana nak. Pulanglah dan menyerahlah dengan keinginan kalian untuk hidup abadi." Nenek tua itu menanggapi dengan wajah tanpa ekspresi dan tetap menikmati teh hangatnya.

Hidup abadi. Apa itu yang mereka inginkan? Mereka hanya ingin terus berkumpul bersama dan tidak terpisahkan lagi.

"Sebentar lagi. Mungkin sebentar lagi aku bisa menemukannya." Aluxio menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa menyerah sekarang.

Nenek pohon dunia berhenti menyeruput teh hijaunya dan beralih melirik putra dari pria pertama yang berani memotong ranting pohonnya. Dia benar benar seperti ayahnya, tidak mudah menyerah.

Setelah beberapa lama kumpulan kecoa itu mulai berkurang. Menyisakan Aluxio yang kelelahan. Dia menyeka sudut keningnya yang berkeringat. Nafasnya sedikit tersengal.

Tak ada yang tau sudah berapa lama dia berada di tempat yang tidak mengenal kata waktu ini. Berbagai jenis makhluk tak henti hentinya bermunculan. Membuat staminanya sedikit menurun.

"Duduklah dulu nak. Kau bisa pingsan jika terus berdiri." Nenek pohon dunia menepuk bantal yang ada di sebelahnya.

"Tidak. Mereka bisa datang lagi kapan saja." Aluxio menggeleng dan menancapkan pedangnya ke permukaan jalan. Dia menumpukan tangannya di atas pegangan pedang, seraya mencoba mengembalikan irama nafasnya yang tidak beraturan.

"Benar benar keras kepala."

Namun kata kata Aluxio benar. Tak lama sekumpulan manusia setengah burung mengepung mereka. Suara pekikkan mereka memekakkan telinga. Mereka masing masing membawa tombak panjang yang siap menusuk kedua orang di bawah mereka.

"Apa lagi ini... Ck." Aluxio mendongakkan kepalanya memperhatikan satu persatu makhluk berwajah merah semerah darah dan memiliki wajah yang kurang rupawan.

"Tengu. Mereka cukup kuat. Hati hati." Nenek pohon dunia berdiri dari tempat duduknya dan ikut bersiaga dengan tongkat kayunya.

"Sudah lama tidak berjumpa, Pohon Dunia yang Agung." Salah satu dari makhluk itu mulai berbicara. Dari penampilannya sepertinya dia adalah pemimpin kawanan.

"Berhentilah berbasa basi. Untuk apa kalian datang kemari? Ingin membuat sarang di atas pohonku?" Nenek pohon dunia mencibir. "Pohonku sudah tidak ada. Jadi kalian bisa pergi sekarang."

"Anda sungguh merendahkan kami. Hanya karena kami seperti burung, bukan artinya kami suka membuat sarang sembarangan. Apalagi di atas pohon Anda."

"Pssst.. Mereka tampak lebih manusiawi dari kelihatannya, Nek." Aluxio berbisik.

"Jangan lengah, anak bodoh!" Nenek pohon dunia memukul kepala Aluxio hingga dia meringis kesakitan. "Mereka ini sering menipu dengan kata kata mereka yang penuh tipu muslihat."

Edelweiss (Who Made Me A Princess Fanfic)Where stories live. Discover now