13. Meet Her

186 79 21
                                    

Happy reading

"Kenapa bisa?" Tanya Angkasa. Seragam laki-laki itu terlihat berantakan setelah menerima panggilan dari Mahesa. Untung saja saat itu urusan dengan organisasinya selesai, ia kemudian terburu-buru berlari menuju mobil untuk menjemput teman-temannya tak lupa menarik Rans yang sedang merapikan isi tas menghiraukan tatapan tak terima dari laki-laki itu.

Rans mendengus mengingatnya, ia melirik Angkasa yang duduk di bangku kemudi dengan sinis.

"Mereka tiba-tiba nyegat, kayak udah duluan nunggu disana. Gue penasaran, Mereka tau kita mau kesana darimana?" Anggara menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan mata yang menatap langit-langit mobil, bertanya dengan sedikit nada menyindir di ucapannya.

Angkasa melirik Anggara dari kaca spion dalam, laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya menyadari nada menyindir dari kembarannya itu.

Tidak ada yang menyahut karena semuanya tertidur, Angkasa dan Rans yang tidak tahu apapun hanya diam saja, sementara Anggara yang merasa ada yang janggal dari kejadian ini memilih untuk tidak tidur.

"Ke rumah sakit?" Angkasa bertanya untuk mengalihkan topik, sekaligus untuk memecah kesunyian yang sangat membuatnya tidak nyaman.

"Gak usah, ke markas." Jawab Anggara.

"Tapi luka mereka?" Rans berbalik menatap Anggara.

"Panggil dokter." Mutlak, ucapan Anggara tidak bisa dibantah.

Rans mengangguk lalu mendial nomor dokter yang biasa menangani mereka. Selama perjalanan, tidak ada yang berbicara sama sekali. Semua sibuk dalam pikiran masing-masing.

Anggara memejamkan matanya, kepalanya berdenyut sakit, ditambah perihnya goresan pisau yang lorez gunakan padanya. Angkasa terdiam fokus pada jalanan yang ramai, ikut merasakan perasaan sakit yang dirasakan kembarannya.

"Gue rasa-" Rans tiba-tiba berujar, membuat Anggara membuka matanya lalu menatap laki-laki itu dengan sebelah alis yang terangkat.

"Apa?" Tanya Angkasa.

Rans berdehem, laki-laki itu mengarahkan tubuhnya menatap Angkasa dan Anggara dengan tatapan serius,

"Diantara kalian, ada yang bocor."

•••

"Bangun, ke kamar masing-masing." Perintah Anggara setelah Angkasa memarkirkan mobil dengan sempurna di halaman markas mereka.

Rans turun dari mobil dan membantu memapah Bagas masuk, Kevran merangkul Kopi mengikuti langkah Rans dan Bagas.

"Luka lo parah bang, lo istirahat duluan aja." Ujar Dika menatap Anggara yang menjulurkan tangannya kearahnya.

Anggara menggeleng pelan, "Lo juga lihat badan lo sendiri."

Orion menepuk bahu Dika secara perlahan, "Dilihat mama, abis lo," ujar Orion jenaka, laki-laki itu paham, bahkan sangat mengenal keluarga Dika. Orang tuanya bersahabat dengan orang tua Dika, dan mereka sering berkunjung ke rumah laki-laki pelukis itu.

"Benar juga, moga abis ini mama peduli, hahaha." Dika tertawa hambar. Anggara menyipitkan matanya laku memukul kepala Dika pelan.

"Suuzon," celetuk Anggara.

Dika kembali tertawa, laki-laki itu merangkul Orion. Menatap Angkasa yang terdiam dan Anggara yang menggeleng pasrah atas kelakuannya. "Doain, abis ini mama gak marah sama gue."

•••

Katakanlah jika Dika itu adalah seorang pembangkang handal. Kini bukannya beristirahat, laki-laki pecinta lukisan itu sedang asik berjalan-jalan di sepanjang trotoar jalan menuju rumahnya dengan riang. Sekilas ia melupakan bagaimana cerewetnya Angkasa dan tatapan tajam dari Anggara saat ia memilih pulang ke rumah ketimbang beristirahat menerima obat dokter yang sangat pahit.

Dika benci obat, obat apapun itu.

Laki-laki itu berjalan menuju sebuah warung yang kebetulan tak jauh dari posisinya sekarang.

"Permisi, ibu. Mau beli," ujar Dika, tak lupa dengan salam yang wajib.

Wanita tua berambut panjang keluar menghampiri Dika, "Shalom, nak. Mau beli apa?" Tanya wanita itu sambil tersenyum.

Dika sedikit terenyak, senyum Laki-laki semakin melebar kala mendengar jawaban dari ibu pemilik warung tersebut.

"Maskernya ada bu?"

"Masker? Ada. Sebentar ibu ambilkan,"

Wanita tua itu kembali dengan sebuah masker putih, "Mau berapa?" Tanya wanita itu.

Dika mengangkat telunjuknya, "Satu aja bu." Jawabnya.

Ibu pemilik warung itu terlihat tersenyum lalu menyodorkan sekotak masker yang sudah terbuka kearah Dika, "Ini ambil sendiri ya nak," Dika mengangguk, ibu ini sangat menjaga kebersihan.

"Berapa harganya bu?"

"Tiga ribu saja."

Dika menyerahkan uang lima ribu, diterima dan dikembalikan sisanya oleh ibu pemilik warung tersebut. Dika sedikit membungkukkan tubuhnya berpamitan, lalu pergi meninggalkan warung itu.

Sembari melangkah, Dika membuka syal milik Angkasa yang ia gunakan untuk menutup pipi kanannya terdapat lebam. Laki-laki itu sedikit mendengus, luka lamanya sudah menghilang, namun sekarang luka baru kembali muncul.

"Kamu luka?"

"Astagfirullah!" Dika terlonjak kaget, suara seorang perempuan yang sangat amat ia kenali tiba-tiba berujar didepannya.

Yah bukan hanya itu, kata 'kamu' yang diucapkan oleh Aylin juga membuat Dika terkejut.

"Maaf aku bikin kamu kaget." Ujar Aylin meminta maaf.

'Aku kamu?'

'Ya Allah, lucu banget!'

Dika menggeleng cepat, "Enggak kok, gapapa. Santai aja," celetuk laki-laki itu, mengambil nafas berat beberapa kali dengan jantung yang berdegup kencang. Sedikit menyeriyit mencium aroma aneh di sekitarnya.

Aylin mengangguk dua kali dengan kaku, kemudian terdiam. Dika menipiskan bibirnya, seperti biasa, ia selalu kehilangan topik pembicaraan jika bersama gadis ini. Entah, padahal mereka sudah berteman tempo hari, namun, mengapa masih terasa canggung.

Mungkin, karena ia sedikit- ah sudahlah.

Dika kembali menggelengkan kepalanya membuat Aylin menatapanya penuh tanya, "Lo habis dari mana?" Tanya Dika cepat.

Aylin sedikit terdiam, pandangannya langsung tertuju pada tanah. Namun tak lama, gadis itu kembali menatap Dika setelah menghembuskan nafas berat beberapa kali.

"Bakar sampah."

Jawaban Aylin yang singkat membuat Dika mengangguk, setelahnya keduanya kembali terdiam. Dika berteriak dalam hati, mangapa bisa ia selalu hilang topik setelah berteman dengan Aylin? Ya tuhan, tolong Dika!

Dika menatap Aylin yang menatap kosong kearah jalanan. Seperti biasa, rambut bergelombang berwarna jetblack milik Aylin selalu menjadi pusat perhatiannya.

'Cantik'

"Dika, kamu pulang aja." Aylin berujar, kembali menatap Dika. Netra coklat gadis itu terlihat bergetar.

Laki-laki itu kembali menipiskan bibirnya kemudain mengangguk kaku, Netra gelap milik Dika menatap bingung karena Aylin yang tiba- tiba seperti sedang panik. "Iya, gu-Aku pulang dulu."

Aylin mengangguk, kemudian tersenyum tipis. "Lukanya diobatin, jangan lupa."

"Siap!"

'Mengapa rasanya seperti sedang diusir?'

•••

To be continued

LyintusWhere stories live. Discover now