28 - Perbedaan

23 7 2
                                    

Syauqiya terus termenung memikirkan rencana yang tepat untuk mencari fakta yang ia butuhkan. Ia masih kebingungan memikirkan konsekuensi besar yang akan dihadapinya karena hal ini. Tidak akan mungkin baginya mengenakan peralatan agen EM untuk sampai ke tahanan, karena itu sama saja mencari mati. Akan tetapi, jika ia tidak mengenakkan peralatan-peralatan tersebut, raganya dapat dengan jelas tertangkap oleh kamera cctv. Terlebih lagi, tanpa perlengkapan itu, ia tidak akan bisa melawan musuh yang bisa saja menyerang tiba-tiba.

Ia melempar kerikil-kerikil kecil ke arah danau yang jernih. Melampiaskan kekesalannya, karena belum bisa menemukan solusi terbaik. Salah-salah menyusun rencana, nantinya maju kena, mundur kena. Rasanya stuck memikirkannya.

"Qi ... lagi ngapain?"

Suara Halim tidak membuat Syauqiya menengok, gadis itu tetap menatap ke arah danau dengan tatapan sinis. Ditambah, ia menggerutu, "Halim pasti ikut menyembunyikan kebenaran itu, arh!"

"Kok kayak yang kesel?"

Bibir Syauqiya lantas mengukir seulas senyuman, agar tidak terlihat mencurigakan. "Gak papa kok, cuma rindu mamah sama papah."

"Ooh."

Tritt

Batu pertama Syauqiya menyala dan berbunyi. Si empu pun lekas menekan batu permata dan menemukan ada telepon dari nomor yang tidak dikenal. Ia menekan panel berwarna hijau. Barangkali, orang yang menelepon ini adalah dosen lain di USI.

"Hallo."

Syauqiya mengerutkan dahinya saat suara khas yang tidak pernah ia lupakan itu muncul di telinganya.

Halim pun mengetahui jelas, pemilik suara yang menelepon sahabatnya. Ia sampai mengepalkan tangannya dan menatap gawai Syauqiya dengan tatapan kesal.

"Mau apa kamu, Axel?!"

"Selamat, ya. Kamu telah lolos dari kejaran anak buah saya kemarin. Tapi, jangan dikira saya tidak tahu kalau kamu masuk ke mobil dosen kamu untuk bersembunyi."

Raut wajah Syauqiya berubah khawatir. "Kamu mengancam dosen saya untuk mengetahui keberadaan saya?"

"No. Mengancam itu buang-buang waktu. Saya punya mata-mata."

"Lancang sekali-"

Tut tut tut

Sambungan telepon terputus secara sepihak, membuat Syauqiya geram karenanya.

"Qi ... siapa yang ngasih nomor kamu ke Axel? Bukannya nomor kamu itu suatu hal yang privasi?"

Syauqiya mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Mata-mata."

Mereka berdua berdiam beberapa saat, memikirkan siapa orang yang telah menjadi mata-mata dari seorang Axel. Jika mereka abai terhadap masalah ini, bisa-bisa hal-hal yang lebih privasi lagi dibongkar oleh orang tersebut. Mungkinkah seorang teman melakukan semua ini?

"Syahira mungkin, gak?" tanya Halim.

Syauqiya menggeleng pelan. "Jika iya, dia pasti sudah melakukannya sejak pertama kali Axel mencari keberadaanku."

Mereka berpikir lagi. Dan, setelah beberapa detik berlalu, di saat yang bersamaan, mereka berdua membulatkan matanya karena merasa mengetahui siapa yang bisa dicurigai. "Jangan-jangan ... mata-mata itu adalah ...."

...

Sang fajar belum nampak jelas di ufuk timur. Masih terlihat malu-malu untuk menampakkan dirinya di tengah langit yang pekatnya telah memudar. Muncul secercah cahayanya yang seakan mengintip, sebelum ia berani melangkah menerangi bumi. Sungguh, hebatnya sang mentari, yang walaupun hanyalah satu bintang di antara delapan planet yang mengorbit, ia tetap setia menerangi. Keyakinannya dan kesetiannya pada Sang Ilahi, tak 'kan pernah lekang di makan waktu.

Sepasang mata mengamatinya. Takjub akan kekuasaan-Nya yang telah menciptakan hal-hal yang luar biasa hebat. Langit kokoh tanpa tiang, mampu menampung benda-benda langit dari yang berukuran besar sampai kecil, dari yang bermassa berat sampai ringan.

"Masyaallah."

Syauqiya menaruh satu tangannya di pipi. Beruntungnya ia, bisa mengamati hal indah seperti ini di laboratorium ayahnya. Sayang, ia tidak bisa mengamati secara langsung. Bumi hampir dipenuhi gedung-gedung pencakar langit. Kesempatannya untuk melihat fajar terbit di ufuk timur itu sangat sulit didapatkan.

Setelah puas memandangi semua itu, Syauqiya lekas siap-siap untuk berangkat ke kampusnya. Memang, sekarang ia sedang libur kuliah dan juga libur kerja. Ia ke sana bukan karena ada pengumuman atau hal penting. Ia sengaja pergi ke kampus untuk menemui Atha. Ia mau memberikan masakan yang ia buat, sebagai ucapan terima kasih untuknya karena telah menolongnya.

Setelah beres, ia pun membuka pintu dan menaiki motor terbangnya.

"Hai, Qi!" sapa Halim yang sedang berdiri di halaman rumahnya.

Syauqiya tidak mengindahkan ucapan Halim sama sekali. Ia masih merasa kesal dengan opini yang disampaikan Halim kemarin.

"Jangan-jangan ... mata-mata itu adalah ...." Mereka memang sangat kompak mengatakan enam kata itu. Namun, rupanya ada perbedaan yang sangat kontras saat mereka menyebutkan nama orang yang mereka curigai. Syauqiya menuduh Eliza, sedangkan Halim menuduh Atha.

"Hah?"

Mereka sama-sama tidak terima dengan tuduhan tersebut.

"Gak mungkin Eliza ngelakuin semua itu. Walaupun dia gak suka sama kamu, dia akan selalu menjunjung janji sebagai anggota EM," sanggah Halim.

"Terus, kenapa kamu nuduh Pak Atha? Dia baik, dan gak tahu apa-apa soal masalah ini, Lim."

"Halah, bisa aja musuh dalam selimut. Pura-pura baik, padahal dia itu sebenarnya mata-mata."

Syauqiya tampak tidak mau kalah. "Terus, Eliza?! Kamu pikir dia gak bisa jadi musuh dalam selimut? Bisa aja dia jadi pengkhianat."

"Gak mungkin, Qi. Aku udah kenal Eliza itu orangnya gimana."

"Oh, jadi kamu lebih percaya dia daripada aku?!"

Halim menghela napas panjang. Syauqiya jadi salah paham terhadapnya. Padahal, maksudnya bukan seperti itu. "Qi, kalian berdua sama-sama temen aku, sejak kecil pula. Aku kenal Eliza, Qi. Gak mungkin dia berkhianat."

Apa yang dikatakan Halim, tidak bisa diterima oleh Syauqiya yang masih memiliki luka dari tancapan lidah tajam seorang Eliza. Ia mendengkus. "Terserah kamu bilang apa, pokoknya aku gak percaya sama dia." Ia pun pergi tanpa mau mendengarkan balasan Halim.

***

Eroi Musulmani [Revisi Version]Where stories live. Discover now