22. Diskusi Yang Tidak Penting

127 70 20
                                    

Happy reading

Suara decitan ban mobil yang bergesekkan dengan aspal mengalihkan perhatian Dika, ia memasukkan ponsel itu ke dalam sakunya. Netranya beralih menatap Dharma yang berbincang dengan seorang satpam, satpam itu mengarahkan tangannya memandu ke arah tempat parkiran khusus pada restoran tersebut.

Ketiganya keluar secara bergantian, Dharma keluar terlebih dahulu untuk membukakan pintu untuk Rara. Dika merapikan pakaiannya yang terbanting jauh dengan pakaian kedua orang tuanya, dirinya hanya memakai kaos putih yang dipadukan dengan celana hitam polos, ini salah Dharma yang menjemputnya tanpa mengabarkannya terlebih dahulu.

Dan apa ini, sandal jepit? Dika meringis melihat tampilannya.

Memilih untuk berjalan di belakang Dharma dan Rara, Dika mengekori keduanya hingga tiba pada sebuah toilet. Netra gelapnya otomatis tertuju pada sebuah bungkusan di atas meja, "Pakaian?"

"Ganti baju kamu," perintah Dharma.

Oh, ternyata dia gak gembel-gembel amat.

Dika mengangguk cepat, tangannya meraih bungkusan itu dan bergegas mengganti pakaiannya di dalam toilet. Dibukanya bungkusan itu dan mendapati satu set pakaian formal berwarna hitam lengkap dengan sepatu dan kaos kaki yang senada dengan pakaiannya.

Tak ingin membuat kedua orang tuanya menunggu, hanya dalam sepuluh menit Dika merubah penampilannya.

Keluar dari toilet, seseorang ber-jas hitam yang entah sejak kapan sudah berdiri tegap di depan toilet mengulurkan tangannya, bermaksud untuk mengambil baju bekas Dika atas suruhan Dharma.

"Ayo," Ajak Dharma.

Ketiganya berjalan beriringan menuju sebuah ruangan, hanya ada kesunyian yang mengisi langkah mereka, terlihat tak ada seorangpun yang berniat untuk membuka pembicaraan.

Pintu yang mereka tuju di buka, sebuah meja bundar di tengah-tengah ruangan serta kedua adiknya yang sedang asik bercengkrama menyapu indra penglihatan Dika. Kedatangan mereka bertiga menyita perhatian dua anak itu. Dika melangkah lalu mengambil posisi tepat di samping Dira, menarik kursi dan duduk.

"Pelayan-"

Tak menghiraukan pembicaraan Dharma dengan pelayan restoran, Dika mendekatkan tubuhnya pada Dira dengan tatapan penuh tanya.

"Papa sama mama mau ngomong tentang masa depan lo." Seakan mengerti tatapan dari sang abang, Dira langsung menyahut dengan suara kecil.

Dika mengeryit heran, "Harus banget sekarang?"

Dira menggedikkan kedua bahunya, "Gak tau. Lagian, abang gak tau masalah mama sama papa sekarang?"

"Ha?"

"Sudah puas ngobrolnya?" Suara rendah Rara mengintrupsi obrolan kedua kakak beradik itu. Tatapan milik sang mama yang terarah kepada keduanya memberikan sedikit rasa takut yang juga ikut tertular pada Revan sehingga bocah itu berhenti bermain-main dengan mainannya.

Dika menarik nafas panjang sembari menegakkan tubuhnya, "Sudah," jawabnya.

"Kita tunggu makanan datang. Setelah itu baru kita bicarakan maksud papa sama mama mengajak kalian ke sini," ujar Dharma.

Dika kembali melirik Dira. Hanya sekilas, dengan perasaan gundah.

Dika teringat soto yang ia bawa dari rumah kembar.

Pasti sudah dingin.

Ruangan yang ditempati oleh keluarga Dareza itu benar-benar sepi. Semuanya sibuk dengan ponsel kecuali Revan yang menunduk dengan mainan yang dia bolak-balikkan tanpa tujuan. Keheningan itu hanya sementara hingga pintu kembali terbuka memperlihatkan pelayan-pelayan yang mendorong troli makanan.

LyintusWhere stories live. Discover now