33 - Kegaduhan

21 8 0
                                    

Kini, tinggal Axel sendiri yang berada di sisi Syauqiya. Siapa sangka? Ketika tidak ada mata yang menatapnya, ketika tidak ada raga yang membersamai keberadaannya, ia meneteskan air mata yang begitu deras. Bahkan, tubuhnya berangsur turun, menduduki lantai. Tepatnya, di samping ranjang Syauqiya.

"Uqi, maafkan aku ... hiks."

"Aku ... aku telah bersalah kepadamu. Aku tidak menepati janji. Aku bodoh sekali."

Ada dahi yang mengernyit saat mendengarkan isak tangis seorang pria. Perlahan, mata yang terpejam itu terbuka. Menatap ruangan di sekitarnya, lalu menoleh ke asal suara yang sedang meneteskan air mata dan mencaci-maki dirinya sendiri.

"Aku buruk sekali ... hiks."

"Apa yang kamu katakan? Hentikan, Kak Dirga."

Ucapan itu seakan menumbuhkan harapan yang telah usang di hati seorang Axel. Ia menatap ke arah wanita yang baru saja menghentikannya dengan suara lemahnya.

"Uqi ...."

"Jangan menyalahkan diri sendiri. Sejak kecil, hidupmu sudah penuh tekanan, bukan? Uhuk! Tolong tersenyumlah, kamu sudah bertemu dengan Adik Manjemu ini."

"Ingatanmu kembali, Qi?" tanya Axel sambil menampakkan seulas senyuman. Berharap, bahwa Uqinya telah kembali.

"Baru sebagian ingatanku yang kembali. Dan, aku ingat sejak pertama kali kita bertemu, Axel Dirgantara Zen Putra. Juga, saat-saat kita bermain, aku ingat beberapa kejadian saja."

"Uqi ...." Air mata Axel malah semakin deras.

"Dari dulu sampai sekarang, Kak Dirga tetap saja cengeng," ledek Syauqiya diakhiri senyum yang sedikit melebar.

"Kamu ini lagi sakit, masih bisa ngeledek."

"Hehe."

Raiqa sampai di depan pintu. Ia tersenyum gembira melihat Syauqiya sudah terbangun dari pingsannya. Ditambah lagi, ia senang bisa melihat Syauqiya ramah kepada Axel yang sebelumnya pernah menjadi musuhnya. Entah mengapa, rasanya menyejukkan bisa memandang keakraban sahabat yang sudah lama tak bertemu, kemudian menjadi musuh karena ketidaktahuan mereka, lalu akrab kembali setelah mereka saling ingat satu sama lain.

Trit.

Ditengah kebahagiaannya memandang dua sahabat itu, Raiqa mengalihkan matanya ke jam gawainya. Ia membuka notifikasinya. Ternyata .... "Astagfirullah."

"Axel," panggil Raiqa dengan mimik serius.

Axel menghapus air matanya terlebih dahulu sebelum menengok ke arah Raiqa. "Ada apa, Bu?"

"Ke sini sebentar."

Axel pun menghampiri Raiqa setelah mengucapkan izin kepada Syauqiya.

"Halim, Riqqah, dan Haziq ada di depan," ucap Raiqa dengan nada suara berbisik. Ia tidak mau membebani pikiran Syauqiya jika harus mendengar akan ada keributan di antara kedua sahabatnya.

"Untung mobilnya sudah saya pakai mode transparan." Axel bisa saja berhadapan dengan mereka dan mengutarakan niat baiknya. Namun, di keadaan di mana mereka masih emosi terhadapnya, mereka tidak akan menganggap dirinya tulus. "Tapi, sayanya bagaimana?"

"Gampang, kamu bisa bersembunyi di kamar mandi tamu."

Axel menyetujui ide Raiqa. Ia lekas berpamitan kepada Syauqiya dengan alasan yang kurang realita. Ya, ia berbohong. Ia beralasan pergi bekerja, padahal jam masuk kantor masih dua puluh menit lagi. Ia terpaksa melakukan itu semua demi kebaikan Syauqiya. Agar sahabatnya yang baru sadar, tidak stres karena kondisi persahabatannya sedang seperti ini.

Eroi Musulmani [Revisi Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang