18. Bersaing Bersama

157 68 2
                                    

Happy reading

Dengan sebuah pulpen pemberian Rans, enam anggota Tyrex yang bersekolah di SMA Negara itu mulai mengisi data pendaftaran dengan cermat. Terlebih lagi ini adalah lomba terakhir yang dapat dilakukan oleh Angkasa dan Orion. Keduanya akan lulus tahun ini.

"Ini gue ngisinya nama mama atau nama bunda?" Semuanya menoleh, entah pada siapa Bagas bertanya, namun, tatapan sendu dengan senyum tipis itu cukup menyayat hati.

"Dua-duanya boleh."

Bagas menoleh lalu mengangguk cepat. Mendengar jawaban dari Angkasa, ia segera menuliskan nama dua wanita yang menjadi sumber kebahagiaannya dalam satu baris yang sama. Bagas menghela nafas, mengapa ia merasa sedikit-sedih?

"Tangan bang Anggara gimana bang?? Sudah sembuh?" Mahesa bertanya seraya menutup pulpennya. Menyimpan benda itu dalam saku seragam putih dengan logo khas SMA Negara di lengan kanan.

Pertanyaan yang keluar dari laki-laki berusia tujuh belas tahun itu memecah keheningan yang diciptakan oleh keenam temannya.

Angkasa melirik Mahesa sekilas lalu kembali menatap selembar kertas di tangannya. "Sudah, sehat banget malah. Makin lancar tu tangan mukul gue," dumel Angkasa. Ia heran.

Anggara benar-benar tidak terlihat kesakitan, walau tangannya terluka parah, laki-laki yang sedikit lebih pendek dari Angkasa itu tidak takut untuk memukulnya menggunakan tangannya yang terluka jika Angkasa berbuat aneh di rumah.

"Kaki lo gimana?" Dika menoleh kearah Bagas yang masih termenung entah memikirkan apa disampingnya.

Dika seketika mengingat sesuatu, kejadian tempo hari yang membuat mereka pulang dengan luka yang cukup dikhawatirkan. Bagas yang mengalami cedera kaki yang membuatnya tidak bisa berjalan dengan benar, Anggara yang tergores pisau dan sisanya yang mendapat lebam di wajah dan tangan.

Netra gelapnya menelisik penampilan teman-temannya. Semuanya terlihat baik-baik saja sepertinya.

Mereka memang handal dalam menyembunyikan kesakitan.

Bagas melirik Dika lalu mengusak rambutnya sampai berantakan. "Sans. Bunda bawa gue ke tukang urut langganan. Abis itu langsung seger gue." Kata Bagas.

Mahesa menatap Bagas heran, "Sejak kapan lo mau di urut bang?" Tanyanya.

"Kalau bunda gue gak maksa ya gue gak mau. Mana tukang urutnya kayak lagi emosi. Kaki gue dipelintir, ditarik, diteken-teken sampe abis suara gue." Dumel Bagas, ekspresi wajahnya ikut berubah.

"Lah, kan kaki lo yang di eksekusi. Kok malah suara yang ilang?" Rans mengerutkan keningnya.

"Gue teriak lah anjir, sakit banget gila!"

Dika tertawa keras, "Teriakan lo lakik gak? Kayaknya gue harus nanya bunda, sekalian nanya ada rekamannya gak." Menggoda Bagas adalah suatu keharusan-bukan, tapi kewajiban!

"Sialan lo," umpat Bagas dengan bibir yang mencebik kesal.

"Lo semua tau gak?"

"Gak!"

Orion mengelus dadanya sabar, baru saja ingin memulai gosip dengan kedelapan makhluk ghaib yang sayangnya adalah teman-temannya saja butuh kesabaran ekstra.

"Gue ketemu cewek, cakep ba-"

"Thank you, next." Angkasa memotong ucapan Orion dengan menyanyikan sepenggal lirik lagu seorang penyanyi terkenal yang akhir-akhir ini selalu terbayang-bayang dalam pikirannya, akibat Liby yang selalu menyetel music ini dalam mobil.

LyintusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang