2 - Wali

122 22 7
                                    

Dua kendaraan beroda dua yang semula melayang di udara, kini mendarat di depan pagar sebuah rumah. Pria yang merupakan anak dari pemilik rumah tersebut, meng-scan wajahnya ke layar monitor, yang terletak di tembok yang berada di samping pagar. Tak butuh waktu lama, setelah itu, pagar pun terbuka. Lalu, mereka berdua pun memajukan kendaraan roda duanya memasuki pekarangan rumah.

Pintu utama rumah terbuka, sesosok perempuan paruh baya tampak di depan pandangan kedua mata anak muda yang baru saja tiba itu.

"Ibuuu! Assalamu'alaikum," langsung saja ia menghampiri perempuan itu sembari berlari setelah menaruh helmnya di atas jok motor, "Iih kangen banget, Bu." Ia mencium tangannya.

"Wa'alaikumussalam, iya Ibu juga kangen banget sama Qiya." Raiqa langsung cipika-cipiki dengan tetangganya, yang sudah seperti anaknya sendiri itu. Lalu ia memeluknya dengan penuh kehangatan.

"Sama anaknya gak kangen gitu?" tanya putra kandungnya yang kini berdiri di belakang mereka berdua. "Aku kayak tamu di sini, yang kayak anaknya Ibu justru Syauqiya."

Raiqa dan Syauqiya melepas pelukannya sembari tersenyum lebar ke arah Halim yang nampak cemburu.

Raiqa berjalan mendekati putranya itu, lalu ia memegang bahu putranya, dan tangan satunya lagi mencolek hidung putranya yang agak mancung itu. "Kebiasaan deh Putra Ibu yang tampan ini, cemburu sama Syauqiya."

"Enggak cemburu sih sebenernya, Bu," balas Halim sembari merangkul ibunya, "Justru seneng kalian bisa sehangat itu keakrabannya."

"Ekhem," Raiqa berdehem, "Yuk sekarang kita masuk, kebetulan ibu udah masak buat makan malam kita."

"Asiik! Bisa makan masakan terenak Ibu!" Syauqia menyambut dengan antusias setelah ajakan makan bersama tiba di telinganya.

"Ah kamu bisa aja."

...

Di zaman ini, pekerjaan rumah seperti cuci piring bisa menjadi sangat instan, karena sudah terdapat mesin pembersih piring. Kita tinggal menaruh piring yang kotor ke dalam sebuah mesin tersebut, dalam hitungan 15 detik piring tersebut pun menjadi bersih mengkilat, tanpa noda, tanpa kerak, atau sisa makanan.

Ukuran mesinnya seukur mesin cuci mini, di mana terdapat dua pintu, di bagian sisi bawah, dan satu lagi di bagian atas. Bagian sisi bawah untuk menaruh piring kotornya. Dan pintu bagian atasnya untuk kita mengambil hasil dari cuci piringnya mesin itu.

Syauqiya mengambil peran sebagai orang yang menaruh piring kotor, dan mengambil piring bersih dari mesin tersebut. Sebagai tanda terima kasihnya kepada Raiqa yang telah memberikannya hidangan yang sangat lezat di malam hari ini.

Setelah piring-piring bersih ia dapatkan, ia pun menyusun piring tersebut di rak piring yang cantik.

Set

Syauqiya merasa ada sebuah benda yang baru saja melintas di jendela dapur yang terletak di samping kanannya. Namun, saat ia menoleh ia tidak melihat apa-apa di sana.

Ia pun berinisiatif untuk mendekati kaca tersebut untuk melihat ada apa di sana. Akan tetapi, tetap saja tidak ada apa-apa di sana. Ia pun memutuskan untuk berbalik badan.

"DAR!"

"Astagfirullah!" Syauqiya tersentak dan spontan langsung memegangi dada kirinya. "Ah Haliiimm! Gak lucu tahu!"

Halim yang mendapat omelan tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali, justru ia tertawa terbahak-bahak melihat sahabatnya berekspresi begitu kaget. Seakan-akan Halim itu adalah hantu.

"Sebel aku sama kamu!" Syauqiya berekspresi kecut, kemudian berlalu meninggalkan Halim dengan perasaan kesal.

"Eh, Qiyaa ...! Qiya, tunggu, Qiya!"

Halim pun mengejar Syauqiya sampai ia berhasil menyusul langkahnya.

"Maaf Qiya, aku minta maaf ya," ucap Halim sambil menunjukkan dua jari ke hadapan Syauqiya, "Aku ngaku dan sadar aku salah. Maaf banget ya udah bikin kamu kaget. Tolong, jangan marah lagi."

Syauqiya hanya diam melihat Halim. Ekspresinya datar. Tatapannya tajam.

"Ini aku punya cokelat almond, mau?" tawar Halim sembari mengeluarkan sebungkus cokelat almond dari saku bajunya.

Halim memang punya cara jitu untuk menaklukan hati seorang Syauqiya yang sedang marah. Dinding pertahanan Syauqiya yang selalu ingin marah lama kepada Halim selalu gagal bertahan, roboh. Sebab, Syauqiya sangat menyukai cokelat almond melebihi apa pun yang ada di dunia ini. Ia tidak bisa menolak makanan favoritnya itu.

"Yakin nih, gak mau?" goda Halim.

Syauqiya tersenyum. "Baiklah, sogokannya aku terima." Langsung ia sambar cokelat almond itu dari tangan Halim secepat mungkin. Lalu, ia membukanya dan langsung melahapnya, sebagaimana anak kecil yang tergila-gila dengan cokelat ataupun permen.

"Baiklah, Bu. Senang bekerja sama dengan Anda."

"Ooh saya apalagi. Sepertinya harus sering marah ya, biar dikasih banyak cokelat almond."

"Gak usah pake acara marah segala kali, nanti aku kasih kamu sekilo."

"Waah, makasih banyaak. Halim baik deh."

"Iya, kalau ada maunya sih muji, ya."

"Hehe."

"Hehe ... Hehe," Halim membeo. "Eh, btw, lo liat apa tadi di jendela? Kayak yang fokus banget gitu, sampai terkaget-kaget banget pas gue kagetin."

Syauqiya tak langsung menjawab, ia berjalan mendekati sofa, sekalian merehatkan tubuhnya yang mungkin saja lelah menghadapi realita.

"Pas gue naruh piring di rak, gue kayak liat ada benda yang lewat, terus warnanya ... emm hijau gitu."

"Hah? Hijau?"

"Itu hasil eksperimen kamu bukan, Lim?"

"Gue—"

"Syauqiya, kamu tadi nangis, iya?" Raiqa datang menyela perbincangan mereka berdua di ruang santai.

Syauqiya melirik ke arah Halim sebentar. Pasti Halim bercerita kejadian tadi di kampus kepada Raiqa, sampai Raiqa bertanya begini kepadanya. Padahal, Syauqiya sudah bilang kepada Halim agar tidak melaporkan sesuatu yang dapat membuat Raiqa khawatir. Karena bagaimana pun, Raiqa adalah walinya, yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri, dan ia tidak ingin membuat Raiqa bersedih.

"Kamu harusnya cerita sama Ibu, ada apa?"

"Emmm ...," Syauqiya menunduk sembari mengeratkan pegangan ke roknya. "Qiya rindu mamah papah."

Raiqa lekas merangkul Syauqiya. "Kalau kamu masih mau menangis, menangislah. Ibu ada di sini."

Mata Syauqiya lantas berkaca-kaca sembari memandang wajah Raiqa. Ia tersenyum. "Makasih banyak, Bu, karena selalu ada untuk aku."

***

Eroi Musulmani [Revisi Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang