30 - Sahabat Kecil

20 8 2
                                    

"Tepatnya ... Axel Dirgantara Zen Putra," tambah Atha alias Axel itu sendiri.

Setelah sama-sama berdiri, Halim dan Syauqiya sama sekali tidak berkutik. Otak mereka seakan melambat untuk mencerna keadaan yang terjadi ini. Halim masih tidak percaya jika Dirgantara itu Axel. Ia tidak bisa langsung memercayai orang yang licik seperti Axel. Sedangkan, Syauqiya memiliki ribuan pertanyaan di benaknya. Keanehan-keanehan ini, seakan tak bisa diterima oleh akal sehat.

Axel memandang wajah Syauqiya dengan penuh harap, rasa terharu, rasa bersalah, dan juga sedikit senang. Ia sama sekali tidak menyangka, orang yang menjadi targetnya saat ini adalah teman rahasianya saat kecil. Dan ... ia sangat-sangat merasa bersalah, dua orang yang sangat dicintai gadis itu telah pergi. Direnggut nyawanya oleh anak buahnya sendiri. Takdir mempertemukannya kembali dengan gadis jenius yang dulu ia kenal sebatas 'Uqi' saja. Entah, Syauqiya dan Halim akan menerimanya sebagai teman atau tidak sekarang ini.

"Uqi, ini aku Kakak Dirgamu," ucap Axel lirih.

"Jadi ... yang Anda maksud mata-mata itu adalah Anda sendiri, Pak Atha fake?!" Amarah Syauqiya meledak.

"Kumohon jangan begitu, Qi. Aku ini sahabatmu."

Halim menatap Axel penuh selidik. "Benarkah? Atau karena kamu punya rencana busuk untuk menghancurkan EM?"

Ucapan yang keluar dari mulut Halim, ada bagusnya untuk Syauqiya pertimbangkan. Penjahat punya ribuan cara dan rencana yang tidak bisa ditebak. Ia tidak boleh memercayai Axel begitu saja tanpa adanya bukti yang kuat. Memang, ia percaya kalau ingatan masa kecilnya hilang, tetapi untuk sahabat masa kecilnya itu ... ia tidak akan menerimanya dengan mudah.

"Jika benar pun, pasti Dirgantara kecil ini mau menyingkirkan sahabat masa kecilnya, bukan?" tambah Halim.

Axel menunduk diiringi air mata yang perlahan jatuh membasahi pipinya. "Aku benar-benar Dirgantara. Akulah Dirgantara."

"Ramlah tolong, jangan sampai pria ini mendekati Syauqiya," perintah Halim yang langsung disetujui oleh Ramlah.

"Jika tidak percaya, lihatlah rekaman kami sejak kecil. Aku simpan semua ini dan menyembunyikannya dari keluargaku." Axel menunjukkan video tersebut ke hadapan Syauqiya dan Halim.

Axel dan aku berteman seakrab itu? batin Syauqiya terus bertanya tanpa henti.

"Axel Dirgantara. Hmm ... menarik sekali. Jangan-jangan sejak kecil kamu sengaja menjadi mata-mata, sehingga saat ini kamu sedang berusaha menghancurkan kami dengan kenangan masa lalu itu," tuduh Halim.

Bukannya ia berburuk sangka kepada orang lain. Akan tetapi, ia tidak bisa memercayai bunglon begitu saja. Bunglon itu pandai berkamuflase agar bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan terhindar dari ancaman musuh.

"Saya tahu, saya memang salah. Saya telah melanggar janji saya kepada Uqi. Seharusnya, saya berlepas diri dari perusahaan Tecno Zen dan berusaha menjadi orang yang saleh, serta tidak menuruti kemauan keluarga saya untuk menghancurkan Eroi Musulmani demi balas dendam keluarga. Saya tahu, saya salah dalam semua hal itu, tetapi saya benar-benar tidak akan berbuat seperti itu lagi setelah menemukanmu, Uqi."

Batin Syauqiya mulai terusik, antara percaya atau tidak. Menerima atau menolak. Menyambut atau mengusir. Seperti yang Halim rasakan, tidak mudah menerima Axel yang selama ini telah mengerahkan kekuasaan, tenaga, dan hartanya untuk membalaskan dendam keluarganya pada EM. Bisa saja, semua ini adalah bagian dari rencana kelompok Tecno Zen sejak ia masih kecil.

Tunggu.

Sejak kecil?

Halim menuduh Axel telah berlaku curang sejak kecil? Ini berarti, praduganya dapat sedikit diperkuat dengan adanya kejadian ini. Jadi, aku harus bagaimana? Menerima Axel dan mengorek informasi tentang masa kecilku darinya? Atau ... mengikuti argumen Halim yang masih mencurigai Axel?

"Seseorang bisa mengatakan semua itu di saat sedang terdesak, kan?" balas Halim.

"Jika memang saya masih berniat licik, saya tidak akan membuka kedok saya di hadapan kalian. Jika memang saya berpura-pura, saya akan tetap menjadi Atha dan berbincang hangat bersama kalian di sini. Jika saya mau menghancurkan Uqi, saya pasti sudah membeberkan pertemanan kami kepada keluarga saya sejak lama."

Mendengar perdebatan mereka berdua, pikiran Syauqiya mulai mengenang ke masa lalu. Ingatan-ingatan itu tergambar dengan buram dan samar-samar. Ia merasakan kepalanya seperti sedang ditusuk-tusuk karenanya. Ia memegangi kepala dengan kedua tangan. "Hentikan perdebatan kalian!"

"Uqi!" Seketika Axel panik mendapati Syauqiya merasakan rasa sakit di kepalanya.

"Qiya, kamu kenapa?" tanya Halim yang juga khawatir.

"Tolong, telepon Ibu Raiqa," pinta Syauqiya sebelum ia ambruk ke sofa.

...

Raiqa berada di luar kamar Syauqiya sambil berjalan mondar-mandir. Ia menunggu dokter yang tengah memeriksa keadaan Syauqiya keluar dari ruangan tersebut.

Dokter yang memeriksa bukanlah Axel, seperti apa yang dilakukannya di rumah sakit hari itu. Karena, kendatipun Axel memiliki kemampuan sebagai dokter, Halim tidak akan menyerahkan perawatan Syauqiya kepadanya. Halim masih menaruh rasa curiga di hatinya. Ia tidak tahu, Axel itu fake or no?

Oleh karena itulah, saat ini batang hidung Axel tidak terlihat di rumah Syauqiya. Halim telah menyuruhnya untuk pergi. Ia tidak mau, kondisi Syauqiya semakin memburuk karena kehadiran Axel.

"Bagaimana keadaan Syauqiya, Dokter Linda?" Lekas Raiqa menanyakan keadaan Syauqiya setelah dokter tersebut keluar dari kamar.

"Alhamdulillah, dia baik-baik saja kok, Bu. Bahkan, menurut yang saya amati, Syauqiya memiliki kemungkinan besar untuk mengingat masa lalunya kembali. Ingatannya akan berangsur pulih, insyaallah."

"Alhamdulillah, itu kabar yang baik sekali, Dok."

Deg!

Jika ingatan tentang masa lalu Syauqiya itu kembali lagi, apakah mentalnya akan sanggup untuk menerima kenyataan pahit yang terjadi di masa lalunya? batin Halim cemas.

***

Eroi Musulmani [Revisi Version]Where stories live. Discover now