34 - Kamping

22 8 1
                                    

Atap rumah terbuka setelah empunya memencet tombol. Rumah yamg semula terlihat tanpa rooftop itu kini jadi memilikinya. Angin di udara terbuka yang semula hanya dapat mengenai permukaan luar atap, kini dapat mengenai pori-pori kulit pemilik rumah.

"Olahraga ya, Xel?"

Axel yang baru saja melakukan peregangan di tempat tersebut, langsung membalasnya dengan balasan yang sederhana, "Hm."

"Bubur yang tempo hari lo bawa itu enak banget, ya? Beli di mana?" tanyanya sambil meyejajarkan tubuh dengan Axel. Ia juga mengikuti Axel yang tengah melakukan pemanasan.

Axel tidak langsung menjawabnya, ia memilih untuk fokus ke olahraganya dulu. Ia rasa, ia punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Sebagai pewaris tahta, ia berkuasa atas segalanya. Termasuk berkuasa untuk tidak menjawab pertanyaan dari bawahannya. Terlebih lagi, pertanyaan tersebut memang lebih patut untuk tidak dijawab, karena jika pembuat bubur itu diketahui, akan ada nyawa yang terancam. Sebab ... dia ada hubungannya dengan Eroi Musulmani.

"Saya ingin membelinya, Tuan Axel," tambahnya lagi.

Axel menghela napasnya dan melirik asistennya dengan tatapan malas. "Wira, tidak biasanya kamu menanyakan hal sepele seperti ini. Itu tidak penting."

"Apakah salah kalau saya menyukai makanan tersebut, Tuan Axel?"

Axel mengerutkan dahinya setelah mendengar ucapan Wira yang terasa ganjil. Ucapan itu memiliki nada-nada sindiran, seolah ada sesuatu yang telah diketahui pria tersebut. "Apa maksud kamu, Wira?!"

"Saya suka buburnya, Tuan. Salah, ya?"

"Beli saja di mana pun yang kamu mau, jangan mengganggu kegiatan olahraga saya. Saya butuh suasana tenang."

"Ah, baiklah. Saya pasti bisa menemukan bubur itu. Hidung akan mencium aroma yang diinginkannya. Permisi."

Pandangan mata Axel mengamati Wira yang perlahan menjauh dan menuruni tangga. Ia merasakan ada yang aneh dari gerak-gerik Wira setelah sekian lama bertugas di tempat lain. Apakah Wira mengetahui sesuatu?

"Dia menyukai bubur itu atau menyukai sesuatu di baliknya?"

...

Hutan yang masih terjaga, jauh dari kawasan teknologi dan juga tangan-tangan perusak, begitu menyejukkan hati siapa saja yang datang mengunjungi. Mata seakan sedang dicuci, karena di sini jauh dari kata polusi. Bukan tanah asing, tetapi ini bumi. Ya, bumi.

Ini adalah salah satu bagian bumi terbersih yang biasanya dimiliki di setiap negeri. Kendatipun keindahannya begitu asri, tapi minim jaringan internet di sini. Semua berjalan seperti kehidupan manusia di abad 19 akhir atau 20 awal. Bahkan, sambungan listrik di sini tidak setiap hari ada. Semuanya hampir serba manual dan serba bersumber dari alam.

Inilah ... tanah analog.

"Seger banget di sini. Lebih seger daripada liat cogan," celetuk seorang mahasiswi yang memakai jaket rajut brand ternama.

"Ingat, semuanya. Buang sifat manja kalian. Hiduplah apa adanya di sini. Jangan mengeluh di depan orang-orang sini. Jangan mengatakan dan menunjukkan teknologi canggih apa pun di sini, jika kalian mau gawai kalian selamat," nasihat Mr. Garry, selaku dosen kemahasiswaan yang bertugas sebagai penanggung jawab acara kamping di desa analog.

"Iya, Pak!"

Di sudut paling kanan, seorang gadis tersenyum lebar. Baginya, ini pengalaman baru di hidupnya. Kamping di desa ini selama dua hari tiga malam.

Ya, ia datang bersama mahasiswa/(i) USI yang mengikuti eskul Pecinta Sains.

Awalnya, Syauqiya heran dengan kegiatan ini. Seharusnya, kegiatan itu mengajarkan teknologi, bukan membawa mahasiswanya ke desa seperti ini. Namun, temannya—Kaila—mengatakan, "Pergi ke desa tersebut bukan berarti kita akan menjadi orang yang membenci teknologi. Kita ke sana untuk mempelajari hal yang pastinya berguna. Bagusnya, dengan kita lihat bagaimana mereka, kita bisa cari solusi tepat buat mengubah pola pikir mereka yang buruk terhadap teknologi. Yang terpenting, setelah kita merasakan hidup tanpa teknologi, kita akan tahu betapa berharganya sebuah teknologi, sehingga nantinya bisa memanfaatkan teknologi dengan baik."

Bagi Syauqiya sendiri, selain manfaat yang dikemukakan oleh Kaila ketika di perjalanan tadi, ada manfaat lain yang terasa relevan dengan keadaan hatinya saat ini. Setidaknya, ia bisa merilekskan pikirannya di tempat terpencil ini. Dan, berusaha melupakan kekesalannya pada Halim tiga hari lalu.

"Qi, kamu tuh kenapa sih mau terima si Axel itu?" tanya Halim dengan ketus.

Syauqiya yang masih terbaring lemah di ranjangnya, menghela napas berat. Sikap Halim benar-benar kekanak-kanakan, ia terlalu protective kepadanya. "Lim, sampai kapan kamu mau kayak gini? Dari kecil, kamu bersikap seperti ini terus kepada Kak Dirga alias Axel. Kamu punya masalah apa?"

"Waktu kecil itu kamu maklumi saja, karena masih ada sikap kekanak-kanakan aku. Tapi, kali ini masalahnya beda. Kamu gak inget nasib orang tua kamu? Itu semua ulah Tecno Zen."

Benarkah orang tuaku ada hubungannya dengan EM?

Ada rasa kesal yang meronta di dalam dada Syauqiya, meminta agar bisa melompat di mulutnya. Namun, ia menahannya cepat-cepat. Karena ini bukanlah waktu yang tepat.

"Dari awal, Axel sudah bilang padaku, kalau dia tidak pernah menyuruh anak buahnya untuk membunuh orang tuaku. Itu sebabnya, dia membunuh orang-orang yang telah membunuh orang tuaku."

"Kamu percaya sama dia?" tanya Halim sambil tertawa hambar.

"Kamu curiga sama dia?" Alih-alih menjawab pertanyaan Halim Syauqiya malah balik bertanya.

"Qi ...-"

"Lim, Cukup!"

Syauqiya yang kini berada di tanah analog, menghela napasnya panjang. Aku tidak mengerti, mengapa Halim setegas itu? Apakah Axel itu ancaman untuk diriku dan EM, atau ancaman bagi fakta yang disembunyikan oleh para agen?

"Qiya, ayo kita masuk hutan," ajak Kaila membangunkan Syauqiya dari lamunannya.

"Iya iya, ayo."

***

Eroi Musulmani [Revisi Version]Where stories live. Discover now