05. Night

251 98 7
                                    

Happy reading

Udara malam yang berhembus terasa begitu sejuk, suara hewan-hewan malam mengisi kesunyian, di sebuah kamar dengan pencahayaan yang minim, seorang gadis berbalut piyama putih sedang duduk memandang gelapnya langit malam sambil menikmati secangkir teh hangat. Beberapa menit setelahnya, gadis itu malah tertawa keras hingga tak sadar tangannya melempar cangkir yang masih berisi teh ke tanah.

Ia menarik nafas panjang untuk menghentikan tawanya kemudian membuangnya dengan kasar.

"Gue udah gila." Gumamnya.

Gadis itu menumpukkan tangannya di pembatas balkon seraya melihat ke bawah. Cangkir itu jelas sudah pecah, bahkan pecahannya tidak terlihat, menghilang dibalik rumput panjang yang sudah lama tidak di urus.


Tangannya merogoh sesuatu yang selalu ia simpan di saku celananya. Ia menatap benda itu lekat, "Gara-gara lo, hidup gue rusak." Ucapnya diiringi dengan kekehan kecil.

Benda yang membuatnya merasa senang tapi juga mematikan semua orang sehingga membuat rasa penyesalan bersemayam abadi di dalam dirinya.

••••

Dilain tempat, di sebuah kamar bernuansa hijau tua, seorang laki-laki sedang bermain dengan kuas dan warna-warna kesayangannya. Dika memilih menyibukkan diri melukis di dalam kamar dibandingkan melihat dua orang dewasa yang sedang beradu mulut. Ya, kedua orang tuanya telah pulang, bukannya Dika harus merasa senang sekarang?

Nyatanya tidak, kini ia menyesal. Menyesal karena terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan. Dika berbalik menatap kedua adiknya yang sedang tidur diatas kasurnya, ia lelah, jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari tapi dirinya masih tidak bisa tertidur.

Entah apa yang dipeributkan oleh dua orang dewasa itu, Dika tidak tahu. Walau sebenarnya rasa penasarannya sudah menggebu-gebu. Namun, Dika memilih untuk diam dan mendengarkan suara-suara mereka dari dalam kamar. Tidak terlalu jelas namun volumenya cukup keras.

Dika kembali menatap kanvasnya, ia menghembuskan nafas berat beberapa kali sembari mengoles beberapa warna untuk menambah detail pada lukisannya. Lukisan yang menggambarkan sebuah keluarga bahagia, dimana siluet ketiga orang anak diapit oleh kedua orang tuanya sambil menatap matahari terbenam di tepi laut yang tenang. Dika tersenyum tipis, ia meletakkan kembali kuas yang baru saja ia gunakan lalu mengangkat kanvas untuk dikeringkan menggunakan hair dryer.

Sesekali Dika menoleh kekarah pintu, jaga-jaga saja.

"Mama bukan orang biasa." Suara Dharma kembali terngiang di kepala Dika. Setau Dika, Mamanya hanyalah pegawai kantor yang sibuknya minta ampun. Namun, sang papa membeberkan sebuah fakta yang sama sekali tidak Dika duga.

"Siapa mama sebenarnya?" Dika bertanya pada dirinya sendiri. Lucu sekali, keluarganya kini bagaikan keluarga dalam sinetron yang penuh drama dan teka-teki.

"Emangnya papa juga orang baik?"

Dika terkekeh mendengar ucapannya sendiri. Biarkan sudah, Dika sudah pasrah. Kini, yang ia lakukan hanya mengikuti alur dan menjaga kedua adiknya. Dua makhluk titipan tuhan yang harus Dika jaga dengan segenap hatinya.

"Abang,"

Terdengar suara kecil dari Raven yang membuat Dika langsung menyudahi aktivitasnya barusan. Laki-laki itu melangkah mendekati sang adik lalu mengelus rambutnya dengan lembut.

"Kenapa, hm?"

Bocah kecil itu mempoutkan bibirnya, "Aven mau susu coklat," ucapnya.

"Tadi belum minum susu ya?" Raven mengangguk.

"Bentar, Abang buatin dulu." Ujar Dika.

Ia meraih hoodie yang tergantung dibelakang pintu kemudian membuka pintu dan berjalan menuju dapur. Jelas ia harus melewati ruang keluarga, dimana kedua orang tuanya masih di sana saling melemparkan tatapan tajam. Dika bersyukur dalam hati, adegan adu mulut itu sudah berakhir, walau suasana menjadi sedikit suram karena keduanya saling berdiam diri.

Sosok Dika yang muncul melewati mereka menarik perhatian dua orang itu, "kemana?" Laki-laki itu menoleh kearah sang papa yang bertanya,

"Ke dapur, Raven minta susu." Jawab Dika seadanya.

"Yang lain tidur dimana? Papa gak lihat mereka di kamar."

Dika melirik Rara—mamanya— .yang diam sambil menatap kearahnya. "Dikamar Dika." Jawabnya kembali.

Dharma mengangguk pelan, "Yaudah lanjut aja." Ucapnya yang diangguki oleh Dika. Ia berjalan menuju dapur, bergerak cepat untuk membuatkan susu coklat untuk Raven karena merasa tidak nyaman dengan atmosfer di sekitarnya. Dika merasa ada sepasang bola mata yang ingin melubangi punggungnya saat itu juga.

Setelah jadi, Dika segera melangkah kembali ke kamarnya. Tak lupa mengucapkan selamat malam pada kedua orang tuanya.

"Kamu gak bisa pisahin mereka, Rara Anggita."

"Semua ini hanyalah masalah antara kita berdua. Jangan libatkan anak-anak dalam masalah ini. Dan juga, berhenti memaksa Dika dan Dira melakukan apa yang kau inginkan."

Terdengar tawa kecil dari Rara yang terkesan mengejek membuat Dharma kembali menatapnya tajam, "Tidakkah kau berkaca? Bukannya selama ini, kau yang paling parah? Berpura-pura baik, mengatakan omong kosong dan menyudutkan aku di hadapan anak itu."

"Tidak usah sok suci mas, kau dan aku, itu sama saja."

•••

To be continued

LyintusWhere stories live. Discover now