20 - Pernyataan Mengejutkan

42 7 4
                                    

Jam kerjanya telah usai dilaksanakan. Kewajiban utama seorang hamba pun tidak luput dari kegiatannya. Ia tidak lupa menunaikan salat asar bersama dengan zikir-zikir yang selalu melengkapi.

Selesai dari masjid, Syauqiya melangkahkan kakinya untuk menghampiri motor terbangnya di parkiran. Cukup jauh jarak dari masjid ke daerah parkiran. Namun, tak sejauh jarak matahari dengan bumi yang berjarak 149,6 juta km, atau sejauh galaksi milky way dengan magellanic clouds yang berjarak 160.000 tahun cahaya, yang satu detik cahayanya berjarak 300.000 km. Tidak. Tidak sejauh itu. Hanya cukup meraup waktu dua menit, Syauqiya akan sampai di tempat yang akan ditujunya.

"Do you know me?"

Samar-samar suara itu terdengar di telinga Syauqiya. Ia tidak menghiraukan suara tersebut, karena menurutnya itu hanya percakapan orang-orang yang sedang berlalu-lalang di sekitar area restoran.

"Please, listen to me!"

Syauqiya melirik alorji di tangannya, ia melihat bahwa arlojinya telah menunjukkan pukul 15.30.

"Listen to me, Syauqiya Nur!"

Seketika kaki Syauqiya berhenti melangkah. Ia berdiri tegak dan mencerna kata-kata yang baru saja ia dengar. Itu berarti, suara yang sejak tadi didengarnya tertuju padanya. Perlahan ia menggunakan langkah balik kanan. Ia melirik ke sana kemari, mencari siapa pria yang memanggil-manggilnya sejak tadi.

"Eng ing eng!"

Mata Syauqiya terbelalak. Ia jelas-jelas tidak melupakan, bahkan tidak akan pernah melupakan wajah pria itu. Dadanya terasa berdebar. Batinnya berkecamuk, antara rasa terkejut, takut, sedih, dan amarah yang membara. Tangan kanannya terkepal kuat. Matanya berkaca-kaca saat menatap wajah pria yang senyumnya memiliki seringai.

"Axel Dirgantara Zen Putra!"

"Yaa. You know me." Axel terkekeh kecil. Menampakkan jiwa kepongakkannya yang membuat Syauqiya ingin menyakar mukanya.

"Ssstt ... gak usah nangis anak cengeng," ledeknya sambil menggerak-gerakkan telunjuknya kesamping.

"Diam kau pembunuh!" tegas Syauqiya sambil menunjuk wajah Axel.

Wajahnya merah padam, air matanya meluruh, amarah di dalam jiwanya mulai menguasai dirinya dan menepis rasa takut yang menetap sebelumnya.

"Aku? Pembunuh? No no no, masalah orang tuamu itu bukan aku yang membunuhnya."

"Tapi kau yang menyuruhnya!"

"Bukan aku yang menyuruhnya. Yang sebenarnya profesor-profesor bod*h seperti Prof. Indra dan kawan-kawannya itulah yang melakukan inisiatif buruk!"

"Bohong!"

"Benar. Justru, aku ingin mencari informasi tentang EM kepada orang tuamu itu, tapi profesor-profesor itu malah membunuhnya."

"Apa?!" lirih Syauqiya terkejut setelah mendengar Axel mengaitkan orang tuanya dengan Eroi Musulmani.

"Saya rasa, ini tidak ada hubungannya dengan EM." Seketika ia langsung ingat dengan penuturan Haziq waktu itu, ketika membahas mengenai Axel dan kedua orang tuanya.

Mengapa Prof. Haziq mengatakan hal tersebut kepadanya? Hal itu berbanding terbalik dengan peryataan Axel sekarang.

Apa mungkin, maksud Axel hendak mencaritahu tentang EM kepada orang tuanya itu karena mereka memiliki hubungan dengan EM? Atau justru, mereka adalah agen dari Eroi Musulmani?

Tunggu, siapa yang berbohong di sini, Axel atau Haziq?

"Sudahlah, saya akan pergi Syauqiya. Saya tidak akan menangkap kamu yang lemah dan cupu ini." Axel langsung melangkahkan kakinya meninggalkan Syauqiya.

Sementara, Syauqiya hanya bisa bergeming memikirkan apa yang baru saja menghampirinya.

...

Udara tidak lagi terasa bersahabat dengan dirinya. Oksigen yang biasa masuk ke saluran pernapasannya, tidak lagi senyaman sebelumnya. Ada sesak yang ia rasakan saat ini. Seakan-akan oksigen melambat memasuki paru-parunya. Memang, udara di bumi tidaklah senyaman udara di Prosper. Namun, ini berbeda. Ini telah menyangkut permasalahan hatinya yang tengah kebingungan.

Apa yang diucapkan Axel membuatnya terus berpikir dan menduga-duga. Membuat dirinya jadi merasa gelisah dan juga kegundahan. Ibarat racun setetes yang memasuki jernihnya air, dia pun sama, hanya sendiri, tetapi mampu menghancurkan ketenangannya. Mampu mengalihkan napas yang semula lega, menjadi gusar.

Manakah fakta yang benar? Ucapan Haziq yang jelas-jelas agen keamanan EM, atau pria bernama Axel yang sangat memusuhi EM dan telah merenggut nyawa kedua orang tuanya?

Mungkin, mudah untuk memilih Haziq yang berada di pihak EM, karena dirinya berada di antara agen EM. Akan tetapi, masalah ini tidaklah semudah yang dibayangkan. Semua ini rumit. Benar-benar rumit.

Ketika Haziq menyatakan, bahwa kematian orang tuanya tidak ada sangkut-pautnya dengan permasalah EM. Bahkan, Halim yang sahabatnya dari orok itu membenarkan. Axel justru datang dan mengatakan orang tuanya terlibat dalam permusuhan EM dan TZ. Siapa yang sebenarnya berbohong di sini? Teman atau musuh?

Lidah musuh bisa saja mengatakan kejujuran, dan lidah seorang teman bisa saja menutupi kebenaran.

Siapa yang harus aku percaya? Gumamnya risau.

"Woi!" Syauqiya terperenjat setelah suara nyaring Triani dan tepukan keras di pundaknya melayang. "Bengong aja lo, Rin!" ucap Triani sembari membawa dua cup ice cappuccino dan menaruhnya di meja. "Kenapa lo?"

"Ani, kayaknya gue gak bisa ngopi-ngopi dulu deh sekarang," balas Syauqiya, tak menjawab pertanyaan Triani.

"Lho kenapa? Ada problem? Ada yang bisa gue bantu?"

"Maaf, Ani. Gue butuh sendiri dulu sekarang ini, biasalah dateng bad mood gak jelas nih," alibi Syauqiya yang dilanjut dengan gumaman di dalam hatinya, gak jelas masalahnya, Ani. Gue bingung dan gak tau harus bagaimana dan mempercayai siapa.

"Ooh, okay. Kayaknya lo mau kedatengan tamu deh. Gue sebagai sahabat yang baik gak mau nuntut apa-apa, takut kena cakar," canda Triani diakhiri dengan kekehan renyah.

Syauqiya tersenyum tipis mendengarnya. "Hmm ... itu cappuccino gue serah deh mau lo kemanain, mau lo minum sendiri atau kasih ke siapa aja bebas ya. Gue mau pamit, Assalamu'alaikum."

"Siaplah!" balas Triani dengan semangat. "Wa'alaikumussalam, Rindu. Hati-hati di jalan, ya!"

Sesampainya di tempat parkir, Syauqiya lekas mengenakkan helmnya, lalu pergi meninggalkan area café

Ia butuh ruang dan waktu untuk menyendiri. Kesedihannya, amarahnya, rasa penasarannya, dan rasa takutnya butuh diredam dahulu. Sebab, kondisi emosional yang tidak stabil ini bisa saja membawa kehancuran untuk dirinya, dan orang di sekitarnya.

Berdiam diri untuk saat ini tentunya akan jauh lebih baik, daripada banyak bersuara. Ia tidak mau, jika ucapan sembarangan keluar dari mulutnya karena kondisi emosinya yang kurang stabil saat ini.

Mamah ... Papah apakah kalian terlibat dengan EM? Jika benar, mengapa semua orang-orang di EM menutupinya? Dan, jika salah, mengapa Axel mengatakan kalian terlibat? Mengapa dia seakan-akan tahu kalau aku ini bagian dari EM juga? Rasanya ... tidak mungkin ada asap, jika tidak ada api.

Namun ... aku juga tidak bisa berburuk sangka terus kepada Prof. Haziq yang telah berbaik hati kepadaku. Terlebih lagi, aku juga tidak bisa berburuk sangka kepada Halim, yang ada bersama Prof. Haziq hari itu. Halim telah bersahabat denganku sejak kecil.

Oh, Rabbi ... tunjukkan siapa yang jujur, dan siapa yang berbohong.

***

Eroi Musulmani [Revisi Version]Where stories live. Discover now