14. Mama dan Lukisan

171 75 2
                                    

Happy reading

"Melihat sesuatu yang kau sukai di rusak oleh orang yang paling kau sayangi, rasanya sangat menyakitkan."

•••

Dika melepas sepatunya, menyimpannya rapi di sebuah rak sepatu di samping pintu rumahnya. Netra gelap laki-laki itu menatap sebuah mobil yang terparkir rapi di halaman rumah, mobil itu milik mamanya.

"Assalamualaikum."

Dengan gerakan pelan, ia membuka pintu rumah. Mengedarkan pandangannya ke seluruh bagian ruang tamu, namun tak ada siapapun di sana. Dika melepas jaketnya lalu menyimpannya di lengan. Kaki panjang milik laki-laki itu mengarah pada dapur, namun tetap saja tidak ada siapapun disana.

Ting!

Dira
Abang dimana?

Dika mengerutkan keningnya lalu membalas pesan sang adik.

Di rumah, kenapa?

Dira
Ada mama di kamar abang, Dira gak tau mama ngapain.

Dira gak berani masuk, mama marah-marah kedengeran sampe bawah.

Membulatkan matanya, Dika menahan nafasnya lalu segera berlari menuju lantai atas. Terlihat, pintu kamarnya yang terbuka.

"Mama-" Dika berujar lirih. Menatap sang mama dengan tatapan tak percaya.

Mendengar suara itu, Rara berbalik. Menarik lengan putra sulungnya masuk, "Sudah mama bilang, berhenti melakukan hal yang tidak berguna, Adikara!!" Dika terlalu fokus menatap ke arah lantai menghiraukan bentakan mamanya.

Entah sudah beberapa kali, hati Dika mencelos saat melihat banyaknya kertas yang berserakan di lantai kamarnya. Kertas-kertas hasil lukisan yang Dika buat dengan sepenuh hati sekarang sudah hancur tidak berbentuk.

Beberapa kain kanvas yang ia sembunyikan di bawah kasur digunting habis, cat-cat warna-warni berserakan mengotori karpet berbulu.

Termasuk lukisan keluarga bahagia yang ia buat dulu.

"Kenapa di robek, lagi?" Tanya Dika dengan suara kecil.

"Mama gak suka kamu gambar-gambar yang gak jelas kayak gitu!! Coba bilang ke mama? Benda itu bisa bikin kita kaya? Enggak Adikara!" Tanya Rara dengan nada tinggi.

"Kamu lupa ucapan mama kemarin Dika? Tinggalin hobi kamu, gak guna!"

"Tapi mama gak punya hak buat ngerobek barang-barang punya Dika." Ujar Dika.

Rara menatap Dika tidak suka, tatapan matanya begitu tajam. "Oh, sudah berani ngelawan ya?"

Nyali Dika menciut, pikirannya berkata untuk melawan kali ini. Namun, hatinya terus tertunduk dan menolak apapun yang ada di pikirannya. Rara adalah ibunya, wanita yang membawanya ke dunia, yang paling ia hormati, yang membuat seorang Dika sadar bahwa perempuan adalah hal utama yang harus di lindungi.

Dika menganggap perbuatan dan perkataan kasar Rara selama ini adalah salah satu cara mamanya untuk mendidik dia, terlebih lagi, Dika adalah anak sulung yang mendapatkan pengharapan tinggi dari kedua orang tuanya.

Walau tanpa rasa kasih sayang sedikitpun.

Wajahnya memerah penuh amarah sembari melotot menatap putra sulungnya dengan sedikit kerutan di ujung mata karena melihat Dika masih menggunakan masker di dalam rumah.

Detik selanjutnya, tangan Rara terangkat melepas masker yang digunakan oleh Dika secara paksa, membuat laki-laki pelukis itu terkejut. Lebam keunguan di pipi kanannya tercetak jelas, tepat di hadapan sang mama yang menatapnya semakin marah.

"Ini juga kenapa? Kamu berantam lagi Dika?!"

Dika menunduk, tak berani menatap langsung wajah Rara. Bibirnya begitu kelu untuk mengeluarkan sepatah kata pun.

"Mama kira, setelah mama kasih kamu waktu sebulan buat niat belajar bisnis kamu bakal ninggalin hobi gak berguna kamu itu. Dan sekarang kamu juga mulai berantam-berantam gajelas kayak gini?!"

"Ma-"

Rara menggeleng kuat, "Mama belum selesai bicara Dika, kamu sekarang juga makin gak sopan ya. Mentang-mentang udah ngadu terus dibela sama papa busukmu itu, kamu makin ngelunjak sama mama!"

"Enggak ma-"

"Mama bilang diam Dika!"

"Dika, Sekali lagi mama tanya ke kamu. Belajar bisnis atau adik kamu mama bawa ke Jepang?" Dika tak menjawab, kepalanya masih tertunduk dengan bulir kristal yang siap terjun dari kedua matanya.

"Mama kapan sayang sama Dika?"

Rara mencekram bahu Dika erat, sebelah tangannya mengangkat dagu Dika agar menatap wajahnya. "Dika, kalau kamu mau mama sayang sama kamu. Berhenti melakukan hal yang sia-sia seperti itu. Ikut kata mama, umur kamu sudah matang untuk mempelajari bisnis, sayang." Ucapnya menatap lekat netra gelap milik Dika. Cengkraman tangannya pada bahu Dika semakin mengerat, menuntut jawaban dari putra sulungnya itu.

Ringisan kecil keluar dari bibir kering laki-laki itu, kuku panjang Rara seakan menusuk bahunya, Dika menggelengkan kepalanya, "Tapi bidang Dika bukan di Bisnis, ma. Dika suka seni," ujarnya. Deep voice milik laki-laki itu bergetar.

Rara melepas cengkraman tangannya, sedikit mendorong bahu lebar itu kebelakang. "Mama gak peduli, berhenti atau mama bakar kamar kamu," ancam Rara, berjalan keluar dari kamar itu meninggalkan Dika menyisakan luka yang semakin melebar dalam hati.

"Mama marah lagi." Gumam Dika menatap karya-karya miliknya yang sudah tak beraturan. Ini yang terparah, walau sudah ketahuan beberapa kali, mamanya itu hanya menghancurkan barang-barang yang biasa ia gunakan. Tak pernah sampai membongkar kamarnya dan menghancurkan seluruh perlengkapan lukisnya.

Dika menyandarkan tubuhnya pada kasur, tubuhnya masih terasa sakit, ia menangis.

"Ya Allah, maafin Dika. Dika udah bikin mama marah lagi. Dika sudah bantah ucapan mama. Dika gak mau belajar bisnis, Dika gak suka berhubungan dengan perusahaan. Dika mau buat pilihan sendiri buat hidup Dika."

•••

To be continued

LyintusWhere stories live. Discover now