27. Penghancur Suasana

93 52 20
                                    

Mood Dika dalam keadaan buruk pagi ini. Dirinya tidak dapat tertidur lelap semalam karena tubuhnya terasa pegal akibat lelah rekreasi dadakan yang keluarganya lakukan kemarin.

Netranya melirik kearah jam dinding yang menunjukkan pukul 6 pagi, laki-laki itu menyugar surainya, dengan lunglai ia meraih handuk yang tergantung di samping pintu kamar mandi kemudian melanjutkan rutinitas paginya tanpa semangat.

Tidak membutuhkan waktu yang lama, Dika terlihat segar dengan seragam olahraga yang sudah terpasang rapi pada tubuhnya. Kamar itu tidaklah sunyi, sedari tadi sang pemilik kamar menggerutu kesal lantaran dirinya yang sama sekali tidak menyiapkan apa saja yang ia butuhkan semalam sehingga ia harus cepat-cepat menyiapkan peralatan sekolahnya sekarang juga.

"Buku... Ya Allah buku paketku dimana dah?" gumam Dika kesal dengan tangan yang masih mengobrak-abrik rak bukunya dengan terburu-buru.

"Inget-inget plis." netra kembar itu terus-terusan melirik jam di dinding.

Ah sudahlah, dengan keadaan paik seperti ini jelas sekali ia tidak akan mendapatkan apa yang ia mau. Dika menyerah, postur tubuh yang biasanya tegap dengan semangat membara saat ingin berangkat sekolah itu kini terkulai lesu. Laki-laki itu menggaet tasnya lalu turun menuju ruang makan. Tujuan Dika hanya ingin mengambil minum, dirinya tidak berselera untuk makan . setelah melewati dinding pembatas antara ruang keluarga dan dapur Dika dapat melihat kedua orang tuanya beserta kedua adiknya sedang menikmati sarapan mereka.

"Selamat pagi," sapanya sembari berjalan melewati meja makan menuju dispenser air.

"Abang gak makan?" Tanya Dira.

Dika menggeleng pelan sembari meminum airnya, "Abang lagi ga seleraan, abang makan di sekolah aja." Dika berucap sembari beranjak menyalimi tangan kedua orang tuanya. Tak lupa laki-laki itu mengelus lembut kepala kedua adiknya.

"Abang berangkat duluan, Adek berangkat sama Papa ya hari ini. Maafin abang," ujar Dika, Dira tersenyum sembari menggelengkan kepalanya dua kali.

"Gapapa abang, berangkat duluan aja," ucapnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam"

Dika tersenyum tipis kemudian berlalu dari ruangan itu menahan perasaan sesak yang menghinggapi hatinya.

"Bahkan kalimat untuk menyuruhku makan pun tidak ada."

•••

Hari yang cukup buruk berhasil dilalui, Dika cukup bangga akan hal itu. Kini laki-laki itu sedang duduk menikmati segelas es teh bersama Bagas dan Mahesa sembari bermain game. Yang lain? Sedang sibuk dengan tugas-tugas yang membelundak juga mempersiapkan ujian yang akan datang sebulan lagi.

Ketiganya buka sedang bermalasan, namun ingin bersenang-senang dulu sebentar sebelum dipusingkan dengan semua itu.

"Lane atas woy! Jangan di bawah semua elah!" dumel Bagas.

Mahesa mencibir, netra kembarnya masih terfokus pada layar ponsel dengan jari yang bergerak acak. "Lo yang di atas lah bang, gue lagi bantu magenya nih, nanti mati kadita gue!"

"Dik lo sini Dik WOY Bruno gila sakit banget cong!"

Dika tertawa jenaka, "Makanya, lo banyak omong si, mati kan."

"Tapi asli brunonya sakit banget cuy," elak Bagas.

Keduanya menggidik acuh, ketiganya terdiam sejenak sebelum suara tawa Bagas yang menggelegar menghancurkan suasana sunyi di sana.

"HAHAHAHA MAMPUS NGERASAIN JUGA KAN LO!"

"WOI BANG VOLUME SUARANYA DIKECILIN NAPA, DISINI BUKAN RUMAH LO WOY!"

"Pfftttt, malu banget gue." Kekeh Mahesa.

Bagas meringis malu, telinganya berubah memerah namun segera ditutup olehnya karena tangan jahil Dika yang menoel sebelah telinganya.

"Sorry Dam hehe," ucap Bagas yang diacugi jempol oleh Yadam yang sedang shift bekerja mengantarkan pesanan pada pelanggan.

Ya, ketiganya sedang berada di Cafe saat ini. Cafe milik sepupu Mahesa yang letaknya tak jauh dari sekolah. Tempat duduk di pojokan dengan buku yang menghiasi dinding tempat itu terlihat estetik sehingga biasanya juga anak-anak Tyrex kemari, tempat itu menjadi lokasi strategis untuk diduduki.

"Definisi semua tatapan tertuju padamu ini mah." Ringis Mahesa.

Dika terkekeh pelan namun sedetik kemudian ia menyimpan ponselnya di atas meja karena layar menunjukkan bahwa mereka telah kalah.

"Gara-gara lo nih bang," tuduh Mahesa pada Bagas yang terlihat santai sambil meminum es teh miliknya dengan wajah tidak bersalah.

"Sudah takdirnya kita kalah, jadi jangan saling menyalahkan," ucap Bagas menenangkan, ekspresinya begitu menghayati hingga telapak tangan Mahesa mendarat di sana.

Ketiganya larut dalam percakapan, hingga bunyi bel tanda pelanggan masuk berbunyi dan mengalihkan perhatian mereka pada seorang pria berjas biru tua yang datang Bersama seorang wanita sembari berbincang tanpa memperdulikan bahwa mereka sedang di tatap oleh banyak mata di Cafe itu.

Ketiganya sontak menghentikan percakapan, Bagas dan Mahesa saling menatap satu sama lain lalu melirik laki-laki yang terdiam di hadapan mereka. Dika terkesiap, dirinya sangat mengenali pria itu, dia Dharma, dan mengapa ia terlihat begitu asik berbincang dengan Wanita asing itu? Saat bersama mama pun, Ayah tidak terlihat sesenang ini.

Tidak hanya berdua, di belakang kedua orang itu terdapat Meisya selaku sekretaris Ayahnya yang senantiasa mengekori pria itu kemanapun. Meisya terlihat sedang mengedarkan pandangannya untuk mencari tempat duduk, hingga pandangannya terpaku pada ketiga remaja yang duduk di pojokkan yang juga menatap kearah mereka bertiga.

Meisya tersenyum kikuk, lalu tatapannya teralih saat Dharma menyuruhnya untuk memesankan sesuatu.

Tatapan Dika masih terfokus pada pergerakan sang Ayah dengan Wanita asing itu. Keduanya duduk di tengah-tengah ruangan dengan Meisya yang berjalan menjauh dari keduanya. Sungguh Mahesa dan Bagas saat ini bingung ingin melakukan apa. Keduanya hanya diam, sesekali bertatapan memberi kode satu sama lain, lalu melirik Dika sekilas dan kembali diam dengan jari yang sibuk menggeser-geser layar ponsel.

Dika menghela nafas lalu memalingkan wajahnya. "Pulang ga?" tanyanya.

Kedua laki-laki yang dintanyai sontak mengangguk cepat. Tanpa banyak bicara, ketiganya membereskan barang-barang mereka lalu beranjak dari sana.

Bagas menarik Mahesa untuk membayar minuman mereka sementara Dika beralih haluan untuk berjalan mendekati meja Ayahnya, huh ternyata pria itu masih tidak menyadari keberadaannya.

Dika terus melangkah mendekati meja Ayahnya, Ketika dirinya berdiri bersebelahan dengan Sang Ayah laki-laki itu menunduk dengan sebelah tangan memegang bahu tegas yang mendadak kaku itu.

"Tidak ku sangka Ayah itu player juga ya," bisiknya lalu tanpa menatap Dharma, ia berlalu begitu saja meninggalkan rasa keterkejutan Dharma.

"Sayang, ada apa?" tanya perempuan itu dengan wajah kusut, ia penasaran mengapa remaja tadi mendekati prianya lalu pergi menyisakan wajah terkejut dari pria itu. Sayang, ucapannya dibalas tatapan tajam oleh pria itu, membuatnya menunduk tidak berani menatap mata sang pria secara langsung.

"Jangan panggil aku dengan panggilan itu jika berada di luar kantor, ingat itu!" ancam Dharma. Jantungnya berdegup kencang, mengapa ia tidak menyadari keberadaan sang anak di tempat ini, dirinya begitu bodoh.

Wanita dengan balutan dress hitam dengan rambut yang sengaja terurai itu mengerucutkan bibirnya tak suka. Suasana yang tadinya hangat, seketika berubah dingin akibat kedatangan remaja itu, ia harus mencari tau tentangnya.

Keduanya terus diam hingga kedatangan Meisya dengan pelayan yang membawakan makanan memecah keterdiaman itu, namun hanya berselang sebentar, Dharma tidak membuka mulutnya lagi dan hanya fokus pada makanan di hadapannya membuat Meisya mengerutkan keningnya dengan perubahan dadakan oleh atasannya ini.

Meisya menghela nafas Panjang, beberapa dugaan bersarang dalam pikirannya, namun ia akan bersiap-siap dengan keadaan selanjutnya. Ujung-ujungnya pasti ruangan kerja atasannya yang menjadi korban.

••••

LyintusWhere stories live. Discover now