9 - Kenyataan yang Berbeda

44 14 0
                                    

Syauqiya berada di alat perpindahan dimensi yang benar-benar canggih, unik, dan mewah. Belum pernah matanya memandang pemandangan yang lebih elok daripada ini. Bahkan, manusia di bumi pun belum ada yang mampu membuat mesin secanggih dan seelok ini. Rangkaian alat-alat yang berada di bagian timur lantai satu elegannya luar biasa. Selain layar hologram, ada juga tombol-tombol dan tuas yang begitu mengkilat, seperti barang baru.

Manusia-manusia yang ada di planet ini merupakan permata berharga semesta. Mengagumkan kalau mereka melakukan kegiatannya di bumi, pasti hidup manusia bumi akan sejahtera. Namun, ya mereka sepertinya mereka tidak telalu peduli pada bumi. Buktinya, mereka lebih memilih tinggal di planet Prosper dan membangun kehidupan sejahtera sendiri.

Ia mengembuskan napas panjang seraya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi empuk, cukup membuatnya sedikit resah juga memikirkan sesuatu yang belum ia raih kejelasannya. Salah dirinya juga sih, hobi sekali menertawakan sesuatu yang terdengar mustahil di telinganya, jadinya pertanyaan di lubuk hatinya belum terjawab, sehingga ia jadi keheranan dari tadi.

"Hallo Uqi, senang ketemu lagi," sapa seorang perempuan berpakaian biru.

"Uqi?" Syauqiya merasa aneh, dirinya yang biasa dipanggil 'Qiya' mendapat panggilan berupa 'Uqi'. Baginya, itu seperti nama laki-laki saja.

"Ibu Riqqah ... sebelum kamu sadar telah mengabarkan pada kami, agar memanggilmu dengan panggilan Uqi," timpal gadis berpakaian hijau. "Kenalkan aku Fairuz."

Riqqah ternyata telah seenaknya menentukan nama panggilan untuknya. Mana tanpa meminta izin pemilik namanya. Kalau umurnya tidak lebih tua darinya, sudah pasti ia akan protes. Ya, karena Riqqah adalah orang tua, jelas kalau Syauqiya mau tidak mau harus menerimanya dengan lapang dada.

"Hai, Fairuz," balasnya sambil melambaikan tangan.

"Kalau aku, Anum." Gadis berpakaian biru yang pertama kali menyapanya dengan sebutan Uqi tadi, ikut bersuara.

"Ooh hai Anum, kita tim, ya?"

"Betul, kita ini satu server." Anum begitu hangat, Syauqiya jadi nyaman mempunyai rekan sepertinya. Fairuz juga tak kalah hangat.

"Oh, ya, kalau yang pakai baju abu tadi ke mana?" Syauqiya tak lupa dengan ketiga gadis yang menghampirinya bersama mentor Hadi Adli tadi.

"Dia di markas, soalnya lagi dateng bulan. Uniknya, barengan sama rekan perempuannya," balas Fairuz.

"Ooh begitu."

Manik mata Syauqiya tertarik melirik seorang perempuan yang duduk di samping Fairuz. Ia berpakaian hijau, tetapi mukanya tampak tertekuk dan perlu disetrika. Aneh, di saat yang lain ramah padanya, perempuan itu malah berekspresi kecut. Seakan-akan, dia malas berada dalam situasi ini.

"Hai, kamu namanya siapa, ya?" Syauqiya memulai percakapan. Ia ingin bisa lebih akrab dengan teman-temannya yang satu agen di Eroi Musulmani. Suatu hasil yang bagus kan berasal dari kerja sama yang baik.

Alih-alih membalas sebuah senyuman, perempuan itu malah menatap sinis. Lalu, wajahnya berpaling diikuti bola matanya yang berputar malas.

"Eh?"

Tidak ada kesalahan sama sekali dalam sapaannya tadi. Mengapa Syauqiya harus mendapatkan tatapan sinis dari gadis itu? Hmm ... ia harus berpikiran positif dulu. Mungkin saja dia sedang ada masalah hidup yang membeban di hati dan pikirannya, sehingga mengganggu emosional kesehariannya. Mungkin saja sedang ada masalah cicilan, utang-piutang, atau masalah percintaan. Anak muda kan biasa galau-galau begitu.

Berprasangka baik itu menyenangkan. Hati tidak perlu risau dan mendengki atas perilaku tidak mengenakkan yang diberikan orang lain. Ini yang selalu diterapkan Syauqiya sejak kecil. Berprasangka baik. Ini bermanfaat untuk menghindari kesalahpahaman dan konflik yang tidak seharusnya ada.

"Maafkan Eliza, ya, Qi. Dia sedang ada problem," bisik Anum.

Syauqiya membalasnya dengan anggukan.

Benar dugaannya. Ajaran yang ia emban dari orang tuanya ini patut diacungi jempol. Kalau tidak melaksanakan ini, pasti ia akan menjadi orang yang suka membesarkan masalah sepele. It's not good.

...

"Wah, ini benar-benar sulit dipercaya, Bu," komentar Syauqiya setelah mendengar sejarah asal-muasal sampainya masyarakat di planet Prosper ini.

"Memang benar, mesin perpindahan dimensi pertama kali dibuat oleh Profesor Zain, pada tahun 2025. Dan, mesin itu membawa penduduk ke planet ini. Sebuah planet yang terdiri dari satu pulau besar dan 2 pulau kecil serta lautan yang masih jernih. Kekayaan alamnya, tak kalah dengan Bumi. Oh ya, generasi termuda di sini adalah generasi ketiga di planet Prosper lho."

"Waw, baru sampai ke generasi cucunya almarhum beliau, ya, Bu Riqqah?"

"Betul, Qi."

Syauqiya sama sekali tidak menyangka, planet ini ditemukan jauh berpuluh-puluh tahun yang lalu. Ia kira, planet ini baru ditemukan sekitar dua puluh atau sepuluh tahun lalu, karena teknologi di tahun-tahun tersebut sudah lebih canggih dari sebelumnya.

Jauh dari dugaannya sekali. Dunia tempat tinggalnya itu ternyata telah menutupi kejeniusan Profesor Zain berpuluh-puluh tahun lamanya. Kejam. Mengasingkan orang sehebat itu hanya untuk menutupi kesalahan orang-orang yang hendak merebut hak cipta. Sungguh, tak punya hati!

"Maaf, kalau boleh tahu, nama seorang profesor yang mau mengambil alih hak cipta itu siapa?"

"Axello Zen. Akrabnya disapa Zen. Dia memiliki nama Islam, yaitu Ibrahim."

Sontak mata Syauqiya terbelalak. Ingatannya masih sehat dan sangat kuat. Terlebih, kisah mengenai profesor bernama Ibrahim itu selalu dielu-elukan oleh media. Dia dianggap profesor terhebat. Selain kisah hebatnya, kisah mengenai pengkhianatan salah satu anggota timnya pun tersohor di khalayak luas. Sosok Ibrahim selalu menjadi buah bibir yang dipuja-puja.

"Inilah foto Profesor Ibrahim. Dia profesor hebat. Kala itu, dia hampir menyelesaikan mesin perpindahan dimensi."

"Wow." Anak-anak satu kelasnya langsung berujar takjub. Alat perpindahan dimensi itu bukan hal sepele, itu sangat-sangat luar biasa di mata mereka. Pasalnya, dengan alat itu, mereka bisa pergi ke ruang dan waktu yang berbeda.

"Sayangnya, dia dikhianati oleh salah satu anggota timnya. Mesin itu jadi gagal," lanjut gurunya. "Parahnya, yang mengkhianatinya adalah seorang muslim juga. Memalukan saja!"

Begitu kejamnya buana fana ini, kasihan sekali Profesor Zain harus mendapat kebencian dari penduduk Bumi, hanya karena fitnah yang direkayasa oleh manusia tidak bernurani itu. Axello Zen!

"Kita harus ubah sejarah palsu itu, Bu," usul Syauqiya.

"Tidak, Syauqiya."

"Kenapa?"

"Dengan fakta apa kamu mau merubahnya? Kalau sekadar ucapan, kamu akan dituduh pembual. Ah, itu bukan apa-apa, yang bahaya ketika ada orang yang mencurigai kamu."

Dahi Syauqiya mengerut. "Maksudnya, Bu?"

"Keturunan Axello Zen dan rekannya yang masih berambisi mencari kami akan mencurigaimu, jika kamu mengatakan itu tanpa bukti. Berbahaya kalau mereka sampai menangkap dan mengulik tentang planet Prosper kepada kamu."

Syauqiya manggut-manggut paham. Alasan yang logis untuk bungkamnya mereka selama puluhan tahun ini, dan tidak mengubah sejarah itu. Hm, biarkanlah dunia mau mencerca apa pun mengenai Profesor Zain, karena Allah tidak pernah tidur. Dia Maha Melihat.

"Baiklah, Bu Riqqah."

***

Eroi Musulmani [Revisi Version]Where stories live. Discover now