29 - Topeng

23 8 3
                                    

Seorang pria melajukan kendaraan roda empatnya di jalanan yang tidak terlalu macet. Suasana pagi hari memang membuat nyaman. Di pagi yang indah ini, ia tidak perlu merasa kegerahan dengan kondisi kendaraan yang merayap di jalanan. Ia rasanya rileks, karena pagi itu adalah suasana tercocok untuk me-refresh pikirannya, dari pikiran-pikiran yang membebani.

Di tengah kedua tangannya yang menyetir mobil, bibirnya berucap, "Hubungi Syauqiya."

"Menghubungi Syauqiya, siap." Sensor dari mobil itu bersuara sebagai balasan dari perintah tuannya.

Setelah sambungan telepon terhubung, ia pun menyampaikan niatnya untuk bercengkrama santai di rumah gadis itu. Lucunya, ternyata mereka sedang mengarah ke satu sama lain. Seakan-akan mereka satu hati dalam keinginan untuk bertemu.

"Wah, jadi gimana nih, Pak?"

"Kamu sudah jauh?"

"Ya ... nggak juga sih, Pak."

"Baiklah, kalau gitu kita ketemu di rumah kamu."

Setelah lima menit berlalu, mereka sudah sama-sama sampai di pekarangan rumah Syauqiya. Mereka turun dari kendaraannya masing-masing dan berbalas salam. Kemudian, Syauqiya memberikan kotak makan yang berisi masakannya kepada Atha.

"Terima kasih banyak, ya."

"Iya, Pak. Sama-sama."

Halim yang kebetulan lewat di depan rumah Syauqiya, lantas memasuki halaman rumah perempuan itu. Wajahnya tampak menaruh kekesalan saat melihat Atha ada di sana. "Ada apa dia ke sini? Hati-hati lho, bisa jadi dia mata-matanya Axel."

Syauqiya memutar bola matanya malas. "Bukan urusanmu."

"Ini akan jadi urusanku, kalian tidak boleh berduaan," larang Halim. Ia tidak bisa mengabaikan sikap Syauqiya yang terlalu mudah menerima orang baru. Itu bisa jadi sebuah bahaya yang akan mencelakakannya.

"Ada Ramlah."

"Ramlah kan cuma robot."

"Udah ... udah, Qi. Ajak temanmu juga."

Jika Atha tidak meminta hal tersebut, sudah pasti Syauqiya akan mengusir Halim yang terlihat over protektive itu. "Baiklah."

Mereka bertiga pun masuk ke dalam rumah. Lalu, Syauqiya mengambil air minum di dapur ditemani Ramlah. Sedangkan, Halim dan Atha duduk di ruang tamu secara berhadapan.

Halim menunjukkan sikap tidak sukanya kepada Atha, lagi. Ia bersikap tak acuh dan menekuk mukanya. Sesekali napas kasarnya terembus dan matanya melirik sinis ke arah Atha.

"Maaf, tadi kamu bilang saya mata-matanya Axel? Maksud kamu Axel pewaris tahta TZ?" tanya Atha.

"Terus siapa lagi kalau bukan dia?" balas Halim dengan nada ketusnya.

"Mengapa kamu menuduh saya seperti itu? Memangnya ada apa?"

Halim tidak lagi mengindahkan pertanyaan Atha. Ia menghela napas panjang dan melirik ke arah lain. Malas rasanya melayani orang seperti Atha. Seorang mata-mata kan bisa berakting untuk tidak mengakui identitasnya.

Karena tak mendapat balasan, Atha pun mengamati rumah gadis itu. Rumahnya cukup bagus, apalagi ada peralatan-peralatan canggih di sini. Pasti memudahkan kegiatan Syauqiya yang hidup sebatang kara. Ia menatap bingkai foto kecil yang terpajang di meja dekat dinding. Di sana tergambar jelas, foto ceria Syauqiya bersama mendiang orang tuanya.

"Ini, silakan diminum, Pak Atha dan," Syauqiya melirik Halim dengan tatapan sinis, "Halim."

"Iya, terima kasih."

Syauqiya membalas anggukan.

Di ruang tamu ada tiga sofa, sehingga Syauqiya bisa duduk di sofa yang berbeda dengan mereka berdua. Ramlah pun ikut menyusul, duduk di samping Syauqiya.

Atha dan Halim meneguk air mineral yang disuguhkan Syauqiya. Saat meneguk air, Atha melirik ke bingkai foto lain yang menyuguhkan sebuah foto gadis kecil. Ia mengamatinya dengan seksama. Dan, setelah ia mengamatinya baik-baik, matanya mulai terbelalak.

Prak!

Gelas yang ia genggam, kini terjatuh ke lantai. Memantulkan suara pecahan gelas. Pun mengundang rasa penasaran Halim dan Syauqiya, mereka sama-sama mengerutkan dahinya saat melihat Atha bertingkah aneh seperti ini.

Syauqiya mengikuti ke arah mana mata Atha tertuju. Ia mendapati, Atha tengah melihat ke arah bingkai foto yang terpajang.

Apa ada yang salah dengan foto-foto di sana? pikir Syauqiya

Tangan Atha merogoh saku di jas yang ia kenakan. Kemudian, ia mengeluarkan satu buah foto berukuran 2R dari saku tersebut dengan tangan bergetar dan mata yang berkaca-kaca. Ia memandang foto itu dan wajah Syauqiya secara bergantian. Berulang kali ia menatapnya secara bergantian. Kemudian, ia beralih menatap foto anak kecil itu, dan kembali menatap Syauqiya.

"K-k-kamu A-Adik Manje?" tanya Atha gugup.

Syauqiya mengerutkan dahinya, ia tidak mengerti apa yang dimaksud Atha tentang 'Adik Manje' itu.

Mendengar apa yang disebutkan Atha, Halim merasa tak asing dengan panggilan tersebut. Ia memfokuskan pikirannya untuk berputar ke masa lalu. Menerka-nerka siapa yang memberikan panggilan unik kepada sahabat jeniusnya itu.

"Adik Manje, dia siapa?"

"Kenalin, Kak, ini Halim ... tetangga aku."

"Ish, apaan Manje? Manja maksudnya?" tanya Halim kecil dengan tampang ketus.

"Manje itu singkatan dari manis dan jenius."

Ia ingat!

Sekarang, ia ingat dengan jelas panggilan itu ditujukan untuk siapa dan dari siapa. "Dirgantara?"

Syauqiya semakin tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ia melirik Halim dan Atha secara bergantian. "Ini apa sih sebenernya? Adik Manje, Dirgantara ... Halim sama Pak Atha kenapa sih?"

Atha tidak bersuara, ia menaruh foto tersebut di atas meja. Sehingga, ketiga indera penglihatan dapat melihatnya dengan jelas.

"What this is?" lirih Syauqiya.

Halim tidak terlalu kaget, karena dia tahu wajah anak laki-laki yang berswafoto dengan Syauqiya kecil. Namun, Syauqiya membulatkan matanya dan geleng-geleng kecil.

Aku? Apakah ini kenangan yang hilang di memoriku itu? Batin Syauqiya yang menatap foto itu dengan seksama. Matanya terasa berkaca-kaca. Ia sedih, tidak bisa mengingat masa lalu yang terjadi di foto itu. Ia pun melihat ke arah mereka berdua secara bergantian. "Siapa anak laki-laki ini? Kapan aku berfoto dengan anak ini? Kenapa bisa?" tanya Syauqiya sambil meraih foto itu. "Halim, Pak Atha, jelaskan padaku ... apa semua ini?"

Halim bukannya menggubris pertanyaan Syauqiya, malah memberikan pertanyaan kepada Atha, "Jadi, benar ... kamu ini Dirgantara?"

"Lebih tepatnya ...." Jari jemari Atha melepas kulit sintetis atau biasa disebut topis—topeng tipis—dari raut wajahnya.

Halim dan Syauqiya yang melihat hal itu terperangah melihat hal itu, mereka tidak menyangka dosennya merupakan seseorang yang tengah menyamar. Identitas itu bukan identitas aslinya!

Rasa penasaran ikut menyertai mereka. Bertanya-tanya siapakah sosok di balik penyamaran tersebut?

Saat topis itu terlepas dari wajahnya, alangkah terkejutnya mereka ketika mengetahui kalau dia tidak lain ialah ....

" AXEL!!"

***

Eroi Musulmani [Revisi Version]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant