28. Kesakitan Dira

107 47 11
                                    

Dika melempar kuas di tangannya membiarkan cat yang masih basah di kuas itu mengotori lantai kamarnya. Lukisan yang baru setengah jadi itu ia pandangi dengan tatapan kecewa, pikirannya berusaha menolak segala dugaan yang tiba-tiba melintas dipikirannya namun hatinya masih berusaha mengaitkan kenyataan itu dengan kehidupan yang ia jalani selama ini.

Apakah ini alasan Ibunya berubah? Atau mungkin selama ini villain yang ia kira adalah Ibunya ternyata adalah sang Ayah? Keduanya sungguh licik, Dirinya ternyata tidak bisa menebak kelakuan kedua orang tuanya.

Dirinya sontak menjadi emosional, kejadian hari ini sungguh membuatnya menjadi ling-lung. Diambilnya kembali kuas yang tergeletak di atas lantai lalu mencoretnya asal di atas bidang kanvas. Semakin lama tangan itu bergerak semakin cepat membentuk pola abstrak penuh dengan warna merah.

Nafasnya tersengal-sengal, wajahnya memerah, kedua tangannya mengepal kuat menahan lonjakkan emosi yang menguar dari dirinya.

"Kenapa Papa, AARGH!"

Pintu kamarnya di ketuk dari luar, tanpa permisi Dira menerobos masuk lalu mengunci kamar sang Abang. Gadis itu menghela nafas panjang melihat keadaan kamar yang jauh dari kata rapi, terlebih saat netranya bersitatap dengan netra hitam milik Dika. Lihat itu, seseorang yang biasanya dapat mengontrol perasaannya dalam keadaan apapun sekarang terlihat acak-acakan dengan baju yang penuh dengan warna..

Dengan santai, Dira mendekati Dika yang sudah siap dengan kedua tangan yang merentang lebar, bermaksud menarik sang Adik untuk masuk ke dalam pelukannya.

Dika hanya butuh ini, pelukan hangat seseorang yang dapat meruntuhkannya disaat ia dalam posisi terbawah.

Saat sang Adik telah sepenuhnya berada dalam rengkuhannya, tembok pertahanan yang ia bangun tinggi-tinggi runtuh seketika. Air mata yang mati-matian ia tahan di kedua kelopak mata itu luruh dengan deras disertai dengan isakan-isakan yang terdengar pilu.

Dira berusaha tidak ikut menangis, tapi saat pelukan itu mengerat dan tubuh Abangnya luruh ke lantai, ia sudah tidak kuat lagi. Dika bagi Dira adalah sosok Abang yang kuat, Ketika ia dan Raven tumbuh karena dibesarkan oleh Papa dan Mama, Abangnya itu justru tumbuh bersamaan dengan kedua orang tua mereka. Menjadi saksi perubahan kehidupan keduanya, di didik untuk patuh sesuai apa yang kedua orang tuanya inginkan dan masih banyak hal lainnya yang Dika tangguhkan selama 18 tahun ini.

Namun, dalam lubuk hati Dira yang paling dalam, dirinya ini menyimpan rasa iri pada Abangnya. Entah, ia tidak tahu sejak kapan perasaan iri ini tumbuh. Namun, melihat kasih sayang yang di curahkan oleh kedua orang tuanya pada sang Abang berbeda dengan apa yang ia terima membuatnya merasa sedih, amarah dari Mama yang laki-laki itu terima diyakini oleh Dira sebagai cara Ibunya untuk menyayangi anak sulungnya itu, dan bagaimana Ayahnya yang selalu berusaha menarik Dika untuk menjadi penerusnya itu terus terputar di benaknya membuat ia iri, iri akan kasih sayang orang tuanya pada sang Kakak.

Ia tahu ini salah, tidak seharusnya perasaan ini ada. Namun, dirinya tidak bisa menampik perasaan ini. Dira merasa lelah, lelah mengetahui segalanya, lelah menyembunyikan banyak hal dari Abang dan Adiknya, lelah menyimpan sendiri perasaan sesak yang kian menderanya setiap hari, lelah merasa iri pada Dika dan Raven, lelah dipaksa untuk selalu tutup mulut akan segala perbuatan kedua orang tuanya, lelah akan sikap Mama yang selalu menyuruhnya untuk Kembali tinggal di Jepang bersama Kakek Neneknya dengan iming-iming akan diberikan segalanya, Dira tidak butuh semua itu, Dira lelah mengharapkan kasih sayang yang melimpah dari kedua orang tuanya.

Bukannya sebagai anak kedua ia harus menerima konsekuensi ini? Tidak, Dira tidak bisa. Semua anak harus disayang bukan? Bukankah tidak boleh ada orang tua pilih kasih pada semua anak-anaknya?

LyintusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang