26 - Mata-Mata

30 7 0
                                    

Halim sudah berusaha menepis rasa irinya kepada seorang dokter bernama Atha itu. Jadi, kali ini ia dapat mendatangi rumah Syauqiya dengan perasaan yang tak lagi kalut. Ditambah, ia datang sembari membawa rantang hasil dari jerih payahnya. Halim memang baik hati, sudah sakit hati, tetapi masih dengan hebatnya memberi.

Halim masuk ke dalam rumah Syauqiya setelah empunya mengizinkan tamu tersebut masuk. "Ini buat makan malam nanti." Ia menyerahkan rantang berisi makanan padang, yaitu rendang yang sangat disukai Syauqiya.

"Wah, makasih banyak, Lim. Aku simpen dulu di lemari makanan. Pasti sekarang mau ngajak ke Prosper, kan?" tebak Syauqiya sambil berjalan menuju lemari makanan yang mudah ia jangkau.

"Betul. Cewek-cewek pada rindu sama Rindunya."

"Aku ini emang ngangenin, ya?"

"Pede deh, ayo cepat pakai Hearthnya."

Dengan senang hati Syauqiya mengangguk. Kemudian, dia pun membatin, aku akan mencari bukti lagi atas apa yang dituduhkan Eliza kepadaku. Mumpung kelas B sedang libur juga.

Waktu itu—setelah menetapkan hukuman untuk Eliza—para agen—kecuali agen laki-laki—datang ke rumah sakit untuk menjenguk salah satu agennya yang sedang terbaring lemah, Syauqiya. Mereka membawa bingkisan dan juga untaian doa agar Allah segera menyembukan penyakitnya. Mereka rindu, dengan karakter dan kecerdasan Syauqiya yang jarang ditemui.

"Syafakillah, Uqi ... cepet sembuh. Aku beneran kangen sama kamu," ungkap Anum sambil memeluk Syauqiya dengan erat sekali, bahkan, hampir saja Syauqiya kehabisan napas karena tingkahnya.

Setelah sapaan dan doa-doa mereka. Mereka pun mulai berbincang. Lalu, tetua seperti Sulthan, agen keamanan, serta mentor pun pergi lebih dulu, karena ada urusan yang harus mereka selesaikan. Sehingga, yang tersisa di sana, hanyalah agen perempuan sebayanya saja.

Kemudian, tiba di mana Syauqiya mendapat kesempatan untuk bertanya, "Apa yang dimaksud oleh Eliza? Aku memangnya pernah membunuh siapa?"

"Ahaha ... kamu kok dengerin omongan dia sih?" Anisa tertawa. Seakan-akan itu semua seperti lelucon baginya.

"Iya, Qi. Kamu kan tahu dia itu gak pernah suka sama kamu. Merasa tersisihkan karena kehadiranmu. Jadi, si Eliza ngarang tuh, biar kamu sakit hati dan pergi dari EM," tambah Anum

"Nah, bener kata Anum," sambung Fairuz. "Setuju kan, Sya?" Fairuz melirik ke arah Syafiqah yang berdiri di samping kirinya.

Dari sana, Syauqiya menemukan suatu kejanggalan yang membuatnya masih merasakan penasaran sampai saat ini. Itu adalah alasan, mengapa perasaannya masih belum tenang, karena ia masih memikirkan hal tersebut setiap hari.

Syafiqah mengedipkan mata sebanyak dua kali, sebelum menjawab pertanyaan Fairuz. Jika matanya berkedip sebelum berucap, itu pertanda yang seringkali Syauqiya lihat ketika Syafiqah mengucapkan lelucon atau suatu kebohongan.

Opini itu bukan tanpa dasar, Syauqiya memiliki alasan yang kuat mengenai hal itu. Sebelumnya, mereka sering bersama-sama. Termasuk dalam hal candaan. Syafiqah memang terkesan dewasa, tetapi jika sudah bercanda dia jagonya membuat tawa. Bahkan, jika sedang tidak ada pekerjaan, Syafiqahlah yang lebih jahil.

Saat itu, adalah hari di mana para agen mendapatkan hari santai. Di hari itu, Syauqiya membawa lima belas biskuit, dan ia simpan itu di meja taman Prosper. Lalu, ia lekas pergi ke tempat cuci tangan, agar tangannya higienis.

Namun, saat kembali ke meja, biskuitnya tinggal tiga belas buah. "Sya yang makan?" tanya Syauqiya karena hanya ada Syafiqah yang tengah menyiram tanaman di sana.

Syafiqah mengedipkan matanya dua kali. "Hmm ... nggak."

"Sya jangan pura-pura deh, kalau kamu gak jujur, mau gitu makanan yang udah masuk ke perut kamu itu jadi haram?" ancam Syauqiya yang telah mengenal betul watak seorang Syafiqah ketika sedang berbohong dan berlaku jahil.

"Iya iya deh, minta ya."

"Duuh ... Sya tuh ada ada aja kalau lagi gabut. Ambil aja lagi kalau masih mau."

Syauqiya membuka matanya setelah melintasi dimensi ruang. Ia menatap markas tempatnya tiba. Kali ini, aku akan mencaritahu. Kebenaran apa yang kalian sembunyikan.

...

Seorang gadis berjubah berada di lingkungan daerah rumah Halim dan Syauqiya. Wajahnya tertutupi topeng, yang tidak akan membuat orang lain dengan mudah mengenal identitasnya. Ia berjalan perlahan mendekati rumah Syauqiya. Ia menatap rumah itu dengan sorot mata tajamnya. Kemudian, ia pun maju, ke kediaman Halim.

Sebelum masuk ke dalam rumah, ia menekan jamnya, sehingga dirinya dapat menghilang dari pandangan mata telanjang ataupun memakai kacamata sekali pun. Di saat ia akan melangkahkan kakinya ke dalam rumah Halim, ia mendengar suara ribut-ribut di belakangnya. Tepatnya, kediaman Syauqiya.

Di posisinya yang tidak bisa dilihat, ia pun menatap mereka dengan tatapan bingung. "Hm?"

Pengawal yang berbaris berhadapan itu membungkukkan badannya saat pintu mobil terbuka. Sepertinya, itu adalah pimpinan dari komplotan itu. Akan tetapi, ada urusan apa mereka mendatangi rumah Syauqiya? Mereka itu kawan atau lawan?

Karena penasaran, gadis itu berjalan lebih dekat ke arah mereka. Dengan keuntungan yang ia punya, ia bisa memata-matai maksud dan tujuan mereka datang ke tempat ini.

"Syauqiya Nur ... kamu itu memang polos dan stup*d. Ckckck," ucap pria itu—kisaran umur 24 tahun—yang berpakaian formal sambil melepaskan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. "Dia tidak secerdas katanya."

"Axel Digantara Zen Putra!" ucap gadis itu lantang sambil terbelalak.

Spontan, komplotan tersebut melirik ke sekitar, mencari sumber suara yang telah menyebutkan nama dari pimpinan mereka.

"Siapa itu? Jangan bersembunyi!" gertak salah satu pengawalnya.

Axel tersenyum miring. "Ada yang sedang bermain-main denganku rupanya."

Gadis itu tidak mau menjadi santapan ganas dari emosi-emosi mereka. Sehingga, ia pun memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut. Ia terbang dengan sepatu terbangnya.

"Apa kita masuk saja?"

"Sepertinya, diulur saja. Itu akan lebih seru," balas Axel dengan raut wajah liciknya.

***

Eroi Musulmani [Revisi Version]Where stories live. Discover now