32 - Mulai Teringat

25 8 3
                                    

"K-kamu-"

"Sstt ...." Syauqiya kecil menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya. Ia juga sebenarnya kaget mendapati Dirga sudah ada di hadapannya, setelah ia melarikan diri dari penculikan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak ia kenali.

Siang itu, tepat di sebuah gang sepi, yang biasa ditinggali oleh orang-orang jalanan pada malam hari. Tanpa cctv yang mengawas kawasan tersebut. Syauqiya dan Dirga berada.

Sebelumnya, Dirga berniat untuk mengajak Syauqiya ke taman, karena ia ingin diajari pelajaran yang belum ia mengerti, sembari menenteng kotak berisi eskrim cokelat-stroberi. Dari SMPnya, apabila Dirga mau sampai ke depan gerbang SD, ia akan lewat jalan yang di mana ada area belakang sekolah SD itu dulu.

Kebetulan saat Dirga lewat sana, ia melihat ada sesuatu yang tidak beres. Ia lekas bersembunyi di balik rumah warga. Di sana ia melihat ada seorang pria yang pakaiannya serba hitam, mukanya pun ditutupi topeng, tengah membekam Syauqiya dan menyeretnya menuju gang sepi yang cukup dekat dengan SD itu berada.

Dirga menguntit dari belakang.

Syauqiya berada di ujung gang. Ia mencoba melepaskan diri dengan menginjak kaki si penculik. Ia pun lekas berlari, tapi penculik itu menembakkan peluru, yang membuat Syauqiya harus bersembunyi di balik tempat sampah.

Dirga yang melihat ada tembakan di sana, lekas bersembunyi di balik tumpukkan kardus—tepatnya di sebrang Syauqiya—tapi Syauqiya belum menyadari keberadaan Axel di sana.

Syauqiya memakai hearth-nya dan juga jubah penghilangnya. Walhasil, dari apa yang Dirga saksikan, Dirga tahu identitas Syauqiya yang sebenernya.

"Adek Manje, kamu ... agen Eroi Musulmani?!" Karena Dirga masih merasa panik, ia pun tetap lanjut mengatakan itu.

"Sstts ... Kak, aku mohon," gadis itu memelas, "Tolong, berjanjilah untukku, kalau Kakak tidak akan pernah membuka rahasia ini kepada siapa pun."

"Aku harap, kamu tidak bersangka buruk padaku, Syauqiya Nur, alias Adik Manje-ku. Aku benar-benar tulus berteman denganmu, tidak pernah aku merasa setulus ini, selain denganmu," gumam Axel sembari menatap foto masa kecilnya bersama Syauqiya.

...

Halim melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an di kamar Syauqiya setelah ia selesai menunaikan salat subuh di masjid setempat. Kemerduan dan kefasihan suaranya tidak dapat diragukan. Sejak kecil dia memang ikut kursus mengaji, sehingga makharijul hurufnya terdengar jelas dan benar. Apalagi, suara merdunya saat melafalkan surat Al-Baqarah, mampu mendamaikan hati siapa saja yang tengah gundah dan risau.

Ia menjaga Syauqiya sendirian, karena Raiqa tengah menyiapkan sarapan di dapur. Tenang saja, sedikit pun Halim tidak ingin mendekati sahabatnya. Maka dari itu, ia duduk di sofa yang berjarak lumayan jauh dari ranjang Syauqiya.

Ya, berjarak.

Sebab, sekuat apa pun niatnya tidak ingin melakukan dosa, setan pasti akan selalu menggoda. Duduk berjarak dan membaca Al-Qur'an adalah pilihan yang tepat agar mata dan hatinya terjaga. Selain itu, Al-Qur'an juga bisa menjadi obat. Jadi, ia juga berharap, Allah menurunkan kesembuhan untuk sahabatnya.

Tak lama, ia menutup mushafnya dan menaruhnya di meja setelah mendengar suara ketukan pintu dari luar kamar. Ia menarik pegangan pintu, dan menemukan keberadaan Riqqah dan Haziq di depan pintu.

"Bu, Prof," sapa Halim ramah.

Halim mengajak Riqqah dan Haziq untuk duduk di sofa. Mereka pun berbincang bersama di sana, sesekali menengok ke arah Syauqiya yang masih belum sadarkan diri sejak kepalanya sakit dua hari lalu.

"Maaf, kami dari EM cuma datang berdua. Soalnya, kamu tahu sendiri, di Prosper sedang ada kegiatan bersama masyarakat di sana," ujar Riqqah.

"Iya tidak apa-apa, biarkan kegiatannya berjalan lancar. Syauqiya ada yang menjaga kok," balas Halim.

"Oh iya, kami juga membawa buah tangan dari para agen dan juga masyarakat Prosper. Dan, sudah diserahkan ke ibumu," tambah Haziq.

"Iya, terima kasih banyak."

Setelah perbincangan tersebut, Haziq mengajak Halim untuk berbincang di sebelah, tepatnya rumah Halim. Mereka berdua ingin membicarakan suatu hal yang penting dengan Halim. Tidak mungkin mereka berbincang di rumah Syauqiya, karena cctv di rumahnya pasti akan membocorkan pembicaraan rahasia mereka.

...

Mobil terbang Tecno Zen termahal mendarat tepat di pekarangan rumah Syauqiya. Ia membuka pintu elegannya dan menginjakkan kaki di tanah hijau itu. Penampilannya rapi, karena setelah menjenguk Syauqiya, ia akan pergi ke kantor.

Ia datang sendiri ke sana, tidak lagi datang bersama para pengawalnya yang waktu itu datang ke sini. Karena, pertemuan ini adalah sebuah rahasia. Ia akan kembali menjadi Dirgantara yang menyembunyikan pertemanannya dengan Uqi.

Kakinya melangkah ke dekat pintu, lalu memencet bel rumah. Sekian detik lamanya menunggu, pintu pun terbuka. Dan pemandangan yang pertama ia lihat saat pintu itu terbuka adalah wajah ibunya Halim yang terlihat kaget.

"K-kenapa kamu datang ke sini?"

"Saya ingin bertemu Uqi, Bu. Saya ingin menjenguknya. Ini, saya juga bawa buah-buahan untuknya."

Raiqa tampak tidak nyaman dengan kedatangan Axel. "Em, buahnya saya terima, tapi silakan kamu pergi."

"Bu, apa salah saya mau melepas rindu pada sahabat saya yang sedang sakit? Apakah tidak boleh pria yang sudah bertahun-tahun tidak berjumpa dengannya dan merindukannya ini bertemu?"

Ucapan Axel benar-benar terdengar keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam. Sebagai seorang ibu dan juga memiliki perasaan, Raiqa merasa ... Axel tulus menyayangi Syauqiya. Ia rasa, laki-laki itu tidak mungkin akan berkhianat dan melukai hati Syauqiya. Namun, bagaimana dengan anaknya, Halim? Dia pasti akan marah besar kepada Axel karena berani menginjakkan kaki di rumah ini.

"Bu ... apakah saya tidak pantas untuk menebus kesalahan saya?"

Raiqa memejamkan matanya sembari menghela napas. "Baiklah, tapi jangan lama. Kalau Halim liat kamu, dia pasti akan marah besar."

"Baik, Bu. Saya juga memang tidak akan lama-lama, karena sebentar lagi saya harus ke kantor."

Axel merasakan kelegaan di dalam hatinya. Akhirnya, setelah dua hari, ia dapat menjumpai sahabatnya lagi. Hati yang telah menanggung rindu yang telah menggunung, tak sabar ingin segera sampai padanya.

Buah terbungkus parsel yang dibawa Axel, kini telah berada di tangan Raiqa. "Ibu baru saja memasak bubur, kamu mau?"

"Saya sudah sarapan, Bu."

"Kalau begitu, buburnya buat makan siang kamu, ya? Bubur bikinan saya beda sama yang dijual di pasaran, rasanya enak lho. Kamu pokoknya gak boleh nolak."

Axel tersenyum mendapati keramah-tamahan sosok Raiqa yang sudah dianggap ibu oleh Syauqiya. Ia kemudian menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. Sulit menolak permintaannya jika sudah begini. "Iya deh, Bu."

Sampai di depan kamar Syauqiya, Raiqa pun membuka pintunya. Sehingga, Axel dapat melihat jelas keadaan Syauqiya saat ini.

"Ibu mau bungkusin buburnya buat kamu, kamu di sini, ya. Jangan macam-macam, kalau kamu gak mau ibu tusuk."

Axel menelan ludahnya susah payah. Ia tidak menyangka, seorang Raiqa yang ramah ini mempunyai sisi sadis di dalam dirinya. "T-t-tusuk?"

"Bercanda, hehe. Ibu permisi dulu."

"Bercandanya agak creepy," lirih Axel.

***

Eroi Musulmani [Revisi Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang