30. Tenyata Ia Sudah Mengetahuinya

50 30 1
                                    

Suasana ruang makan yang tiba-tiba sunyi sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Dika. Meja makan yang biasanya diisi oleh empat orang kini hanya tersisa Dika Dan Raven yang sedang menyantap sarapan mereka.

Dika menarik kursi yang berada di samping Raven, raut wajah penasaran tercetak jelas di wajahnya. "Kok tinggal kalian berdua? Mama Papa mana?" tanya Dika.

Dira menggedikkan bahunya dengan bibir yang mengerucut. "Ga tau, sarapan aja Dira yang bikin," sahutnya.

"Abang, hari ini Raven mau diantar abang, boleh?" Tanya Raven penuh penghrapan setelah menghabiskan sarapannya, bahkan anak itu masih memegang gelas air minum di tangannya.

Dika menarik senyumnya lalu dengan perlahan ia arahkan tangan mungil berisi gelas air itu mendekat pada mulut pemiliknya, "Iya, abang yang anterin." Ucapnya mengiyakan permintaan sang adik.

"Dira?"

"Tentu Dira juga." Dika menyimpan gelas air minum Raven lalu membersihkan bibir sang adik dengan tissue.

"Oke, udah siap?" tanya Dika sembari menggaet tasnya di pundak.

Dira teringat sesuatu lalu bertanya pada Dika, "Abang gak sarapan? Mau Dira buatin roti gak?"

Terlihat abangnya itu menggeleng, Dika mengusap rambut Dira dengan lembut.

"Gapapa, Abang bisa makan di sekolah. Nanti kalau Dira telat gimana?" tanyanya sembari melangkah ke arah pintu untuk memakai sepatu dengan sebelah tangannya yang sedang menggandeng Revan.

Dira menggelengkan kepalanya cepat, lalu segera ia berlari bergabung dengan Dika. Dika mengunci pintu rumah tak lupa menaruhnya di bawah keset agar apabila Mama dan Papanya pulang, keduanya dapan menemukan kuncinya dengan mudah. Tak ingin berlama-lama lagi, Dika melajukkan mobilnya menuju sekolah kedua adiknya.

•••

"Lemes amat bro, kurang makan ya lo? Tadi di kantin malah diem, kek ga biasa aja," tanya Bagas setelah menepuk bahu kanan Dika. Keduanya sedang duduk di lantai kelas sembari bersandar pasrah di dinding, bel pulang sekolah telah berbunyi sepuluh menit yang lalu tapi keduanya masih ingin bermalasan di sana.

Mendengar pertanyaan Bagas, Dika sontak menggeleng pelan dengan kening yang mengerut, tatapan laki-laki itu terlihat kosong, entah apa yang sedang dipikirkannya sekarang.

"Gak, gue cuma lagi males ngomong aja," sanggah Dika.

"Bisaan amat lo bohongnya," celetuk Bagas lugas.

"Mana ada gue bohong." Dika mengelak, laki-laki itu lalu menempatkan wajahnya di antara kedua lututnya.

Bagas yang melihat tingkah Dika hanya menghela nafas, walau sudah biasa dengan sifat uring-uringannya Dika, namun tetap saja dirinya merasa khawatir pada laki-laki itu. Apalagi hari ini adalah jadwal laki-laki itu menghadiri pembinaan melukis, bisa hancur lukisannya jika mood laki-laki itu memburuk.

"Udah deh, dari pada lo diem bae kek patung kuda di lapangan Sera Suba mending lo mikirin konsep lukisan lo nanti, bentar lagi lombanya kan?" Ujar Bagas.

Dika mengangguk dalam diam, dirinya masih enggan mengangkat kepalanya.

Bagas mengadahkan kepalanya menatap langit-langit kelas, sejenak senyum tipis menghiasi wajah itu.

"Masih mikirin yang kemarin ya lo?" Gumam Bagas, Dika jelas mendengarnya, namun laki-laki itu masih diam menghiraukan gumaman sahabatnya.

"Gue tau dan lo pasti ngerti kan? Gue rasa lo harus mulai bertindak sebelum rusak kayak gue, gak enak punya dua ibu hehe." Tutur Bagas.

Laki-laki pemilik eye smile itu terkekeh pelan sebelum melanjutkan ucapannya, "Sebelum terlambat ajak keduanya berbicara, lo harusnya sadar kalau adik lo juga sakit, lo sebagai anak pertama pasti bisa balikin keluarga lo seperti semula." Lanjut laki-laki itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 17 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

LyintusWhere stories live. Discover now