29. Kasih Sayang Sepupu

45 31 11
                                    

"You okay?

Dika membuka kedua matanya dengan susah payah ketika merasakan tangan seseorang membelai rambutnya perlahan. Dika mengenali suara itu, terlihat Anggara yang duduk tepat di pinggiran kasur dengan tangannya yang senantiasa mengelus puncak kepala Dika.

Perlahan Dika mendudukkan dirinya dan bersandar di kepala ranjang. Saat penglihatannya sepenuhnya terkendali, dapat ia lihat Angkasa yang sedang duduk di salah satu sofa yang berada di kamarnya yang juga ikut menatapnya. Laki-laki itu kemudian mengacak-acak rambutnya sembari membuang nafas secara kasar.

"Sial banget hidup gue," racau Dika.

Anggara menggeleng tak setuju, "Ini namanya ujian dari Tuhan," ucapnya membenarkan racauan Dika.

"Kalian jelas udah tau kan? Jadi ga perlu gue ceritain lagi." Dika berucap sambil menatap kedua sepupunya itu dengan tatapan sayu. Dika terlihat begitu lelah dengan bahu yang biasanya terlihat tegap kini terkulai lemas dengan kedua netranya yang membengkak.

"Ya, Dira yang cerita. Dia juga yang menelepon kami untuk datang kesini." Anggara berujar.

Dika sontak menatap ke arah pintu, "Dimana dia sekarang?" tanyanya.

"Udah gue suruh buat istirahat, kasian dia mangku badan lo yang berat ini sendiri, di lantai lagi," ucap Angkasa disertai helaan nafas di akhir ucapannya.

Dika terlihat terkejut, laki-laki itu membolakkan kedua matanya dengan tubuh yang ditegakkan. "Serius?" tanyanya seraya menoleh cepat ke arah Anggara.

Anggara mengangguk mengiyakan, "Iya, Dia manggil buat minta tolong buat ngangkat lo."

"Gue ngebebanin dia lagi," Ucap Dika melemaskan tubuhnya kembali lalu menutup wajahnya dengan lengan kanan.

"Jangan nangis lagi," sahut Angkasa saat melihat gelagat Dika yang sangat ia hafal.

"Gue ga bisa." Angkasa menggelengkan kepalanya pelan mendengar suara Dika yang bergetar, nangis lagi dia itu tuh.

"Ga bosen?" tanya Anggara, "Kalau lo ngerasa bersalah, mending langsung temuin dia. Tapi jangan sekarang, dia lagi istirahat, sebaiknya lo juga lanjut tidur sekarang," lanjutnya.

Anggara dan Angkasa ikut terdiam, ucapan Anggara dianggap angin lalu oleh laki-laki bersurai hitam itu. Ia masih menangis walau tidak terdengar isakan, hanya saja telinga sepupu mereka itu terlihat memerah dengan bahu yang bergetar pelan.

Keduanya membiarkan Dika menuntaskan tangisannya, hingga beberapa menit kemudian tangan yang menampakan sedikit urat yang mengelilingnya itu turun dengan sedirinya, menampilkan wajah kusut denga mata dan hidung yang kembali memerah basah karena air mata.

"Gue lemah bang. Gue gak peka dan terus bertingkah kekanankan karena hobi gue yang ga di dukung mama, walau gue udah berhasil ngeyakinin mama buat ga ngirim Dira ke Jepang lah. Tapi pasti gue ngerepotin adik gue. Gue abang yang buruk kan bang?" lirih Dika.

Lemah, satu kata yang Dika pakai untuk menggambarkan keadaan dirinya sekarang. Netra kelam itu menatap kondisi kamarnya yang berantakan, alat lukis yang belum di rapikan, noda cat yang terlihat mengering di karpet dan lantai sungguh menganggu penglihatannya.

"Lo boleh berpikiran seperti itu sekarang, tapi pastikan kalau lo bisa merubah sifat itu demi diri dan adik-adik lo. Bangun Dika, mereka butuh lo. Selesaikan permasalahan keluarga lo, dan ingat, kalau lo kesusahan kita semua siap buat bantuin lo." Anggara berpesan, sudah saatnya Dika bangkit. Hanya melihat orang yang ia anggap superhero menghianati mamanya Dika sudah bereaksi seperti ini, apalagi kalau laki-laki ini mengetahui semua fakta yang orang tuanya simpan. Memiliki ilmu meretas sesuatu ternyata menyenangkan juga. Anggara tertawa dalam hati, keluarga adik sepupunya ini penuh dengan drama.

"Lagian lo norak, ayahnya aja kelakuannya gitu pasti nurun ke anaknya lah," Celetuk Anggara frontal yang sontak langsung mendapatkan geplakan pada bagian kepalanya, pelakunya siapa lagi kalau bukan kembarannya yang tersayang.

"Mulut lo," peringat Anggara.

Dika terkekeh, "Bener juga, gue bisa-bisanya ngelupain suhu hahaha," tawa Dika menguar bebas.

Untung saja Angkasa mengingatkannya, Ah semua keluarganya memang tidak jelas. Dirinya hanya perlu mencari apa saja yang terjadi pada keluarga ini, setidaknya Dika dapat memberikan kebahagiaan pada kedua adiknya. Apapun itu, akan ia usahakan untuk keduanya.

"Suhu tetap suhu, nurunnya langsung ke tiga anaknya. Untung saja Daddy tidak." Angkasa kembali berujar.

Dika mendelik kesal, "Jangan terlalu percaya diri, uncle belum pulang kan sekarang?" goda Dika.

Raut wajah Angkasa berubah masam, "Ah lo bener juga, yaudahlah, lagian gue udah kebal," jawabnya santai.

Anggara menggelengkan kepalanya mendengar pembicaraan keduanya, sudahlah biarkan saja, itu kenyataan kok. Di antara mereka semua ini sudah menjadi lelucon, kalau sudah seperti ini Anggara jadi merindukkan adiknya di rumah.

"Basket lah kuy, kangen lapangan nih gue," Ajak Angkasa.

"Boleh, kabarin yang lain." Perintah Anggara yang langsung di angguki oleh Angaksa.

Sementara Angkasa sibuk dengan ponselnya, Anggara menaruh pandangannya penuh pada Dika yang sedang memilin selimutnya dengan acak.

"Lomba itu, kapan?"

Dika mendongak, keningnya sedikit mengerut mencoba mengingat sesuatu, "Kalau gak salah tiga minggu lagi. Gue masih harus ikut pembinaan dua kali dan ya, doain moga gue berhasil. Anak Z juga ada yang ikut, dia nantangin gue, yakali gue nyerah kan?"

Anggara menyeringai. "Tunjukin ke semua orang siapa lo sebenarnya, gue tau lo pasti mampu. Orang-orang seperti itu hanyalah hama, right?"

Dika membalas, "Rasanya gue dapat tambahan energi haha, thanks big bro," ucap Dika.

LyintusWhere stories live. Discover now