31- Saat Kecil

30 8 4
                                    

Pintu kamar terbuka. Si pembuka pintu masih memegang gagang pintu sembari menatap keadaan sahabatnya yang masih terbaring lemah. Ia merasa iba dengan nasib gadis itu, harus berulang kali mengalami perawatan seperti ini. Selang infus, oksigen, dan juga transfusi darah sudah tak asing lagi terpasang di tubuhnya. Ia selalu berharap, kali ini adalah yang terakhir. Ia tak sanggup jika harus memandang sahabatnya bertarung terus dengan rasa sakitnya.

"Jika bisa, aku ingin menggantikan posisimu, Qi. Jika bisa, biar aku saja yang merasakan rasa sakit hati dan juga fisik yang kau derita. Agar kau bisa gembira," harap Halim dengan matanya yang berkaca-kaca.

Tanpa Halim sadari, Raiqa mendengar dan mengamati tingkah putra semata wayangnya itu. Ia tersenyum tipis sambil merasakan haru yang membuat air matanya menetes. Sebagai seorang ibu, Raiqa senang mendapatkan putra yang bisa berempati, terlebih kepada kaum hawa. Dia persis sekali seperti almarhum ayahnya. Raiqa jadi merasa rindu pada mendiang suaminya.

"Nak," Raiqa memegang bahu Halim setelah menghapus air matanya, "kamu sabar, ya. Qiya akan segera sembuh kok."

"Iya, Mah. Aku harap begitu," balas Halim sembari mengangguk dan mengukir seulas senyum tipis. Aku juga berharap, Qiya bisa kuat setelah ingatan masa lalunya kembali.

"Insyaallah, yakin sama Allah, ya, Lim."

"Iya, pasti, Mah."

Di balik perbincangan mereka, ada mimpi yang tengah diarungi oleh dia yang tengah terbaring di atas ranjang. Jauh di alam bawah sadarnya, ada sebuah peristiwa indah yang tergambar.

Syauqiya tengah duduk di kursi taman. Ia menatap sekitar, ternyata tempat itu adalah bumi. Ia senang melihat keindahan bumi yang seperti ini, jarang sekali ia melihatnya. Apakah semua ini baru dibuat?

"Taman Kenangan." Syauqiya membaca tulisan di gapura masuk taman.

Ia tersenyum. Sungguh, bijak penggunaan kata kenangan untuk nama taman ini. Keindahan di taman ini memang benar-benar akan menjadi kenangan tersendiri baginya. Mungkin, kesempatan melihat taman ini hanya sekali seumur hidupnya. Setidaknya, ia telah beruntung menikmati suasananya saat ini.

"Uqi!"

Panggilan tersebut lantas membuat Syauqiya menoleh. "Ya?"

Namun, pandangan laki-laki kecil itu tidak tertuju ke arahnya. Anak laki-laki itu memandang ke arah gerbang.

"Hai, Kakak Dirga!"

"Dirga?" lirih Syauqiya.

Kedua anak kecil itu langsung berlari dan mendekat ke arah satu sama lain. Pancaran senyum kebahagiaan di wajah mereka begitu indah. Seakan-akan mereka tidak mempunyai beban yang harus ditanggung, sehingga bisa merasa damai dan gembira seperti itu.

"Kak Dirga gimana sekarang? Kakak gak akan nangis lagi, kan?" goda anak kecil itu.

Syauqiya merasa tidak asing dengan wajah kedua anak itu. Ia mengamati dengan seksama, bahkan ia sampai berjalan mendekat untuk bisa memastikan dan juga menanyai mereka.

"Kalian, kan ...?" Syauqiya tidak menyelesaikan ucapannya saat ia dapat melihat jelas paras kedua anak kecil itu. Ia paham sekarang, mereka itu adalah Axel dan Syauqiya kecil yang sedang berbincang akrab.

"Kenapa, Kak?" tanya gadis itu polos.

"Bagaimana kalian bisa saling mengenal?" tanya Syauqiya.

Gadis kecil itu menarik tangan Syauqiya dan membawanya ke luar taman. Dirga pun mengikuti di belakang mereka. Syauqiya kira, ia akan diusir oleh sosok dirinya di masa lalu. Namun, rupanya Uqi itu membawanya ke pinggir jalan, dan menunjuk sebuah papan iklan besar yang berada di dinding gedung pencakar langit.

"Lihat ke sana," suruh Uqi.

Syauqiya mengerutkan dahinya. "Kenapa?"

"Lihat saja," balas Dirga.

Syauqiya menatap papan iklan yang semula menampilkan iklan sebuah produk makanan. Tak berselang lama, tayangan di papan itu berubah. Berubah menjadi sebuah tayangan di mana ada Dirga yang tengah menangis sendirian di bangku Taman Kenangan.

Kemudian, anak kecil yang diketahui adalah dirinya di masa kecil, alias Uqi itu datang menghampiri Dirga dan duduk begitu saja di sebelahnya. "Udah gede, cengeng."

Dirga menunjukkan rasa tidak sukanya dengan memalingkan muka.

"Gak malu apa sama anak kecil kayak aku ini?"

"Diam kamu anak kecil! Kamu gak pernah ngerasain apa yang aku rasain."

Uqi dengan tampang santainya menghela napas dan mengidikkan bahu. "Kakak juga gak pernah ngerasain apa yang aku rasain."

Dirga bersidekap. "Diam, jangan banyak bicara! Kamu tuh gak tahu, ya, sulitnya jadi aku. Dari kecil aku udah dituntut buat belajar banyak pelajaran, sampai aku muak ngeliatnya. Aku kesulitan buat paham pelajarannya. Aku merasa tertekan sama semua itu."

"Ooh gitu."

Syauqiya membulatkan matanya saat melihat reaksi Uqi begitu santai dan terlihat menyepelekan keluhan Dirga.

"Ih males sama anak kecil." Dirga hendak pergi dari sana. Bahkan, ia telah bangkit dari kursi.

Namun, Uqi lekas mencegahnya dengan memberikan sebuah pertanyaan, "36 pangkat tiga dibagi 6 ditambah 5.693 berapa?"

"I don't know," balas Dirga dingin.

"Yah masa gak tahu? Jawabannya tuh begini, 36 pangkat tiga itu hasilnya 46.656. Kemudian, dibagi 6, jadi 7.776, dan ditambah 5.693, jadi isinya tuh 13.469."

Dirga spontan membalikkan tubuhnya. Memperlihatkan mulutnya yang ternganga kaget. "J-j-jenius sekali."

"Kalau mau aku ajar, aku siap mengajarkannya," ucap Uqi dengan tampang manisnya.

"Iih manis." Dirga semakin kagum ketika melihat ekspresi Uqi seperti itu. "Bolehkah aku belajar sama Adik Manje?"

"Manje? Aku gak manja lho ya."

"Maksudku, kamu itu manis dan jenius."

Setelah mendengar kalimat itu, kepala Syauqiya diserang lagi oleh rasa sakit yang teramat. Kenangan yang samar-samar terus membayangi pikirannya.

"T-t-tolong."

Kondisi kepalanya yang sakit bukan hanya terjadi dalam alam mimpi, tetapi terbawa ke realita. Sehingga, hal itu membuat Halim dan Raiqa segera mendekat ke arah Syauqiya. Raiqa lekas mengusap kepala Syauqiya dan menenangkannya.

"Aku telepon dokter Linda." Halim lekas menghubungi dokter tersebut.

***

Eroi Musulmani [Revisi Version]Where stories live. Discover now