23. Taman Adalah Saksi

121 64 29
                                    

Happy reading

"Terimakasih pak," ucap Dika seraya menyodorkan selembar uang pada orang berjaket hijau yang mengantarnya pulang.

"Assalamualaikum."

Setelah mendengar jawaban dari dalam rumah, dengan ogah-ogahan Dika melangkah masuk setelah mengucapkan salam.

BLAM!

Pintu itu dibuka dan ditutup dengan keras. Sang pelaku dengan raut wajah tanpa bersalah melangkah mendekati meja belajarnya lalu mendudukan diri dengan jari-jari yang bergerak memijit keningnya.

"Hah," Lirih Dika.

Mengapa? Mengapa semuanya menjadi berantakan? Ini tidak termasuk dalam rencananya!

"Mama, Dika kecewa." Dika mengacak-acak rambutnya frustasi. Laki-laki itu menghela nafas lalu beranjak membaringkan tubuhnya diatas ranjang tanpa peduli tubuh itu masih terbalut pakaian formal, bahkan sepasang sepatu pun masih bertengger rapi di kedua kakinya. Sebelah lengannya ia tempatkan untuk menutupi mata, Dika berusaha terlelap walau perasaannya tidak baik-baik saja.

Namun sayang, seberapa lama pun ia mencoba, alam bawah sadar seakan menolak kehadirannya.

•••

Di waktu yang sama, seorang gadis sedang duduk di kursi taman sembari mengayunkan kedua kakinya yang tidak menapak pada tanah dengan raut wajah sumringah menatap sekumpulan perempuan yang sedang bercanda di seberangnya. Hatinya terasa menghangat, walaupun dirinya seorang non-muslim, entah mengapa saat melihat para perempuan muslim mengenakan hijabnya membuat Aylin merasa ingin mencobanya juga.

"Liat yang lain pakai hijab, keliatannya nyaman banget ya," gumam Aylin memandang teduh kumpulan perempuan-perempuan berhijab yang sedang bersenda gurau sembari mengantri makanan.

Melihat mereka membuat Aylin mulai bernostalgia, saat usianya menginjak umur tiga belas tahun, Aylin pernah mencoba hijab milik nenek karena rasa penasaran. Jilbab bermotif bunga mawar dengan perpaduan warna hitam dan merah terlihat kebesaran saat digunakan di wajahnya, tapi Aylin tidak menyerah. Ia mencari cara untuk membuat hijab itu pas membentuk wajahnya, Aylin bahkan masih mengingat suara tawa dari nenek dan kakeknya saat Aylin berlari kearah mereka, bertanya bagaimana cara hijab itu agar terlihat rapi.

Kakek dan nenek dari pihak ibunya beragama islam, terkadang Aylin menawarkan diri untuk menginap di rumah keduanya hanya untuk mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur'an yang sering dibaca oleh keduanya setelah beribadah.

Sangat indah, walau tidak memahami maknanya, tetap saja dapat menyentuh hatinya.

"Ya ampun, cucu nenek. Lucu sekali!
kemari, biar nenek dan kakek yang membenarkannya." komentar sang nenek yang masih membekas dikepalanya membuat Aylin menarik ujung bibirnya. Rasanya sesak, namun membahagiakan.

"Tertarik, sayang?" Kakek bertanya dengan nada bercanda dibalas pukulan ringan di lengannya oleh sang istri. Keduanya terkekeh menatap Aylin yang kebingungan dengan pertanyaan sang kakek.

"Tertalik apa tate?" Tanya Aylin.

Kedua pasangan lansia itu dengan kompak mengelus kepala Aylin yang terbalut hijab tersebut dengan kasih sayang. Senyuman menenangkan terbit di masing-masing sudut bibir keduanya, membuat Aylin juga ikut menarik kedua sudut bibirnya sehingga kedua matanya ikut membentuk bulan sabit.

LyintusWhere stories live. Discover now