35 - Danger!

34 8 6
                                    

"Lim, waktu itu gue liat Axel mau ke rumah Uqi, dan dia bawa anak buah."

Halim mengerutkan dahinya. "Mau apa dia?"

"Entah, setelah gue gak sengaja bersuara dalam mode hilang, dia tidak melanjutkan rencananya."

Halim termenung memikirkan perbincangannya dengan Eliza sebelum Atha membuka kedok di hadapannya dan juga Syauqiya. Ia juga mengingat kembali percakapannya dengan Syauqiya tiga hari lalu. Pertengkaran itu membuatnya merasa resah. Ia heran, mengapa Syauqiya bisa semudah itu menerima Axel? Mengapa dia tidak bisa menerima opininya?

Halim berpendapat seperti itu dengan alasan yang logis. Axel itu bisa saja berkhianat setelah ia menyatakan dirinya adalah Dirga. Bisa saja, dia telah melupakan semua kenangannya bersama Syauqiya. Pun melupakan kebaikannya. Manusia-manusia serakah di garis keturunan Tecno Zen itu tidak sepatutnya dipercaya begitu mudah.

"Qi ... entah harus bagaimana lagi aku menjelaskannya. Kepercayaan itu ibarat kaca. Axel telah menghancurkan kaca itu. Seharusnya, kamu paham kalau kaca yang pecah itu sulit untuk memantulkan cahaya dengan baik seperti semula. Apakah kepercayaanmu pada Axel tidak pernah hancur?"

"Mungkin saja tidak," sambar Akmal yang baru saja mengambil air dari dispenser kost-annya, setelah mendengar cerita dari Halim.

"Eh kok lo ...?"

"Syauqiya menganggap semuanya alami. Axel begitu karena ketidak tahuannya dan penekanan dari pihak keluarga juga," tambah Akmal.

"Lo belain dia?" tanya Halim diiringi raut wajah yang semakin kesal.

"Saya cuma memahami sudut pandang Uqi. Kamu juga harusnya begitu, Lim."

Akmal memang terpandang berkarakter dingin dan suka berbicara irit. Namun, jika sisi kepeduliannya sudah muncul seperti ini, ungkapan-ungkapan yang muncul dari mulutnya patut dipertimbangkan si pendengarnya.

"Maksud lo?"

"Kita tahu, Axel tidak bisa dipercaya begitu saja. Tapi, apa salahnya kamu dukung keputusan Syauqiya dan menyembunyikan ketidak sukaanmu? Toh, kalau mereka bertemu kamu akan mengawasinya."

Halim terdiam, mencerna nasihat yang dituturkan Akmal. Tidak mudah baginya melakukan apa yang disarankan Akmal. Sepertinya, ia harus mempertimbangkan semua ini dengan matang.

...

Setiap pasang kaki melangkah meninggalkan bangunan peribadatan yang tersedia di tanah tanpa teknologi. Walaupun letak tempat ini jauh dari ingar-bingar kota, untuk fasilitas dan kebersihan lingkungan patut diacungi jempol. Masyarakat di sini benar-benar menyayangi lingkungan.

Selain itu, walaupun mereka semua adalah orang-orang analog dan hidup serba dari alam, tetapi mereka mampu bersikap ramah kepada orang-orang kota yang ingin tinggal sementara di sana. Asalkan, orang perkotaan tidak mengatakan hal-hal yang berkaitan dengan teknologi canggih mereka. Pun tidak menunjukkan alatnya di hadapan mereka.

Walaupun peraturan terasa seperti mengekang, semuanya terbayar oleh keindahan alam di tempat ini. Daun-daun hijau memberikan oksigen yang sangat segar. Mata air di sini sangat jernih. Apalagi, di sini ada air terjun yang benar-benar memanjakan mata dan raga.

"Hari menjelang malam, jadi kalian harus cari kayu untuk membuat api unggun."

Setelah mendapat intruksi tersebut, mahasiswa dan mahasiswi berhamburan mencari kayu bakar di sekitar hutan. Mereka berjalan dengan teman karib masing-masing. Dan Syauqiya, ia berjalan berdua bersama Kaila.

Eroi Musulmani [Revisi Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang