4 - Janggal

79 15 5
                                    

Halim baru saja memarkirkan kendaraan terbangnya itu di parkiran sebuah tempat penitipan anak yang bernama BUTTERFLY, orang-orang biasanya menjulukinya dengan B (dibaca: bi). Sesuai dengan apa yang dipesankan oleh ibunya, Halim datang ke tempat bekerja Syauqiya sembari membawa makan siang special dari resto.

Memang sih, Syauqiya juga diberi jatah makan siangnya di B, tetapi kadangkala Raiqa sengaja memberinya makanan. Sedangkan, jatah makan siangnya tetap harus ia ambil dengan cara dibungkus oleh petugas B, agar Syauqiya memakannya di rumah nanti.

Halim pun menapaki koridor tempat tersebut sembari menengok ke kanan kiri. Biasanya selepas salat zuhur, Syauqiya berada di tepi kolam, memandangi ikan-ikan yang tak tenggelam walaupun berada di dalam air. Bukan sih, tetapi memandang suasananya yang menenangkan. Seolah menyirnakan kepenatan yang ia rasakan.

Namun, setibanya di sana, Halim tidak menemukan Syauqiya sama sekali. "Tumben?"

Ia pun bertanya kepada staf B yang baru saja berjalan di koridor tersebut. "Permisi."

Terlihat dari seragamnya, kalau ia bernama Emira.
Staf tersebut adalah seorang perempuan berambut keriting, dengan kulit sawo matang. Dari ciri fisiknya ia seperti orang Merauke. Ya, tak heran sih, di sini stafnya bukan hanya dari wilayah ibu kota, tetapi juga dari berbagai daerah, bahkan mancanegara.

Ia menunjuk ke arah Halim, seolah mengenal wajah itu. "Kalau tidak salah, kamu ini temannya Syauqiya, ya?"

Halim tersenyum mendapati ada orang yang mengenalinya. "Betul sekali."

"Kamu pasti mau ketemu Syauqiya, gak mungkin ketemu saya ya. Karena ke sini pasti cari temannya," ucapnya sembari bercanda dan mengakhiri ucapannya dengan tawa kecil.

"Hahaha, iya Mis."

"Tadi saya liat dia mengobrol dengan seorang pria ... em sepertinya itu kenalannya. Kalau tidak salah pria itu yang mau jemput anak yang dititip di sini. Kamu tak usah cemburu, ya."

Halim geleng-geleng. "Aduh, Mis ini ada ada aja."

"Barangkali saja kan, dari sahabat jadi cinta," balasnya yang kemudian tertawa.

Halim ikut tertawa, lalu ia pun berkata, "Enggak, Mis. Syauqiya ada di mana sekarang?"

"Ada di taman B."

"Ooh, siap Mis. Makasih, ya. Saya mau permisi."

"Baik, sampai jumpa."

Tak mengherankan, karena sudah terlatih untuk membuat anak-anak nyaman dengan para staf, mereka juga mampu untuk membuat lawan bicaranya nyaman mengobrol dengan mereka. Orang-orang yang supel seperti itu, akan mudah masuk ke mana-mana.

Halim sedikit memperlambat langkahnya tatkala ia melihat Syauqiya tengah mengobrol bersama dengan salah satu dosennya. Entah mengapa, melihat pemandangan itu, Halim memiliki firasat yang kurang baik. Bukan soal cemburu, tapi ada perasaan lain yang ia rasakan, entah apa dan mengapa.

"Syauqiya."

Syauqiya dan Atha spontan menoleh ke arah Halim.

Halim menaruh kotak makan siang di hadapan Syauqiya. Kotak tersebut berbentuk balok berukuran panjang 30 cm, lebar 25 cm, dan tinggi 7 cm. Tentunya tempat makan itu terdapat mekanismenya. Apabila tombol kotak makan itu dipencet, maka tutupnya akan terbuka menampilkan wadah makan dan tempat minum, beserta alat makan seperti sendok dan garpu atau sumpit, dan lain semacamnya. Pun makanannya terjaga kehangatannya, jadi tidak cepat basi.

"Ini, titipan dari Ibu," ucap Halim seusai menaruh kotak makan tersebut.

Syauqiya terlihat menghela napas lega.

"Halim?" Atha angkat suara.

"Siang, Pak Atha. Sedang apa di sini, Pak Atha? Bukannya Pak Atha ini masih single, ya?"

"Saya mau jemput anak sahabat saya, soalnya orang tuanya yang baru berangkat ke luar negeri, nyuruh saya buat anter anaknya juga ke sana sekarang," jawab Atha dengan tenang.

Halim manggut-manggut mendengar penjelasan Atha. Meskipun begitu, ia tetap memiliki firasat yang tidak enak tentang Atha.

"Baru saja saya tadi mau mengajak Syauqiya makan siang di luar, Kiara biar di antar oleh asisten saya saja. Eh ternyata, dia sudah dapat makan siang dari ibu kamu, ya? Kalian ternyata dekat sekali, ya?"

"Dari orok, Pak," balas Halim tak mau berpanjang lebar menjawabnya, "Kasihan kalau orang tua Kiara itu menunggu, Pak. Sebaiknya mereka segera bersua, bukan, Pak?" Halim menyampaikan usiran secara halus kepada dosennya itu, sepertinya Atha juga akan mengerti maksud Halim itu apa. Halim sengaja melakukan hal tersebut, karena ia lihat, Syauqiya juga terlihat kurang nyaman dengan kehadiran Atha di hadapannya.

"Oh iya, kamu benar. Kalau begitu saya mau permisi, ya."

"Baik, Pak," balas Halim dan Syauqiya kompak.

Setelah perawakan Atha tidak lagi terlihat di depan mata, Halim pun duduk di hadapan Syauqiya. "Pak Atha ngapain aja sampai kamu ngerasa gak nyaman gitu?"

Selalu, Halim selalu tahu apa yang dirasa Syauqiya tanpa harus Syauqiya ungkapkan dulu dengan kata-kata. Memang begini kalau sudah kenal sangat lama. Gerak-gerik dan karakter terkenali dengan baik.

"Pak Atha ajak aku ngobrol setelah gak sengaja papasan, jadilah aku ke sini. Dia nanya-nanya kenapa aku kerja di sini, tanya-tanya soal mamah papah, terus ngajak makan siang, katanya biar lebih enak ngobrolnya," Syauqiya menceritakan semua itu kembali dengan mimik wajah yang agak tertekuk, "Untung deh kamu dateng, lega banget rasanya."

Halim dan Syauqiya memang seperti itu, kadang bicara dengan menggunakan aku-kamu, lo-gue, atau saya-Anda. Sesukanya mereka.

"Ciee, kayaknya ada yang disukain dosen, ya," goda Halim.

Syauqiya yang baru saja memencet tombol kotak siangnya, mengerucutkan bibir. "Ngaco, kamu!"

Halim tertawa renyah melihat respon Syauqiya. Menurutnya, jika Syauqiya kesal, justru terlihat lucu.

"Entah kenapa, aku tuh ngerasa ada yang janggal, gak tau kenapa," keluh Syauqiya sembari mengaduk seporsi bakso komplit agar bumbunya merata.

"Oh, ya? Aku juga ngerasa kayak gitu. Gak tau juga kenapa."

Syauqiya manggut-manggut.

Selepas mengunyah, Syauqiya teringat sesuatu, "Mmmm!" Segera ia kunyah lembut makanannya. "Lo jail ya sama gue!" Mode kesal bak harimaunya muncul kembali.

"Lho, lho, lho, apaan sih LO?" Halim menekankan kata 'lo', tak terima dituduh sembarangan tanpa alasan dan kejelasan juga. "Eh, apa bumbu baksonya nya ada yang aneh?" tanya Halim mengingat Syauqiya baru mengunyah sesuap bakso.

"Bukan ...," bantah Syauqiya. "Ituloh, alat yang punya cahaya hijau, sama punya kekuatan yang besar, itu alat hasil rakitan elo, Lim?"

"Hah? Bukan gue!" tegasnya. "Emang kenapa sih?"

"Aku tadi terlempar, dari dapur ke sofa gara-gara benda itu."

Halim melongo dan refleks menggebrak meja. "SERIUS?!"

Untung saja Syauqiya tidak sedang mengunyah ataupun minum, kalau iya, Syauqiya akan tersedak hebat. "Iya. Serius!"

Halim seketika merasa sangat khawatir, napasnya terhela berat. Kenapa benda itu sampai meneror? Heran Halim dalam batinnya.

***

Eroi Musulmani [Revisi Version]Where stories live. Discover now