17. Seleksi

160 68 1
                                    

Happy reading!!

Suara derap kaki yang saling bersahutan diatas tanah disertai suara kicauan burung mengiringi langkah Aylin dan Dika. Semilir angin yang membawa kesejukan diantara keheningan yang mereka ciptakan.

Menatap birunya warna langit dengan tebaran awan putih yang menghiasinya. Sepertinya, rencana olahraga pagi Dika gagal.

Keheningan yang tercipta antara keduanya bukan tanpa alasan. Tepat setelah Dika memuji paras cantik Aylin. Suasana canggung mulai muncul. Entah, Dika yang tiba-tiba mematung tanpa sadar dengan ucapannya sendiri atau Aylin yang tidak tahu harus meresponnya bagaimana.

"Eh—"

"Hah?"

Aylin menghela nafas, menatap Dika yang memberikan senyum canggung sedikit jengah. "Kita mau jalan sampai mana?"

Benar juga, Dika mengedarkan pandangannya kearah sekeliling mereka. Tidak sadar mereka sudah berjalan hampir keluar dari taman.

"Hehe." Dika menyengir.
"Mau duduk disana gak?" Tanyanya kemudian sembari menunjuk sebuah bangku yang terbuat dari semen yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Aylin menatap bangku itu sejenak lalu mengangguk  "Boleh," kata Aylin. Keduanya berjalan kembali menuju bangku tersebut.

"Tunggu sebentar," ujar Dika lalu berlari menjauh. Aylin menatap Dika yang berlari menuju sebuah penjual kecil, terlihat membeli dua buah botol minuman.

Aylin terdiam sejenak, lalu membalikkan tubuhnya bersamaan dengan detak jantungnnya yang berdegup kencang.

Bukan, bukan seperti yang kalian pikirkan.

Aylin bukan sedang salah tingkah.

Tangan yang bergetar itu merogoh sebuah tabung kecil dari saku celananya. Mengeluarkan dua butir pil putih lalu memakannya dengan cepat tanpa bantuan air.

Rasa pahit menyapu seluruh bagian mulutnya. Aylin memegang dadanya mengatur deru nafasnya yang tidak beraturan, menunggu reaksi pil yang ia telan.

"Aku beliin kamu minum!" Suara Dika dari kejauhan membuat Aylin berbalik dengan senyum kecil yang terbit di bibirnya. Dika terlihat berlari kecil kearahnya, memegang dua buah botol minuman di kedua tangannya yang terangkat.

"Makasih," ucapnya sembari menerima uluran botol yang Dika berikan. Meneguknya sekali lalu menyimpannya di samping.

Dika mengangguk juga ikut meneguk minumannya. Bahu laki-laki itu terlihat naik turun disertai nafas yang terdengar tak beraturan.

"Kenapa datang ke rumah? Kok tau rumah aku disana?" Aylin memulai pembicaraan. Sedikit bingung karena Dika tahu dimana rumahnya.

Seingat Aylin, ia hanya menyuruh Dika mengantarnya pada halte bus di depan kompleks.

Dika tersenyum kecil, "Maaf ya. Kemarin aku ngikutin kamu sampai ke rumah. Aku ngerasa gak tenang kalau cuma nganter kamu sampai depan halte." Jelas Dika. Ekspresi canggung jelas terlihat dari wajahnya.

Aylin menipiskan bibirnya kemudian mengangguk kecil, "Gak apa-apa."

"Kalau tentang kenapa aku datang ke rumah kamu. Itu cuma kebetulan kok, rencananya aku mau olahraga, tapi malah belok ke rumah kamu." Dika berujar sembari menatap wajah Aylin. Ukiran wajah yang hampir mirip dengan yang ia lukis. Seketika Dika membanggakan dirinya sendiri, ternyata ingatannya cukup kuat.

Duduk berdua diatas bangku semen dengan jarak sekitar satu meter membuat Dika dapat melihat Aylin lebih rinci. Ia merasa dejavu, hari itu, di halte bus, ia memandang Aylin hanya dari rambutnya saja. Namun sekarang, ia dapat melihat secara jelas, gadis itu.

LyintusWhere stories live. Discover now