END

1.8K 115 18
                                    

Ndoro Ayu membangunkanku sesaat sebelum adzan subuh terdengar, beliau menyuruhku untuk bergegas mandi, sholat dan bersiap untuk akad pagi ini. Deya dan mamanya yang memang dari dulu menyukai dunia per-beauty-an membawa semua peralatan tempurnya. Mulai dari pelembab, eyes shadow, tone up cream, foundation, bermacam-macam jenis dan warna perona bibir yang sangking banyaknya aku nggak bisa sebutkan satu-persatu.

Semua sepupu dan saudaraku lainnya memaksaku untuk berpuasa makanan dan hanya diperbolehkan minum air putih. Menurut Mbak Ana—yang berpengalaman dalam urusan pernikahan karena sudah menikah—berpuasa sebelum dan saat acara bisa mencegah kejadian tidak terduga seperti di tengah acara mendadak muntah atau ingin buang air dikarenakan gugup.

Jujur, mulai saat di make up oleh Deya dan mamanya, kegugupan sudah mulai melandaku. Rasanya jantungku terlalu cepat memompa udara sampai membuat dadaku sesak dan ingin meledak.

"Ya ampun, Ra, ACnya udah dingin banget ditambah kipas angin, lo masih keringetan aja? Ck, tarik napas, jangan nervous dong nanti kalo keringetan terus make upnya jadi nggak cetar," kekeh Deya mengeratkan jaketnya sambil menunjuk kipas angin yang ada di sampingku dengan dagu. Entah sudah berapa kali dia memeringatkanku untuk tidak merasa gugup. Tapi mau bagaimana lagi ini adalah hari pernikahanku, wanita mana yang tidak merasakan gugup di hari pernikahannya?

Aku menarik napas menuruti perintahnya namun setelah melakukannya pun rasa gugupku belum juga berkurang.

"Nggak bisa, masih deg-degan," rengekku kepadanya membuat Tante Mita tertawa renyah.

"Jangan dengerin Deya, dia kan jomblo jadi mana tahu rasanya diposisimu," bisiknya namun dengan suara sedikit keras untuk menyindir anak semata wayangnya itu.

Deya menghentak-hentakan kakinya kesal, "MA!"

Tante Mita hanya bisa tergelak puas karena bisa menggoda Deya.

"Tante juga dulu saat mau akad juga sama deg-degannya kayak kamu, lebih malah. Apalagi dulu Om Brahma itu dulu anak kepala desa," curhatnya padaku dengan tangan yang sibuk meriasku.

"Merem, Ra," titah Deya sambil mengusapkan eyes shadow di kelopak mataku. Aku memejamkan mata namun memasang telinga baik-baik mendengarkan cerita Tante Mita.

"Ayah Om Brahma itu kepala desa dan otomatis yang diundang pasti banyak banget, orang-orang penting pula. Jadi, kamu tahu seberapa gugupnya tante karena takut membuat kesalahan waktu pernikahan? Tapi rasa gugup itu nggak sebanding sama rasa gugup Om Brahma sampai mengulang ijab kabul tiga kali," kata Tante Mita sambil terkekeh kecil.

Mendengar itu aku segera menoleh, "Beneran, tante?"

Tante Mita masih tertawa bahagia mengingat kenangan pernikahannya dulu, "Iya, sampai ibu tante dulu nulis kalimat ijab di belakang Pak Penghulu supaya Om Brahma nggak lupa. Tante bahkan udah pasrah, kalau Om Brahma masih nggak kesulitan ucap ijab pernikahan bakalan batal. Nyatanya setelah menyakinkan diri ijab yang keempat sukses buat tante tertegun dan nangis."

Ternyata orang seperti Om Brahma yang punya tingkatan percaya diri setinggi itu—mengingat sifatnya menular pada anak satu-satunya, Deya—bisa segugup itu sampai membuat kesalahan di pernikahannya sendiri.

Tante Mita memberiku perona bibir lalu mengusap kepalaku lembut, "Jadi, jangan terlalu mencemaskan banyak hal." Beliau menaruh tanganku di dada, "Yakin. Bismillah. Semua akan berjalan lancar."

Mendengar nasihatnya membuat kedua mataku memanas, namun Deya berdecak sambil menggoyang-goyangkan telunjuknya memeringatkanku untuk tidak menangis.

Ndoro Ayu memanggilku sambil mengetuk pintu, Deya beranjak untuk membukakan pintu. Beliau berjalan mendekatiku dan menggenggam kedua tanganku, "Pak Penghulu sama Mas Bala udah datang. Sebentar lagi ijab bisa dimulai."

Don't Fall in Love, It's a Trap! [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang