26. Tiba-tiba saja

100 55 2
                                    

Happy reading


Tok tok tok

Tiga orang yang masih asik bercanda seketika terdiam, Dika sebagai yang tertua berjalan menuju pintu dan membukanya. Netra itu terlihat sedikit bergetar akibat terkejut namun dengan cepat ia merubahnya seperti biasa.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam," balas Dika tersenyum kecil sembari menyalami tangan kedua orang tuanya.

Ya benar, Rara dan Dharma. Kedua orang tuanya telah kembali ke rumah lebih cepat dari biasanya.

Rara mengelus surai lembut Dika sejenak lalu melangkah masuk menemui kedua anaknya yang terlihat sedang bermain di atas karpet. Dika terdiam, laki-laki itu menatap Dharma yang masih terdiam di sampingnya, Pria paruh baya itu hanya berdiri sembari menatap lurus kearah Rara yang menyapa putra dan putrinya.

"Tidak ingin bertanya mengapa kami pulang lebih awal?" Celetuk Dharma menyadarkan Dika dari lamunannya.

Dika berkedip cepat, tersadar bahwa tingkahnya yang sedikit memalukan membuat kedua telinganya sedikit memerah.

Dengan segera Dika menggeleng, "Mama papa pulang pasti karena urusan kantor udah selesai kan?" Tanyanya.

Kening Dharma terlihat sedikit mengerut, "Mengapa kau berpikir seperti itu?"

"Tidak ada, hanya sepintas terpikir olehku." Ucap Dika.

Dharma menegakkan tubuhnya sembari menghela nafas kemudian menepuk bahu kiri Dika dua kali, "Naik dan bersiaplah," ucap Dharma.

Dika memiringkan kepalanya bingung, "Untuk?"

Ayahnya itu tersenyum tipis, sangat tipis hingga sama sekali tak terlihat jika ia tersenyum, "Jalan-jalan. Keadaan kita akhir-akhir ini tidak baik baik saja bukan? Bukannya bagus jika sekali-kali kita bermain di luar bersama sama?" ujar Dharma.

"Lihat, bahkan kedua adikmu sudah tidak berada disana," lanjut Dharma membuat Dika memalingkan menatap tempat yang tadinya terdapat kedua adiknya yang bermain disana. Benar saja, tempat itu kosong sekarang, hanya tersisa beberapa mainan yang belum dirapikan.
"Bagaimana?"

Tidak ingin bertanya lagi, Dika segera menganggukan kepalanya. "Dika ke atas dulu pa," ucapnya yang dibalas anggukan oleh Dharma. Laki-laki itu melangkah menaiki anak-anak tangga menuju kamarnya. Namun, langkah itu sempat terhenti saat ia akan melewati kamar adik perempuannya.

Dika sedikit penasaran, maka dari itu mengintip dari sela-sela pintu yang tidak tertutup sempurna. Suara tawa dari tiga orang yang berbeda umur itu terdengar merdu.

Laki-laki itu tersenyum lembut. Setidaknya bersama adik-adiknya itu ibunya dapat tertawa. Saat ini, dan beberapa waktu kedepannya Tuhan, jangan biarkan tawa itu berubah.

Tak ingin berlama-lama, Dika segera bergegas menuju kamarnya untuk membersihkan diri.

•••

Rasanya damai.

Menikmati sapuan angin dingin yang masuk karena jendela mobil yang sengaja diturunkan serta suara bising adiknya dari samping membuat Dika ingin terpejam pulas. Dirinya sedang bersandar dengan kedua tangan yang tersilang di atas dada sembari memejamkan kedua netranya. Raga itu terlihat tenang, berbeda jauh dengan kondisi hatinya yang bising sekali.

Kemana mereka akan pergi? Apa yang akan ia lakukan? Bagaimana agar bersikap biasa saja? Dan masih banyak lagi.

"Abang-abang banguun!" pekik Revan sambil menggoyangkan lengan sang kakak.

"Hm?"

Dika mengedipkan matanya berulang kali lalu menatap ke luar jendela. Satu kata yang mendeskripsikan pemandangan yang ia lihat sekarang.

Apalagi jika bukan..

"Pantai." Batin Dika berbinar.

"Ayo abang!" Revan dengan tidak sabaran menarik tangan Dika ke luar setelah pintu di buka oleh Dira.

Laki-laki itu terkekeh geli dengan antusias sang adik. Ah, rasanya sangat bebas dan damai. Saat mencapai bibir pantai, Revan melepaskan tangan Dika lalu berlarian sendiri yang kemudian disusul oleh Dira yang ikut mengejarnya.

Tampak binar yang berkilauan di netra laki-laki itu, dari belakang kedua orang tuanya berjalan mendekat. Dika berbalik, kedua netra yang awalnya tampak setitik binar disana kini redup, ia masih bisa melihatnya, tentu saja...

Ada jarak di antara kedua orangtuanya.

Itu mungkin tidak terlihat jelas bagi orang lain, namun dirinya jelas bisa melihatnya, Dika menipiskan bibirnya dan kembali berbalik menatap adik-adiknya yang sekarang sedang bermain dengan pasir.

Baru saja ingin bersenang-senang, dirinya kembali overthingking karena ini.

"Ingin sesuatu?" sebuah tangan hinggap di bahu kirinya. Dika menoleh mendapati wajah sang Ayah yang juga menatapnya, dirinya menggeleng pelan.

"Untuk saat ini mungkin tidak?"

Dharma mengertukan keningnya, "Pertanyaan atau pernyataan?" tanyanya.

Dika memalingkan wajahnya dan kembali menatap tiga orang yang sedang asik dengan dunia mereka sendiri didepannya. Rara, sang ibu ternyata ikut bergabung dengan Dira dan Revan yang masih bermain pasir, kini membuat istana pasir adalah tujuan mereka.

"Bagaimana jika keduanya? Lagipula tidakkah papa juga ikut bergabung dengan," Dika menggantungkan ucapannya dengan memberi isyarat melalui lirikan matanya.

"Bagaimana jika aku menjawab tidak ingin?" bukannya menjawab, Dharma malah melemparkan pertanyaan pada Dika yang dibalas delikan oleh laki-laki itu.

"Aku bertanya pa, bukan meminta pertanyaan." Dika sedikit kesal dengan sikap Ayahnya sekarang.

Pria paruh baya itu tertawa sumbang, "Untuk apa menemani mereka jika kau disini sedang sendirian?" Menatap wajah keruh putranya ini membuat Dharma merasa terhibur. Dharma semakin yakin dengan pilihannya, sang sulung akan ikut dengannya di kemudian hari, putranya ini sangan mirip dengannya.

Enyahkan dulu pemikiranmu itu Dharma, tentu hal ini tidak semudah yang kau pikirkan.

Raut wajah Dika semakin buruk, tumben sekali ayahnya ini berkata demikian?

•••


LyintusWhere stories live. Discover now