23 - Hanya Salah Menduga

34 8 5
                                    

"Berhenti, Eliza!" cegah Halim.

Pria yang baru saja menyelesaikan satu mata kuliahnya itu lekas pergi dari kampus dan mengunjungi daerah tempat Eliza berada. Sebagai seorang sahabat Syauqiya dan juga agen dari Eroi Musulmani, Halim tidak bisa bungkam saja mengetahui hal ini. Tidak dapat disangkal, dan yang lainnya pun tidak dapat menyangkal, bahwa kejadian yang menimpa Syauqiya itu adalah ulah dari Eliza. Apalagi, setelah kamera cctv mengungkap apa yang sebenarnya terjadi.

Halim dan Eliza sempat kejar-kejaran, karena Eliza terus saja menghindar dari sosok Halim yang tak 'kan gentar menuntut keadilan.

Namun, kali ini, Halim dapat memastikan Eliza tidak akan berlari lagi. Ia telah mengepung Eliza dengan drone-drone miliknya di sebuah taman kota yang telah sepi dan usang. Ditambah lagi, saat ini Halim berada tepat di hadapan Eliza.

"Kamu tidak bisa berlari lagi, El. Ke mana saja kamu?! Sengaja tidak memerdulikan Green Hearth hanya untuk lari dari masalah?" Sindiran Halim adalah hal yang paling tajam. Pembawaannya selalu membawa lawan yang disindir merasakan tancapan yang tepat di dalam hati.

"Lim ... tolong jangan ganggu aku."

"Terus, apa hakmu mengganggu Syauqiya? Bukannya kamu sudah berjanji tidak akan mengatakan hal yang menyakitkan kepadanya?"

"Kamu pikir aku senang? Kamu pikir aku tidak menyesal?!" Nada bicara Eliza jadi naik satu oktaf. "Terus ... kamu gak mikir apa, kalau aku ini sesak gara-gara harus mengingat kematian Yumna terus, hah?!"

Berderaian air mata Eliza membasahi pipinya. "Yumna itu sahabat terbaik aku, Lim. Aku terpuruk karena kepergiannya yang disebabkan oleh Syauqiya Nur! Si pengkhianat!"

Halim menahan amarahnya, ia mengepal kuat tangannya di samping badan. Menatap Eliza yang telah berani menghina sahabatnya dengan tatapan matanya yang kesal. "Jaga mulutmu, Eliza! Syauqiya bukanlah pengkhianat! Dan, sampai kapan pun aku tidak percaya kalau Syauqiya adalah seorang pembunuh."

"Kamu mendukung dia, karena dia sahabatmu dan anak Prof. Khalil, Halim. Kalau kamu ada di posisiku, kamu tidak akan mungkin mendukung dia."

"Kalau aku jadi kamu? Hm, aku gak akan langsung nuduh orang lain tanpa bukti, Eliza. Lagian, aku membela dia bukan karena hubungan ataupun hal lainnya. Karena aku bukan seorang penjilat!" tegas Halim sambil menunjuk wajah Eliza. "Kalau saja ada mesin perpindahan dimensi waktu ke masa lalu, aku yakin kok, bukan Syauqiya yang melakukannya. Karena aku pun menemukan keanehan di luka yang ada pada jasad Yumna."

"Keanehan apa yang kamu maksud, Halim? Jangan membual untuk menyelamatkan Syauqiya."

"Aku bisa jelaskan jika kamu mau."

Eliza yang mukanya perlu disetrika itu mulai merasakan rasa penasaran atas apa yang Halim utarakan. Ia menurunkan sedikit ego yang dimilikinya. "Baiklah, tunjukkan."

...

Ting

Pekerjaan manusia di zaman modern penuh kecanggihan ini, cukup banyak yang tergantikan oleh robot. Termasuk dengan tugas mengantarkan makanan ke kamar pasien, sudah tidak dilakukan lagi oleh manusia.

Di setiap ruang inap pasien, sudah dilengkapi dengan media yang dapat mengantarkan makanan langsung ke kamar pasien. Ketika makanan itu ada, sebuah benda berukuran kotak yang tertempel di dinding pun berbunyi. Sehingga, orang yang ada di kamar inap bisa langsung membuka pintu kotak tersebut dan mengambil makanannya.

"Saatnya makan malam, Syauqiya," ucap Atha yang baru saja memberikannya obat.

Syauqiya merasa, ia seperti pasien spesialnya Atha di rumah sakit ini. Bagaimana tidak? Seharusnya, obat bisa diantar oleh suster ataupun robot, tapi Atha memilih untuk mengantarkannya sendiri, hanya untuk Syauqiya.

Atha membuka tutup makanan itu, kemudian ia menyendok bubur hangat di wadah makanan tersebut.

"Eh, dokter—"

Atha cepat-cepat memotong ucapan Syauqiya, "Eits, kamu tidak boleh menolaknya. Saya sudah bilang, saya akan merawat kamu sampai kamu pulih."

"Tapi—"

"Please ...."

Melihat itu, Syauqiya kesulitan untuk menolak Atha. Selain karena umurnya yang jauh lebih tua, laki-laki itu juga dosennya, dan dokternya juga, ia tidak enak berkali-kali lipat untuk mengutarakan penolakannya. Ia merasa segan.

"Aaaa ... buka mulutnya," ucap Atha.

Syauqiya pun mau tak mau, menuruti. Dengan sedikit ragu, ia pun membuka mulutnya.

"Pinter."

Perlakuan Atha padanya, seperti ke anak kecil saja, pikir Syauqiya.

Sambil menyuapi, Atha juga menuangkan obrolan, "Kamu itu, mengingatkan saya pada adik saya. Jika dia masih ada, dia juga akan seusia kamu."

Jadi ... Pak Atha melakukan semua itu untukku karena aku ini mirip dengan adiknya? Hhh ... sungguh kasian Pak Atha, iba Syauqiya dalam hatinya.

"Saya minta maaf ya, Pak. Kalau kehadiran saya membuat bapak bersedih," ucap Syauqiya setelah menelan makanannya.

"Eh, jangan merasa bersalah. Saya justru senang bisa melihat kamu, dan sekarang ... menyuapi kamu. Rasanya, saya memiliki kesempatan kembali untuk menyuapi adik saya yang sedang sakit sekarang ini."

Syauqiya tersenyum mendengar penjelasan Atha. Mungkin selama ini dugaan Halim, Triani, bahkan ia sendiri salah kalau Atha menaruh rasa padanya. Atha hanya merasa seperti sedang bersama adiknya jika bersama dengan Syauqiya atau memberikan sesuatu kepadanya. Pasti hubungan mereka dulu begitu hangat, sampai-sampai aku bisa merasakan, perasaan sayang yang begitu dalam dari Pak Atha untuk almarhumah adiknya.

"Justru, saya yang minta maaf, kalau tindakan saya mengganggu kamu dan membuat kamu tidak nyaman."

"ehh—tidak apa-apa, Pak. Saya mengerti rasanya kehilangan orang yang kita sayangi."

Atha pun tersenyum.

***

Eroi Musulmani [Revisi Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang